Liburan panjang pada masa pandemi dapat meningkatkan mobilitas penduduk, baik mobilitas lokal maupun mobilitas orang ke luar daerah. Berdasarkan hasil riset terkini, mobilitas penduduk yang tidak terkendali merupakan “motor pertumbuhan” kasus COVID-19 di berbagai belahan dunia. 

Untuk itu, kebijakan untuk mengatur kembali mobilitas penduduk merupakan salah satu langkah penting dalam upaya menurunkan laju pertumbuhan kasus dan mencegah terjadinya ledakan COVID-19.

"Untuk dapat mengendalikan mobilitas penduduk tanpa menimbulkan situasi chaos dan melanggar protokol kesehatan, diperlukan strategi yang tepat dengan merujuk pada penyebab terjadinya mobilitas penduduk yaitu dengan menurunkan “tensi” kegiatan ekonomi pada level tertentu," kata Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D di Banjarmasin, Rabu.

Pandemi COVID-19 di Kalimantan Selatan kembali mengalami penanjakan pada bulan Desember 2020 lalu. Warga Kalsel yang dikonfirmasi positif sepanjang 1 hingga 28 Desember meloncat sebanyak 1.929  kasus. Jumlah ini lebih besar 47 persen dibandingkan kasus konfirmasi di bulan November dan lebih tinggi 28 persen dibanding bulan Oktober. 

Secara keseluruhan, per 28 Desember sudah terdapat 15.099 kasus positif di Kalimantan Selatan, di mana 13.601 orang sudah mendapatkan kesembuhan dan 579 meninggal dunia.

Meledaknya kasus konfirmasi COVID-19 di bulan Desember diindikasikan terkait dengan semakin tingginya mobilitas penduduk di penghujung tahun 2020.

Perjalanan dinas dan aktivitas warga belibur ke luar daerah berpotensi menghasilkan kasus impor (imported cases) di Kalimantan Selatan.

Selanjutnya melalui transmisi lokal (local transmission), kasus ini dapat bermetamorfosis menjadi klaster keluarga dan klaster perkantoran.

Mobilitas penduduk dan COVID-19

Banyak pihak yang masih meragukan apakah mobilitas penduduk menjadi penyebab lonjakan kasus COVID-19?  Pada dasarnya pertanyaan ini sudah terjawab oleh berbagai riset terkini yang diterbikan dalam berbagai jurnal di luar negeri. 

Misalnya kajian yang dilakukan oleh Badr dkk. (2020), Hadjidemetriou, Sasidharan, Kouyialis, dan Parlikad (2020), Kraemer dkk. (2020), dan Yilmazkuday (2020) menyimpulkan mobilitas penduduk selama pandemi berdampak pada pertumbuhan kasus COVID-19. 

Dampak mobilitas penduduk terhadap peningkatan kasus akan semakin kuat manakala suatu wilayah merupakan hub atau jembatan bagi mobilitas penduduk dari daerah-daerah lainnya. Hal ini ditegaskan oleh hasil penelitian Pequeno dkk. (2020) di Brasil dan Carozzi, Provenzano, dan Roth (2020) di Amerika Serikat.

Lantas bagaimana dampak liburan panjang terhadap peningkatan kasus COVID-19? Zhong, Guo, dan Chen (2020) menemukan korelasi kuat arus mudik penduduk dari Wuhan ke daerah lainnya sebelum perayaan Tahun Baru China dengan penyebaran wabah virus Corona (SARS-CoV-2). Studi ini memperkuat argumentasi bahwa meningkatnya mobilitas penduduk karena liburan panjang dapat menjadi pemicu ledakan kasus COVID-19.

Muttaqin menjelaskan, mobilitas penduduk dapat dibagi ke dalam 4 tingkatan, yaitu:
Mobilitas lokal; pergerakan penduduk dalam satu wilayah saja seperti di dalam kota atau kabupaten.
Mobilitas antar daerah; pergerakan penduduk lintas kabupaten dan kota tetapi masih dalam satu provinsi.
Mobilitas nasional; pergerakan penduduk lintas provinsi.

Mobilitas internasional; pergerakan penduduk keluar masuk wilayah Indonesia.

Kasus impor COVID-19 erat kaitannya dengan mobilitas penduduk antar daerah, nasional, dan internasional. Sedangkan mobilitas lokal memiliki peranan dalam meningkatkan transmisi lokal kasus COVID-19. Karena itu, mobilitas penduduk pada masa pandemi merupakan “motor pertumbuhan” kasus COVID-19.

Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya pengendalian mobilitas penduduk untuk mencegah penyebaran penyakit menular. Bentuk pencegahan yang diberikan adalah dengan memisahkan penduduk yang sehat dengan penduduk yang terinfeksi dan mencegah keluarnya penduduk dari daerah wabah serta melarang masuknya penduduk dari luar wilayah wabah. 

Ini artinya restriksi mobilitas penduduk dilakukan ketika kita tidak dapat mendeteksi secara menyeluruh mana penduduk yang terinfeksi dan yang tidak, serta tidak memiliki metode dan kelengkapan sarana untuk memisahkan yang terinfeksi COVID-19 dan yang tidak. 

Berikut ini adalah hadis yang dimaksud: 
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).


Mobilitas penduduk, ekonomi, dan tes

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya mobilitas penduduk sangat bergantung pada tingkat kegiatan ekonomi. Pelonggaran kegiatan ekonomi di masa pandemi akan mendorong meningkatnya pergerakan penduduk baik pada tingkat lokal maupun nasional hingga internasional. 

Implikasinya adalah naikya pertumbuhan kasus COVID-19 baik dari kasus impor maupun akibat transmisi lokal.

"Idealnya pada saat pandemi belum terkendali apalagi di tengah terjadinya ledakan kasus, pengendalian mobilitas penduduk menjadi sangat penting," papar 
Muttaqin.

Pada titik ini “tensi” aktivitas ekonomi harus diturunkan dengan menyisakan kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok, layanan kesehatan, dan jasa logistik dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Penurunan “tensi” kegiatan ekonomi diperlukan untuk pengendalian mobilitas penduduk. Sebab upaya mencegah pergerakan penduduk masuk dan keluar pada “garis” tertentu tanpa pengendalian sumber pergerakannya berpotensi menimbulkan “tumpukan” manusia yang justru dapat menyebabkan situasi chaos dan tidak terjaganya physical distancing (Kraemer et al., 2020; Pullano, Valdano, Scarpa, Rubrichi, & Colizza, 2020; Sun, Zhang, Yang, Wan, & Wang, 2020). 

Dalam kondisi pandemi sudah terkendali, pelonggaran ekonomi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu membuat exit plan-nya. Yaitu bagaimana protokol kesehatan tetap diterapkan secara ketat dan daerah punya kemampuan deteksi yang tinggi dan cepat jika ada warga terinfeksi.  

Adapun ukuran pandemi terkendali menurut kriteria WHO (2020) adalah jika angka positive rate berada di level 5% ke bawah dalam waktu dua minggu secara berturut-turut. 

Kemudian agar hasil tes dapat menggambarkan kondisi pandemi mendekati situasi riil, WHO juga mensyaratkan jumlah tes minimal yang harus dilakukan adalah sebanyak 1 per 1.000 penduduk per minggu. 

Untuk Kalimantan Selatan dengan asumsi jumlah penduduk 4,3 juta jiwa berarti jumlah orang yang dites per minggu sesuai kriteria WHO minimalnya adalah 4.300 orang atau 17.200 orang per bulannya. 

Tes ini harus dilakukan secara merata dengan memperhatikan jumlah dan kepadatan penduduk di tiap-tiap daerah.

Dari kriteria WHO ini dapat disimpulkan jika jumlah penduduk yang dites RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) tidak mencapai kriteria 1 per 1000, maka data yang dihasilkan cenderung bias. 

Artinya jika terjadi penurunan kasus karena minimnya tes yang dilakukan, maka penurunan tersebut bersifat semu dan membahayakan penanganan pandemi. Karena itu kepala daerah jangan coba-coba dengan sengaja menurunkan tes agar kasus konfirmasi menurun.

Apakah terpenuhinya jumlah tes terhadap penduduk sudah cukup untuk pengendalian pandemi? Tentu saja tidak cukup. Selain 3T (Testing, Tracing, dan Treatment), penerapan protokol kesehatan dan pengendalian mobilitas penduduk adalah bagian penting dalam upaya memutuskan mata rantai penularan COVID-19. 

Sebagai contoh, jumlah testing satu minggu terakhir di Provinsi DKI Jakarta mencapai 9 kali lipat standar WHO. Namun angka kasus konfirmasi daerah ibu kota ini cenderung mengalami peningkatan sepanjang waktu pandemi.

Hal ini disebabkan belum terpenuhinya dua unsur lainnya, yaitu penerapan protokol kesehatan yang ketat dan mobilitas penduduk yang tinggi. 


Mobilitas Penduduk Kalsel

Bagaimana mobilitas penduduk di Kalimantan Selatan selama masa pandemi? Untuk menangkap pergerakan penduduk di Kalimantan Selatan digunakan data COVID-19 Community Mobility Reports dari Google (2020).

Baseline yang digunakan Google untuk mengukur laju mobilitas penduduk adalah nilai median dari pergerakan masyarakat pada periode 3 Januari hingga 6 Februari 2020 (5 minggu).

Berdasarkan data Google, mobilitas penduduk di Kalimantan Selatan meningkat sejak pertengahan tahun 2020. 

Peningkatan tersebut pada awalnya dipicu oleh momen mudik lebaran pada akhir Mei. Setelah liburan panjang, mobilitas penduduk cenderung meningkat seiring dengan dimulainya pelonggaran ekonomi sejak bulan Juni yang dikemas dalam istilah new normal.

Penggunaan istilah ini kemudian diganti menjadi “adaptasi kebiasaan baru”. Mobilitas penduduk di Kalimantan Selatan kembali melonjak pada liburan panjang di akhir bulan Oktober dan sejak pertengahan bulan Desember.

Secara grafis, peningkatan mobilitas penduduk diikuti dengan lonjakan kasus COVID-19 Kalimantan Selatan. Kondisi serupa juga terjadi pada tingkat nasional. 
  
Menurut Muttaqin, untuk mencegah potensi ledakan kasus COVID-19 di Kalimantan Selatan paska liburan panjang akhir tahun, diperlukan langkah taktis dan strategis secara bersamaan. Langkah tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu (1) penerapan protokol kesehatan yang ketat, (2) pengendalian mobilitas penduduk, dan (3) peningkatan strategi 3T; testing, tracing dan treatment.  

Berikut beberapa poin rekomendasi kebijakan untuk pengendalian mobilitas penduduk di Kalimantan Selatan.

Adanya regulasi daerah untuk membatasi penduduk yang masuk dan keluar dari provinsi Kalimantan Selatan dalam periode tertentu dan dengan kriteria tertentu, seperti harus ada surat keterangan hasil rapid test antigen yang negatif yang berlaku dalam waktu 3 hari.

Dengan adanya regulasi tersebut, diharapkan dapat menurunkan minat warga di Kalsel atau di luar Kalsel untuk masuk dan keluar daerah.

Adapun penerapan skrining untuk penegakkan regulasi hanya dapat dilakukan di bandar udara dan pelabuhan laut dengan memperhatikan tidak terjadinya penumpukan antrian. Adapun skrining di jalan raya di daerah perbatasan tidak dilakukan secara masif karena akan menyebabkan situasi chaos. 

Mengurangi jam operasional kegiatan usaha menjadi maksimal sampai jam 6 sore dan untuk kegiatan perkantoran maksimal jam 3 sore. Pengecualian untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan, logistik dan yang berkaitan dengan pelayanan umum.

Membatasi jumlah orang yang berada di dalam ruang perkantoran, pusat perbelanjaan, supermarket dan minimarket maksimal 50 persen dari kapasitas keterisian.

Larangan bagi rumah makan, warung makan dan yang sejenisnya untuk melayani pelanggan makan di tempat. Pemesanan hanya dapat dilakukan untuk take away.

Menerapkan pola kerja Work From Home (WFH) untuk jenis pekerjaan yang dapat dilakukan secara remote untuk perkantoran pemerintah dan swasta.

Penundaan rencana pembukaan sekolah pada bulan Januari karena akan meningkatkan mobilitas penduduk dari guru, murid dan keluarganya.

Dipersiapkan desain rancangan bentuk pengendalian mobilitas penduduk yang lebih baik paska dua minggu pertama bulan Januari.

Pewarta: Firman

Editor : Gunawan Wibisono


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021