Inovasi mikroorganisme dapat digunakan untuk mitigasi perubahan iklim lewat kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), kata Dr Ir Maman Turjaman, DEA dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai profesor riset di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Diperlukan inovasi teknologi mikrobiota atau mikroorganisme dalam kegiatan RHL, sehingga dapat menyekat laju degradasi hutan," kata Dr Maman dalam orasi di Auditorium Manggala Wanabakti di Jakarta, Rabu.

RHL perlu dilakukan karena banyaknya hutan tropis yang terkonversi akibat pesatnya pembangunan di berbagai sektor di Indonesia, kata Ketua Kelompok Peneliti Mikrobiologi Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Litbang dan Inovasi KLHK itu.

Selain itu, banyak hutan tropis yang dibuka untuk pertambangan terbuka, pertanian dan perkebunan monokultur.

Target keberhasilan RHL di Indonesia, tidak hanya dilihat dari peningkatan persentase luas tutupan hutan, tapi juga biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme. Selama ini, peran mikroorganisme hutan tidak mendapatkan perhatian karena terbatasnya pengetahuan dan praktiris kehutanan.

Dalam orasinya Dr Maman menguraikan bioprospeksi dan pemanfaatan fungi mikoriza dan fungi endofit unggul melalui proses riset dan invensi, dikembangkan dan diproduksi sebagai paket inovasi teknologi guna memperbaiki lingkungan hidup dan bahan dasar untuk produk-produk kesehatan.

Inovasi pertama adalah tablet Fungi Ektomikoriza (FEM), yakni sekelompok jamur yang memiliki peran penting memacu pertumbuhan hutan terutama dari keluarga meranti (Dipterocarpaceae), pinus (Pinaceae), ekaliptus dan pelawan (Myrtaceae), dan melinjo (Gnetaceae). Jenis-jenis pohon tersebut memiliki ketergantungan tinggi pada sistem perakarannya.

Peneliti Badan Litbang dan Inovasi sejak 1995 telah mengembangkan fungsi mikoriza yang efektif untuk mempercepat pertumbuhan tanaman hutan, khususnya pada jenis dominan yang tumbuh di hutan tropis Indonesia.

Ketua tim riset Dr Maman telah mengeksplorasi potensi jenis-jenis FEM dari seluruh Indonesia dengan ada dua generasi FEM yang direkomendasikan, yaitu Pisolithus dan Scleroderma. Kedua jenis FEM dapat diproduksi dalam bentuk tablet spora, dan dapat diaplikasikan skala massal di persemaian bibit tanaman hutan untuk RHL.

Selain itu, terdapat Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), yang merupakan jenis pupuk hayati yang telah dikenal lama pada sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. FMA dapat disebut fungi mikoriza yang tidak mengenal spesifikasi, artinya satu jenis FMA dapat diinokulasikan kepada berbagai jenis komoditi pertanian.

FMA dapat bersimbiosis pada jenis-jenis tanaman cepat tumbuh, seperti jenis akasia, sengon, gmelina, jati, sonokeling, mahoni, kaliandra dan jenis lainnya di luar jenis pohon hutan yang bersimbiosis dengan FEM. Untuk komoditas kehutanan, aplikasi FMA masih skala uji coba yang terbatas.

Selain itu, terdapat valuasi getah pinus bermikoriza pada areal demplot di Perum Perhutani serta inovasi inokulan gaharu dalam “sachet” yang dapat digunakan untuk membentuk gaharu dan valuasi gaharu budidaya.

"Inovasi teknologi ini memitigasi perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020