Di masa pandemi COVID-19 usaha kerajinan tangan milik Jumiatin wanita 42 Tahun seorang penyandang disabilitas di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan sekarang kurang diminati.
Diceritakannya, beberapa tahun berjalan sejak 2009 lalu sampai ke masa yang dianggapnya berpenghasilan cukup yaitu memiliki omset Rp500 Ribu perbulan ternyata harus berubah karena pandemi COVID-19. Sejak 2019 lalu rajutan tangan dari benang wol membentuk tas, boneka, bros, hiasan pensel, masker, baju anak, taplak meja dan tutup televisi sekarang tidak laku lagi.
"Sejak pandemi COVID-19 orderan hampir tidak ada, sebelum seperti bros dan hiasan pensel paling laku penghasilannya cukup untuk membantu kebutuhan di rumah," ujarnya. Senin, di Rantau.
Masalahnya bertambah, beberapa bulan terakhir, suaminya sudah jarang bekerja sebagai buruh bangunan, dikatakannya panggilan kerja sudah hampir tidak ada lagi, memaksa suaminya untuk istirahat di rumah bekerja serabut.
"Suami saya kuli bangunan, adanya pandemi ajakan kerja sangat jarang sekali sekarang," ujarnya.
Ibu dua anak itu pun mulai menambah kreasinya, yaitu membuat tas dari plastik bekas dan tas belanja dari karung, namun tetap saja tidak merubah keadaan perekonomiannya, hasil karya barunya belum ada yang meminati.
Kedua kakinya sedari lahir tidak tumbuh normal, mengharuskan memakai dua tongkat dan mengesut saat beraktivitas di rumah sederhananya, untuk pemasaran hanya bermodal kabar dari mulut ke mulut. Harga dagangan yang ditawarkannya pun cukup bervariatif mulai dari Rp. 7 Ribu sampai yang termahal Rp. 150 Ribu.
Sayang, apa yang dihasilkannya saat ini bukan kebutuhan pokok tentunya akan sangat sulit untuk menjual, apalagi bagi Jumiatin yang hanya menunggu datangnya orderan di rumahnya di RT.14 Kelurahan Bitahan, Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin.
"Di Tapin, cenderung di masa pandemi COVID-19 ini kebanyakan orang lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokok dibanding kebutuhan lainnya," ujar Kepala Bidang Ekonomi Pemkab Tapin, Wahyudi Pranoto, saat ditemui.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
Diceritakannya, beberapa tahun berjalan sejak 2009 lalu sampai ke masa yang dianggapnya berpenghasilan cukup yaitu memiliki omset Rp500 Ribu perbulan ternyata harus berubah karena pandemi COVID-19. Sejak 2019 lalu rajutan tangan dari benang wol membentuk tas, boneka, bros, hiasan pensel, masker, baju anak, taplak meja dan tutup televisi sekarang tidak laku lagi.
"Sejak pandemi COVID-19 orderan hampir tidak ada, sebelum seperti bros dan hiasan pensel paling laku penghasilannya cukup untuk membantu kebutuhan di rumah," ujarnya. Senin, di Rantau.
Masalahnya bertambah, beberapa bulan terakhir, suaminya sudah jarang bekerja sebagai buruh bangunan, dikatakannya panggilan kerja sudah hampir tidak ada lagi, memaksa suaminya untuk istirahat di rumah bekerja serabut.
"Suami saya kuli bangunan, adanya pandemi ajakan kerja sangat jarang sekali sekarang," ujarnya.
Ibu dua anak itu pun mulai menambah kreasinya, yaitu membuat tas dari plastik bekas dan tas belanja dari karung, namun tetap saja tidak merubah keadaan perekonomiannya, hasil karya barunya belum ada yang meminati.
Kedua kakinya sedari lahir tidak tumbuh normal, mengharuskan memakai dua tongkat dan mengesut saat beraktivitas di rumah sederhananya, untuk pemasaran hanya bermodal kabar dari mulut ke mulut. Harga dagangan yang ditawarkannya pun cukup bervariatif mulai dari Rp. 7 Ribu sampai yang termahal Rp. 150 Ribu.
Sayang, apa yang dihasilkannya saat ini bukan kebutuhan pokok tentunya akan sangat sulit untuk menjual, apalagi bagi Jumiatin yang hanya menunggu datangnya orderan di rumahnya di RT.14 Kelurahan Bitahan, Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin.
"Di Tapin, cenderung di masa pandemi COVID-19 ini kebanyakan orang lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokok dibanding kebutuhan lainnya," ujar Kepala Bidang Ekonomi Pemkab Tapin, Wahyudi Pranoto, saat ditemui.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021