Petani madu hutan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, terancam gagal panen karena curah hujan yang tinggi saat ini berpotensi menjadikan lebah hutan kesulitan memproduksi madu.

"Dengan kondisi cuaca berhujan seperti ini, rentan terjadi pembusukan dan gagal berbunga pada pohon penghasil bunga," ujar Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat Borneo Selatan, Juliade, Kamis, di Barabai, ibukota HST.

Kondisi tersebut akan sangat mempengaruhi lebah hutan untuk menghasilkan madu karena untuk berproduksi mereka sangat bergantung pada ketersediaan bunga dan sari tumbuhan.

Walaupun dapat berproduksi, dengan ketersediaan bunga yang sedikit bisa menyebabkan madu yang dihasilkan menjadi pahit.

Menurut dia, hal itu pernah terjadi sebelumnya di HST pada tahun 2006 lalu dimana madu yang dihasilkan lebah hutan terasa pahit.

"Saat itu kondisi cuaca sangat ektrim yang menyebabkan bunga-bunga yang biasa dihisap lebah hutan luruh dan membusuk," katanya.

Hal itu menyebabkan lebah hutan terpaksa menghisap bunga akar yang pahit dan berimbas pada madu yang dihasilkan juga terasa pahit.

Di HST, petani madu tradisional mayoritas adalah masyarakat adat Dayak Meratus yang tinggal dipedalaman.

Biasanya, setiap keluarga dari masyarakat adat itu memiliki beberapa pohon madu, tempat bersarangnya lebah hutan.

Pengelolaan, pengolahan dan penjualan madu oleh masyarakat adat itu sangat sederhana dan masih tradisional.

LPMA Borneo Selatan sendiri pernah melakukan pengembangan dan pengelolaan secara modern terhadap lebah dan madu hutan di Desa Limbur, Kecamatan Hampang, Kabupaten Tanah Bumbu.

Madu hutan yang dihasilkan kabupaten itu telah dibuat dan dikemas secara modern untuk kemudian dipasarkan secara nasional.

LPMA Borneo Selatan sejak tahun 2009 lalu mencoba menerapkan keberhasilan pengelolaan itu untuk lebah hutan dan madu di HST.

Namun hingga saat ini hal tersebut belum membuahkan hasil karena kurangnya dukungan dari pihak ketiga sebagai donatur.

Masa panen madu hutan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat adat Dayak Meratus hanya satu kali dalam setahun dengan waktu panen tidak menentu, antara bulan November - Maret.

Ia menambahkan, bila kondisi cuaca dengan intensitas curah hujan yang saat ini terjadi tidak berubah hingga Agustus mendatang, kemungkinan besar gagal panen madu akan terjadi.

"Untungnya, petani madu hutan di HST tidak menggantungkan hidupnya hanya dari usaha tersebut melainkan mereka juga bertani," tambahnya.

Karena itulah, kemungkinan akan terjadinya gagal panen madu hutan seperti tahun 2006 lalu tidak begitu merisaukan masyarakat adat Dayak Meratus.

Pewarta:

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2010