Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah mengusulkan tiga skenario untuk mengakhiri ketidakpastian hukum di Indonesia yang bisa berakibat kepada penilaian jatuhnya indeks demokrasi seperti yang terjadi tahun lalu.
Ketiga skenario tersebut menurut dia adalah revisi UU nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) terkait UU ITE, dan pengesahan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Skenario pertama adalah merevisi UU yang bermasalah, seperti UU ITE sehingga pasal-pasal direvisi. Kedua, Presiden membuat Perppu UU ITE sehingga secara otomatis pasal bermasalah dihilangkan agar segera ada kepastian hukum," kata Fahri Hamzah melalui keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu.
Fahri menilai, inisiatif Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit untuk menerbitkan Surat Edaran tentang penerapan UU ITE merupakan langkah sangat baik untuk mengakhiri ketidakkpastian yang dilakukan Kepolisian.
Namun menurut dia, sebaiknya Polri dibekali dengan UU permanen yang bersumber pada Perppu atau revisi UU lebih permanen, termasuk juga pengesahan KUHP.
"Kepolisian bukan pembuat UU karena itu dalam jangka panjang dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru," ujarnya.
Dia menjelaskan, DPR periode 2014-2019 sebenarnya telah membahas pengesahan RUU KUHP pada tingkat pertama di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Namun menurut Fahri, pada pembahasan tingkat dua di Rapat Paripurna DPR, pengambilan keputusan tidak dilanjutkan, karena dianggap pembahasan belum selesai, disebabkan masih ada pasal-pasal krusial yang belum disepakati.
Karena itu dia mengatakan, skenario ketiga adalah mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan RUU KUHP.
"Sebagai criminal constitution atau criminal code satu untuk seterusnya dan selamanya, sehingga ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada seluruh UU yang mungkin bernuansa penuh ketidakpastian hukum tersebut," katanya.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini berharap usulan tersebut dapat dipertimbangkan Presiden dan DPR selaku pembuat UU atau produk hukum.
Dia menilai tinggal perlu penyelesaian dan pengesahan pada tingkat kedua yang dapat dipercepat menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
"Itu dapat dipercepat apabila pada periode lalu sebuah RUU telah menyelesaikan pembahasan pada tingkat pertama. Dan itu sudah terjad terjadi pada akhir periode DPR 2012-2019," tutur-nya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021