Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Almusawa mengapresiasi Badan Usaha Milik Negara untuk kehutanan yang merambah bisnis pangan.
"Kita sudah sepatutnya mengapresiasi langkah Perum Perhutani yang saat ini sedang membangun pabrik pengolahan tepung sagu modern di Sorong Selatan, Papua Barat," ujarnya dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Jumat.
Langkah Perum Perhutani tersebut, menurut legislator asal daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Selatan, bisa dipandang sebagai wujud partisipasi BUMN Kehutanan tersebut dalam membantu ketersediaan pangan di dalam negeri.
"Sebab salah satu problem besar bangsa saat ini dan masa datang adalah ketersediaan pangan dari dalam negeri sendiri. Problem ini harus diatasi secara lintas sektoral, termasuk didalamnya lintas BUMN," ujarnya.
"Perhutani telah mewujudkan konsep tersebut dan harus kita apresiasi. Meski status BUMN Kehutanan, Perhutani terlibat juga dalam penyediaan pangan di dalam negeri," paparnya.
Menurut pemberitaan, ungkapnya, di tanah Papua terdapat lahan sagu mencapai dua juta hektare (ha). Perum Perhutani membangun pabrik modern setelah mendapat konsesi lahan sagu seluas 17.000 ha Sorong Selatan.
Pembangunan pabrik sudah dimulai tahun lalu dan diperkirakan selesai tahun 2015. Nantinya pabrik itu ditargetkan bisa memproduksi 100 ton tepung sagu per hari.
Kemudian tepung sagu yang dihasilkan tersebut akan dijual ke konsumen dan industri nasional, bahkan untuk pasar ekspor. Ada juga rencana memproduksi bioetanol dari sagu.
Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat (Jabar) itu berharap, keberadaan pabrik tersebut menjadi solusi bagi masyarakat Papua yang selama ini kesulitan mendapatkan tepung sagu untuk diolah menjadi makanan.
Proses mengolah pohon sagu menjadi tepung secara tradisional diperlukan waktu sekitar dua minggu. "Dengan adanya pabrik ini diharapkan bisa menyediakan tepung sagu yang harganya lebih murah ketimbang beras," ujarnya.
Lebih dari itu, lanjut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, warga Papua diharapkan bersedia meninggalkan beras dan kembali menjadikan sagu sebagai makanan pokok.
"Bila warga Papua bersedia beralih dari beras kembali ke sagu, maka Perhutani bukan hanya menyukseskan program Ketahanan pangan tetapi juga sekaligus menyokong program diversifikasi pangan yang dicanangkan Pemerintah," lanjutnya.
Selain itu, sekaligus pula mengurangi volume penyediaan beras untuk Papua, tambah wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian tersebut.
Ia mengingatkan, agar Perhutani tetap harus serius di bisnis intinya, meski sudah terjun di bisnis pangan. "Industri kehutanan juga membutuhkan bahan baku yang tidak sedikit. Ini, bisnis yang juga tidak kalah menggiurkan," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014
"Kita sudah sepatutnya mengapresiasi langkah Perum Perhutani yang saat ini sedang membangun pabrik pengolahan tepung sagu modern di Sorong Selatan, Papua Barat," ujarnya dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Jumat.
Langkah Perum Perhutani tersebut, menurut legislator asal daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Selatan, bisa dipandang sebagai wujud partisipasi BUMN Kehutanan tersebut dalam membantu ketersediaan pangan di dalam negeri.
"Sebab salah satu problem besar bangsa saat ini dan masa datang adalah ketersediaan pangan dari dalam negeri sendiri. Problem ini harus diatasi secara lintas sektoral, termasuk didalamnya lintas BUMN," ujarnya.
"Perhutani telah mewujudkan konsep tersebut dan harus kita apresiasi. Meski status BUMN Kehutanan, Perhutani terlibat juga dalam penyediaan pangan di dalam negeri," paparnya.
Menurut pemberitaan, ungkapnya, di tanah Papua terdapat lahan sagu mencapai dua juta hektare (ha). Perum Perhutani membangun pabrik modern setelah mendapat konsesi lahan sagu seluas 17.000 ha Sorong Selatan.
Pembangunan pabrik sudah dimulai tahun lalu dan diperkirakan selesai tahun 2015. Nantinya pabrik itu ditargetkan bisa memproduksi 100 ton tepung sagu per hari.
Kemudian tepung sagu yang dihasilkan tersebut akan dijual ke konsumen dan industri nasional, bahkan untuk pasar ekspor. Ada juga rencana memproduksi bioetanol dari sagu.
Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat (Jabar) itu berharap, keberadaan pabrik tersebut menjadi solusi bagi masyarakat Papua yang selama ini kesulitan mendapatkan tepung sagu untuk diolah menjadi makanan.
Proses mengolah pohon sagu menjadi tepung secara tradisional diperlukan waktu sekitar dua minggu. "Dengan adanya pabrik ini diharapkan bisa menyediakan tepung sagu yang harganya lebih murah ketimbang beras," ujarnya.
Lebih dari itu, lanjut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, warga Papua diharapkan bersedia meninggalkan beras dan kembali menjadikan sagu sebagai makanan pokok.
"Bila warga Papua bersedia beralih dari beras kembali ke sagu, maka Perhutani bukan hanya menyukseskan program Ketahanan pangan tetapi juga sekaligus menyokong program diversifikasi pangan yang dicanangkan Pemerintah," lanjutnya.
Selain itu, sekaligus pula mengurangi volume penyediaan beras untuk Papua, tambah wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian tersebut.
Ia mengingatkan, agar Perhutani tetap harus serius di bisnis intinya, meski sudah terjun di bisnis pangan. "Industri kehutanan juga membutuhkan bahan baku yang tidak sedikit. Ini, bisnis yang juga tidak kalah menggiurkan," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014