Industri ritel Inggris pada Jumat mendesak negosiator Inggris dan Eropa agar mencapai kesepakatan perdagangan pasca-Brexit, seraya memperingatkan bahwa tanpa perdagangan bebas tarif maka konsumen mulai tahun depan akan menghadapi harga yang lebih tinggi.
Sektor tersebut telah mengumumkan ribuan pekerjaan yang hilang akibat pandemi COVID-19 lantaran pembeli yang hati-hati menjauh dari jalan raya, dan tahap selanjutnya proses Brexit menciptakan tantangan lebih lanjut.
Inggris meninggalkan Uni Eropa pada Januari dan saat ini dalam masa transisi yang mandek dengan blok tersebut untuk memberi kedua pihak waktu guna memperbaiki hubungan baru dalam hal apa pun mulai dari perdagangan hingga keamanan.
Putaran pembicaraan pekan lalu mandek, dengan kedua pihak mengatakan bahwa, sementara mereka menginginkan sebuah kesepakatan, mereka belum mengatasi jurang pemisah dalam posisi yang dapat membuat Inggris meninggalkan masa transisi tanpa kesepakatan perdagangan.
Empat perlima impor pangan Inggris berasal dari Uni Eropa. Impor EU juga memiliki peran utama dalam rantai pasokan untuk fashion, peralatan rumah tangga, dan sektor ritel lainnya.
Pada Mei pemerintah Inggris mengeluarkan daftar tarif baru mereka, yang berlaku mulai 1 Januari 2021 jika kesepakatan tidak disetujui.
Menurut daftar tersebut 85 makanan yang diimpor dari EU akan menghadapi tarif lebih dari 5 persen, termasuk 48 daging sapi cincang dan 16 mentimun. Tarif rata-rata untuk makanan yang diimpor dari EU akan lebih dari 20 persen.
Mengingat sifat ritel yang begitu kompetitif, industri tidak dapat menyerap semua kenaikan biaya ini, yang artinya masyarakat akan menghadapi harga yang lebih tinggi, demikian British Retail Consortium (BRC).
“Banyak konsumen di Inggris mengalami kekacauan saat penguncian (COVID-19); tanpa sebuah kesepakatan, masyarakat dapat menghadapi tantangan yang lebih besar di akhir masa transisi," kata Andrew Opie, direktur pangan dan keberlanjutan BRC.
"Dengan berjalannya waktu hingga 31 Desember, pemerintah harus memprioritaskan konsumen dan menyetujui kesepakatan yang menghindari tarif dan meminimalkan dampak penghalang nontarif."
Pengecer Inggris, yang bergelut dengan harga sewa yang tinggi, pajak usaha, margin yang ketat dan persaingan online, secara khusus mendapat pukulan keras akibat penguncian COVID-19 dan data menunjukkan bahwa konsumen enggan memasuki toko-toko bahkan ketika pembatasan dilonggarkan.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Sektor tersebut telah mengumumkan ribuan pekerjaan yang hilang akibat pandemi COVID-19 lantaran pembeli yang hati-hati menjauh dari jalan raya, dan tahap selanjutnya proses Brexit menciptakan tantangan lebih lanjut.
Inggris meninggalkan Uni Eropa pada Januari dan saat ini dalam masa transisi yang mandek dengan blok tersebut untuk memberi kedua pihak waktu guna memperbaiki hubungan baru dalam hal apa pun mulai dari perdagangan hingga keamanan.
Putaran pembicaraan pekan lalu mandek, dengan kedua pihak mengatakan bahwa, sementara mereka menginginkan sebuah kesepakatan, mereka belum mengatasi jurang pemisah dalam posisi yang dapat membuat Inggris meninggalkan masa transisi tanpa kesepakatan perdagangan.
Empat perlima impor pangan Inggris berasal dari Uni Eropa. Impor EU juga memiliki peran utama dalam rantai pasokan untuk fashion, peralatan rumah tangga, dan sektor ritel lainnya.
Pada Mei pemerintah Inggris mengeluarkan daftar tarif baru mereka, yang berlaku mulai 1 Januari 2021 jika kesepakatan tidak disetujui.
Menurut daftar tersebut 85 makanan yang diimpor dari EU akan menghadapi tarif lebih dari 5 persen, termasuk 48 daging sapi cincang dan 16 mentimun. Tarif rata-rata untuk makanan yang diimpor dari EU akan lebih dari 20 persen.
Mengingat sifat ritel yang begitu kompetitif, industri tidak dapat menyerap semua kenaikan biaya ini, yang artinya masyarakat akan menghadapi harga yang lebih tinggi, demikian British Retail Consortium (BRC).
“Banyak konsumen di Inggris mengalami kekacauan saat penguncian (COVID-19); tanpa sebuah kesepakatan, masyarakat dapat menghadapi tantangan yang lebih besar di akhir masa transisi," kata Andrew Opie, direktur pangan dan keberlanjutan BRC.
"Dengan berjalannya waktu hingga 31 Desember, pemerintah harus memprioritaskan konsumen dan menyetujui kesepakatan yang menghindari tarif dan meminimalkan dampak penghalang nontarif."
Pengecer Inggris, yang bergelut dengan harga sewa yang tinggi, pajak usaha, margin yang ketat dan persaingan online, secara khusus mendapat pukulan keras akibat penguncian COVID-19 dan data menunjukkan bahwa konsumen enggan memasuki toko-toko bahkan ketika pembatasan dilonggarkan.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020