Dalam era digital seperti sekarang, di mana banyak layanan yang menawarkan kepraktisan bermunculan dan bisa diakses dengan mudah di mana dan kapan saja selama terhubung internet, telah memunculkan dirupsi di berbagai sektor, tidak terkecuali pada industri perfilman.

Menikmati film-film terbaru baik lokal maupun impor sekarang tidak harus ke bioskop, tapi cukup dengan beberapa kali sentuhan jari di smartphone dan perangkat mobile lainnya, PC, atau dengan TV pintar Android yang sekarang sudah beredar luas.

Kaum muda Indonesia juga sudah semakin akrab menikmati hal itu.

Dalam beberapa warsa terakhir, sedikitnya ada delapan layanan streaming video on demand (SVoD) yang hadir dan legal di Indonesia, yakni iFlix, Netflix, Vidio, GoPlay, Genflix, CatchPlay, Viu, dan Disney+ Hotstar.

Kehadiran layanan konten internet over the top (OTT) berbasiskan aplikasi itu jelas telah membawa banyak pengaruh pada industri hiburan, khususnya perfilman dunia maupun di Indonesia. Memicu berkurangnya orang yang pergi ke bioskop atau konser, bisa jadi begitu lantaran kemudahan dan tarifnya yang murah.

Dengan tarif berlangganan hanya mulai Rp30.000 hingga kisaran Rp200-an ribu per bulan, pelanggan sudah bisa menikmati film-film terbaru, yang menghiasi daftar box office dunia, bahkan sesekali konser musik dari penyanyi atau grup musik idola.



Disney+ Hotstar, anak usaha dari The Walt Disney Company yang terkenal di dunia, dan masuk Indonesia pada awal September lalu, menawarkan tarif berlangganan hanya Rp39.000 per bulan dan Rp199.000 setahun, setara atau lebih murah dari tiket bioskop berkelas di kota besar untuk satu kali menonton.

Netflx yang sudah lebih dulu ada di Indonesia, menawarkan harga berlangganan per bulan lebih beragam, dengan Paket Ponsel Rp54.000, Paket Dasar Rp120.000, Paket Standard Rp153.000, dan Paket Premium Rp186.000.

Viu yang terkenal dengan sajian beragam serial maupun film drama Korea Selatan—yang akrab disebut drakor—, menetapkan biaya berlangganan lebih murah, hanya Rp30.000 sebulan. Ini bersaing dekat dengan iFlix yang membanderol biaya langganan sebulan Rp39.000.

Meski tiket bioskop sekarang sudah bisa dipesan “dalam genggaman” via aplikasi di ponsel, bagi kaum berhemat, biaya transport, jajan, atau makan di sela pergi ke bioskop jelas menjadi pertimbangan juga.

Bioskop mungkin ke depan hanya menjadi tujuan sesekali saja ketika keinginan menonton film seseorang disandingkan dengan keinginan jalan-jalan mengisi waktu luang atau sekadar menyegarkan pikiran (refreshing), jalan bareng teman, atau memang ada film yang menurutnya tidak puas jika hanya ditonton lewat streaming.

Dengan berbagai pertimbangan, mulai dari kepraktisan, jumlah uang yang harus dikeluarkan, hingga tren gaya hidup yang berubah, kehadiran layanan VoD jelas sedikit banyak memengaruhi tingkat kunjungan orang ke bioskop.



Gangguan pandemi

Tak ada yang pernah menyangka sebelumnya, pandemi virus corona baru (COVID-19) datang dan menyebar luas begitu cepat ke hampir seluruh dunia, membuat banyak kehidupan manusia dipaksa menyesuaikan diri dengan adaptasi baru demi mempertahankan hidup.

Dalam dunia hiburan, termasuk perfilman, pandemi telah membuat “kebingungan” sesaat para pelaku dalam industri ini sebelum kemudian mereka beradaptasi dengan teknologi dan kebiasaan baru untuk tetap bisa berkarya dan menghasilkan uang meskipun baru sebatas untuk donasi buat rekan terdampak pandemi.

Pembatasan sosial dan keengganan orang untuk beraktivitas di luar rumah jelas sangat berdampak terhadap dunia persinemaan. Bioskop-bioskop ditutup, produksi dan pemutaran perdana film-film yang sudah direncanakan jauh-jauh hari terhenti atau tertunda, tanpa ada yang kuasa mengelaknya.

Kondisi ini membuat penonton bioskop menyusut drastis, pendapatan dari produksi film tidak sesuai yang diharapkan, semua orang sibuk mencari cara untuk bisa tetap beraktivitas, berkarya, atau mencari hiburan ketika pandemi memaksa semua dilakukan dari rumah.

Mengutip data Statista, pendapatan bioskop dunia dari tiket pada 2020 diperkirakan jatuh 42,1 persen hanya mencapai 7,811 miliar dolar AS dibanding tahun lalu, sedangkan jumlah penonton turun lebih menyakitkan 45 persen menjadi 279,1 juta.

Sebagai perbandingan, pada 2019 lalu pendapatan bioskop dunia dari tiket mencapai 13,494 miliar dolar AS, naik dari 11,705 miliar dolar AS pada 2018. Pada tahun lalu, penonton bioskop terbanyak dari kelompok usia 25 - 34 tahun (37%), diikuti 35 - 44 tahun (23%), 18 - 24 tahun (22%), 45 - 54 tahun (14%), dan 55 - 64 tahun (4%).



Di Indonesia, menurut data filmindonesia.or.id yang diperbarui setiap minggu, dari 15 judul film peringkat atas yang beredar 2020, hanya tiga film yang meraih penonton di atas 1 juta. Tiga film terlaris ini adalah “Milea: Suara dari Dilan” dengan 3,1 juta lebih penonton, “Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini” sekitar 2,2 juta penonton, dan “Akhir Kisah Cinta Si Doel” sekira 1,1 juta penonton.

Sementara 12 film lainnya dalam daftar hanya meraih penonton antara lebih dari 100 ribu dan hanya tiga judul film yang berhasil menarik kurang dari 900 ribu penonton.

Bandingkan dengan 2019, di mana 15 film terlaris semua meraih penonton di atas 1 juta orang. Bahkan, ada lima film yang meraih penonton di atas 2 juta orang. Film kisah SMA “Dilan 1991” ketika itu mampu meraih lebih 5,2 juta orang, “Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan” 2,6 juta penonton, “Dua Garis Biru” 2,5 juta, “Danur 3: Sunyaruri” 2,4 juta, dan “Habibie & Ainun 3” memikat 2,2 juta lebih penonton.

Berkaca dari data-data itu, jelas jumlah penonton bioskop di Indonesia turun drastis tahun ini. Pandemi COVID-19 nyata-nyata telah memukul bisnis perbioskopan, usaha yang membutuhkan ruang dan perawatan mahal gedung, atau bahkan sewa tempat di mal-mal ternama, dan tentu saja mempekerjakan beberapa karyawan di sana.

Market Research bahkan memprediksi bahwa pasar film dan video global bakal turun dari 252,8 miliar dolar pada 2019 menjadi 244,3 miliar dolar pada 2020 yang disebabkan oleh gangguan dalam bisnis dan karantina wilayah yang diberlakukan di berbagai negara akibat pendemi COVID-19.

Gambaran sebaliknya terjadi pada layanan video streaming atau VoD, pandemi telah mendorong orang-orang beraktivitas secara daring dari rumah, termasuk dalam menikmati hiburan film dari rumah.

Pendapatan dalam bisnis SVoD di Indonesia pada 2020 diperkirakan naik 28,9 persen menjadi 140 juta dolar AS, dengan jumlah pelanggan (users) naik 26,5 persen menjadi sekitar 13 juta.



Tantangan atau peluang?

Menjamurnya layanan streaming, tantangan atau peluang? Jawabannya, dua-duanya. Tantangan, karena kemajuan teknologi yang diikuti perubahan gaya hidup orang-orang di era digital berikut keinginan dan permintaannya yang terus berkembang harus dijawab oleh para pelaku industri perfilman atau sineas.

Terlindas atau beradaptasi menjadi pilihan yang harus segera dijawab oleh para sineas Indonesia. Bukan saja beradaptasi dengan platform yang banyak digunakan dan disukai penggemar film, tapi juga bersedia melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam berproduksi, efisiensi biaya, hingga penentuan ide cerita yang setidaknya layak bersaing dengan film-film dan drama impor.

Kekuatan persaingan dalam kualitas film yang diproduksi sangatlah penting, karena dengan platform digital, mau tidak mau film-flim lokal bakal bercampur dalam satu etalase dengan film-film asing yang pelanggan layanan streaming bebas memilihnya untuk ditonton atau tidak.

Belum lagi soal bahwa pendapatan film dari layanan streaming mungkin tidak sebesar ketika pasar bioskop ramai—seperti tahun-tahun lalu sebelum pandemi—, tantangan yang juga harus dijawab dengan tetap membuat karya-karya berkualitas yang mengundang orang tetap antusias mendatangi tempat-tempat pemutaran film layar lebar.

Sebagaimana diungkapkan Produser Base Entertainment, Shanty Harmain yang mengatakan pemasukan dari distribusi film lewat platfrom streaming digital selama pandemi COVID-19 tidak bisa menggantikan pemasukan dari penayangan film di bioskop dalam bisnis perfilman Indonesia.



Bioskop adalah elemen sangat penting dalam industri perfilman karena selama ini pemasukan terbesar dari model bisnis perfilman Indonesia ada di distribusi via bioskop.

Menyikapi itu, artinya dari sisi bioskop juga harus berbenah. Bioskop tidak hanya sekadar penyedia layar pertunjukan film, tapi juga sebagai tempat rekreasi yang menyenangkan. Mengintegrasikan bioskop dengan sarana hiburan lain menjadi keniscayaan, atau melengkapinya dengan teknologi-teknologi visual terbaru, realitas virtual (VR), 3D, hingga gambar dan sound system yang berkualitas tinggi serta tata ruang yang memberikan pengalaman berbeda bagi penonton.

Beralih ke soal peluang, layanan streaming diharapkan menjadi saluran tambahan bagi industri perfilman dalam meraih pendapatan lebih banyak. Dalam hal jangkauan, dengan layanan streaming yang secara teknologi pada dasarnya mampu menjangkau seluruh dunia, bisa menjadi pintu masuk bagi talenta dan sineas Indonesia untuk dikenal bahkan menjadi idola di negara lain. Ingat apa yang dialami dan dilakukan oleh pelaku industri hiburan Korea Selatan.

Mengawinkan film dengan kekayaan budaya dan alam Indonesia mungkin bisa menjadi cara efektif dalam mengangkat Indonesia sebagai negara destinasi wisata yang menyenangkan, juga sebagai sarana mempopulerkan karya-karya kreatif anak bangsa tidak hanya dalam bidang fesyen, kesenian, musik, lingkungan, tapi banyak lagi lainnya.

Dengan keseriusan dan ide-ide berkarya cemerlang, serta banyak platform yang tersedia sebagai saluran distribusi, era digital merupakan peluang besar yang harus ditangkap.

Bermodalkan ide-ide berbasiskan kearifan dan budaya lokal yang eksotik, dipadukan dengan kekayaan serta keindahan alam tanah air, semua harus optimistis bahwa masa depan perfilman Indonesia bakal tetap hidup dan berjaya, bukan saja di negeri sendiri tapi juga di tingkat internasional.



Upaya Pemerintah

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo juga terus mendorong berkembangnya layanan-layanan OTT karya anak bangsa, dengan terus mempersiapkan ekosistem ditigal yang kondusif, dari mulai perluasan akses internet melalui program Palapa Ring di seluruh tanah air, hingga literasi digital dan beasiswa untuk menciptakan talenta-talenta digital melalui program Digital Talent Scholarship.

Kominfo juga sedang memformulasikan aturan untuk layanan OTT dengan tujuan di antaranya melindungi industri domestik agar tetap bisa tumbuh dan terjaga dengan baik, meskipun tetap tidak menghilangkan hak-hak masyarakat untuk bisa mendapatkan layanan terbaik dari OTT.

Selain aturan yang rigid dan fleksibel, ada pilihan untuk membuat aturan yang bersifat progresif dan sui generis (aturan khusus untuk hal yang bersifat spesifik atau unik), atau bisa juga integratif.

Sui generis artinya akan ada undang-undang tersendiri yang mengatur tentang OTT, sedangkan integratif berarti aturan OTT akan dimasukkan ke dalam UU Telekomunikasi atau UU Penyiaran yang baru, atau UU terkait lainnya.

Kementarian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebagai lembaga yang membidangi industri kreatif, juga terus mendorong industri kreatif jeli memanfaatkan peluang era digital.

Belum lama ini, bekerja sama dengan Persatuan Karyawan Film Televisi Indonesia menyelenggarakan SCENE (Marterclass Pengembangan Skenario Film TV dan OTT) dalam upaya mendorong pelaku ekonomi kreatif membuat konten yang semakin berkualitas baik untuk konten TV, film, maupun OTT.
 

Pewarta: Suryanto

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020