Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memonitor adanya peningkatan aktivitas seismisitas di wilayah Morotai, Maluku Utara, selama Mei 2020 sehingga wajar jika terjadi gempa kuat seperti yang terjadi pada Kamis (4/6) dengan magnitudo 6,8.
"Wajar jika di zona aktif gempa yang terjadi sebulan sebelumnya, kini terjadi gempa kuat," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Minggu.
Gempa Morotai, Maluku Utara, bermagnitudo 6,8 dengan kedalaman 111 km yang terjadi pada Kamis pukul 15.49.40 WIB lalu berdampak menimbulkan kerusakan pada ratusan bangunan di Kabupaten Pulau Morotai.
Hingga Minggu pagi monitoring BMKG menunjukkan adanya lima kali aktivitas gempa susulan. Magnitudo gempa susulan terbesar 4,8 dan terkecil 2,9. Gempa susulan terakhir tercatat pada pukul 10.58.23 WIB berkekuatan magnitudo 3,9.
Daryono mengatakan, minimnya jumlah aktivitas gempa susulan di Morotai disebabkan karena karakteristik batuan pada Lempeng Laut Filipina sangat homogen dan elastis (ductile). Sifat elastis pada batuan ini yang menjadikan batuan tidak rapuh, sehingga gempa susulan yang terjadi di Morotai sangat sedikit.
Namun wilayah Morotai merupakan salah satu kawasan seismik aktif di Indonesia. Lokasi Pulau Morotai bersebelahan dengan zona subduksi Lempeng Laut Filipina.
Di sebelah timur Pulau Halmahera melintas subduksi Lempeng Laut Filipina yang berarah utara-selatan dengan panjang mencapai sekitar 1.200 km, dari Pulau Luzon, Filipina, di Utara hingga Pulau Halmahera di selatan. Zona subduksi aktif ini memiliki laju penunjaman lempeng antara 10 hingga 46 milimeter per tahun.
Dia menjelaskan, zona megathrust Lempeng laut Filipina adalah ancaman terjadinya bencana gempa dan tsunami yang potensial bagi wilayah Maluku Utara Khususnya Halmahera, Morotai, dan Kepulauan Talaud.
Khusus segmen zona megathrust di Pulau Halmahera memiliki magnitudo tertarget 8,2. Jika aktivitas gempa Kamis lalu berkekuatan magnitudo 6,8 maka masih jauh lebih kecil dari magnitudo tertargetnya.
Catatan sejarah gempa menunjukkan bahwa di wilayah tersebut sudah sering kali terjadi gempa kuat dan merusak yang dipicu tunjaman Lempeng Laut Filipina, yaitu gempa merusak Kepulauan Talaud 23 Oktober 1914 dengan magnitudo 7,4.
Tercatat juga gempa merusak Halmahera 27 Maret 1949 bermagnitudo 7,0. Lalu gempa merusak Kepulauan Talaud 24 September 1957 magnitudo 7,2. Kemudian pada 8 September 1966 gempa magnitudo 7,7 yang merusak Halmahera Utara dan Morotai.
Gempa merusak Kepulauan Talaud 30 Januari 1969 magnitudo 7,6 serta gempa merusak Maluku Utara dan Morotai pada 26 Mei 2003 bermagnitudo 7,0.
Catatan sejarah 6 gempa kuat dan merusak tersebut di atas merupakan bukti bahwa zona Megathrust pada tunjaman Lempeng Laut Filipina, khususnya Segmen Halmahera-Talaud menjadi salah satu sumber gempa yang patut diwaspadai dan tidak boleh diabaikan.
"Tunjaman Lempeng Laut Filipina ini selamanya akan menjadi sumber gempa potensial di wilayah Halmahera, Morotai dan Kepulauan Talaud," ujar Daryono.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
"Wajar jika di zona aktif gempa yang terjadi sebulan sebelumnya, kini terjadi gempa kuat," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Minggu.
Gempa Morotai, Maluku Utara, bermagnitudo 6,8 dengan kedalaman 111 km yang terjadi pada Kamis pukul 15.49.40 WIB lalu berdampak menimbulkan kerusakan pada ratusan bangunan di Kabupaten Pulau Morotai.
Hingga Minggu pagi monitoring BMKG menunjukkan adanya lima kali aktivitas gempa susulan. Magnitudo gempa susulan terbesar 4,8 dan terkecil 2,9. Gempa susulan terakhir tercatat pada pukul 10.58.23 WIB berkekuatan magnitudo 3,9.
Daryono mengatakan, minimnya jumlah aktivitas gempa susulan di Morotai disebabkan karena karakteristik batuan pada Lempeng Laut Filipina sangat homogen dan elastis (ductile). Sifat elastis pada batuan ini yang menjadikan batuan tidak rapuh, sehingga gempa susulan yang terjadi di Morotai sangat sedikit.
Namun wilayah Morotai merupakan salah satu kawasan seismik aktif di Indonesia. Lokasi Pulau Morotai bersebelahan dengan zona subduksi Lempeng Laut Filipina.
Di sebelah timur Pulau Halmahera melintas subduksi Lempeng Laut Filipina yang berarah utara-selatan dengan panjang mencapai sekitar 1.200 km, dari Pulau Luzon, Filipina, di Utara hingga Pulau Halmahera di selatan. Zona subduksi aktif ini memiliki laju penunjaman lempeng antara 10 hingga 46 milimeter per tahun.
Dia menjelaskan, zona megathrust Lempeng laut Filipina adalah ancaman terjadinya bencana gempa dan tsunami yang potensial bagi wilayah Maluku Utara Khususnya Halmahera, Morotai, dan Kepulauan Talaud.
Khusus segmen zona megathrust di Pulau Halmahera memiliki magnitudo tertarget 8,2. Jika aktivitas gempa Kamis lalu berkekuatan magnitudo 6,8 maka masih jauh lebih kecil dari magnitudo tertargetnya.
Catatan sejarah gempa menunjukkan bahwa di wilayah tersebut sudah sering kali terjadi gempa kuat dan merusak yang dipicu tunjaman Lempeng Laut Filipina, yaitu gempa merusak Kepulauan Talaud 23 Oktober 1914 dengan magnitudo 7,4.
Tercatat juga gempa merusak Halmahera 27 Maret 1949 bermagnitudo 7,0. Lalu gempa merusak Kepulauan Talaud 24 September 1957 magnitudo 7,2. Kemudian pada 8 September 1966 gempa magnitudo 7,7 yang merusak Halmahera Utara dan Morotai.
Gempa merusak Kepulauan Talaud 30 Januari 1969 magnitudo 7,6 serta gempa merusak Maluku Utara dan Morotai pada 26 Mei 2003 bermagnitudo 7,0.
Catatan sejarah 6 gempa kuat dan merusak tersebut di atas merupakan bukti bahwa zona Megathrust pada tunjaman Lempeng Laut Filipina, khususnya Segmen Halmahera-Talaud menjadi salah satu sumber gempa yang patut diwaspadai dan tidak boleh diabaikan.
"Tunjaman Lempeng Laut Filipina ini selamanya akan menjadi sumber gempa potensial di wilayah Halmahera, Morotai dan Kepulauan Talaud," ujar Daryono.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020