Pakar politik Muhammad Najib mengatakan Islamophobia di Eropa diperkuat oleh media sosial yang berisi konten provokatif dan menjangkau setiap lapisan warga Benua Biru seiring perkembangan teknologi.
Dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah daring bertema "Islam dan Islamofobia di Eropa", Jumat malam, Najib mengatakan dalam 20 tahun terakhir Islamophobia di Eropa semakin menunjukkan gejala negatif seiring pertumbuhan medsos.
"Media sosial yang membuat masyarakat menengah ke bawah dan golongan atas sama dalam mendapatkan informasi, kadang tanpa batas sehingga dapat terprovokasi," kata dia.
Ia mengatakan medsos sering menjadi media baru untuk menuangkan berbagai ide-ide termasuk menebar kebencian terhadap Islam (Islamophobia). Dengan begitu, kejadian penistaan Islam di negara-negara Skandinavia tidak terlepas dari peran media sosial.
Di banyak negara termasuk Eropa, kata dia, sejumlah politisi juga memperkuat narasi Islamophobia demi meraih jabatan dan atau simpati. Dengan tujuan meraih dukungan massa para tokoh politik menghembuskan isu-isu populis anti-Islam.
Hal serupa, kata dia, juga terjadi di belahan negara lain. Presiden Donald Trump di Amerika Serikat saat berkampanye memanfaatkan isu supremasi kulit putih. Isu-su identitas dikembangkan guna meraih simpati publik AS, termasuk mendiskreditkan Islam.
Di Israel, lanjut dia, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga memanfaatkan isu Islamophobia bahkan termasuk anti-Arab dalam kampanye dan kebijakannya. Kemudian, Perdana Menteri Narendra Modi di India juga melakukan hal serupa yang ujungnya adalah Islamophobia.
Fenomena Islamophobia, kata dia, terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang sejatinya Islam yang moderat. Masyarakat dunia lebih banyak mengenal Islam yang radikal dan Timur Tengah sentris yang antidemokrasi.
Padahal, kata Najib, terdapat Indonesia sebagai negara yang mampu menyandingkan Islam dan demokrasi. Untuk itu, dia berpesan kepada Muslim agar terus dapat memajukan dirinya secara disiplin terutama menguasai ilmu pengetahuan guna mengkonter sejumlah isu negatif tentang Islam.
Dengan begitu, kata dia, golongan Islam yang radikal akan kalah populer sehingga citra agama yang disampaikan Nabi Muhammad SAW itu memiliki citra positif sebagaimana aslinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah daring bertema "Islam dan Islamofobia di Eropa", Jumat malam, Najib mengatakan dalam 20 tahun terakhir Islamophobia di Eropa semakin menunjukkan gejala negatif seiring pertumbuhan medsos.
"Media sosial yang membuat masyarakat menengah ke bawah dan golongan atas sama dalam mendapatkan informasi, kadang tanpa batas sehingga dapat terprovokasi," kata dia.
Ia mengatakan medsos sering menjadi media baru untuk menuangkan berbagai ide-ide termasuk menebar kebencian terhadap Islam (Islamophobia). Dengan begitu, kejadian penistaan Islam di negara-negara Skandinavia tidak terlepas dari peran media sosial.
Di banyak negara termasuk Eropa, kata dia, sejumlah politisi juga memperkuat narasi Islamophobia demi meraih jabatan dan atau simpati. Dengan tujuan meraih dukungan massa para tokoh politik menghembuskan isu-isu populis anti-Islam.
Hal serupa, kata dia, juga terjadi di belahan negara lain. Presiden Donald Trump di Amerika Serikat saat berkampanye memanfaatkan isu supremasi kulit putih. Isu-su identitas dikembangkan guna meraih simpati publik AS, termasuk mendiskreditkan Islam.
Di Israel, lanjut dia, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga memanfaatkan isu Islamophobia bahkan termasuk anti-Arab dalam kampanye dan kebijakannya. Kemudian, Perdana Menteri Narendra Modi di India juga melakukan hal serupa yang ujungnya adalah Islamophobia.
Fenomena Islamophobia, kata dia, terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang sejatinya Islam yang moderat. Masyarakat dunia lebih banyak mengenal Islam yang radikal dan Timur Tengah sentris yang antidemokrasi.
Padahal, kata Najib, terdapat Indonesia sebagai negara yang mampu menyandingkan Islam dan demokrasi. Untuk itu, dia berpesan kepada Muslim agar terus dapat memajukan dirinya secara disiplin terutama menguasai ilmu pengetahuan guna mengkonter sejumlah isu negatif tentang Islam.
Dengan begitu, kata dia, golongan Islam yang radikal akan kalah populer sehingga citra agama yang disampaikan Nabi Muhammad SAW itu memiliki citra positif sebagaimana aslinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020