Badan Restorasi Gambut (BRG) melakukan penerapan sistem pertanian pada lahan gambut dengan prinsip menanam tanpa membakar, dengan menyelenggarakan Sekolah Lapang Petani Gambut, guna mengurangi tradisi membuka lahan pertanian dengan cara membakar di Kalimantan Selatan.

Dinamisator BRG Wilayah Kalimantan Selatan Enik Maslahah di Marabahan, Senin mengatakan, kini pihaknya sedang melakukan upaya mengalihkan kebiasaan sebagian petani yang melakukan pengolahan lahan pertanian dengan cara membakar, dirubah menggunakan sistem pertanian terpadu.

Menurut dia, melalui sekolah lapangan, pengelolaan dan pembukaan lahan pertanian lahan gambut dengan sistem membakar bisa berkurang.

Enik mengungkapkan, tidak dapat dipungkiri, sistem membakar lahan dinilai paling efektif untuk pembukaan lahan gambut sekaligus mengurangi kadar asam lahan yang cukup tinggi.

Namun dalam jangka panjang, penggunaan cara tersebut justru malah merugikan petani, karena setelah dua tahun, lahan yang dibakar bukannya subur tapi akan menjadi rusak.

Selain itu, membakar juga merugikan masyarakat secara umum, karena bisa menimbulkan dampak kabut asap, yang akan mengganggu perekonomian dan kesehatan masyarakat secara luas.

Guna menyikapi hal tersebut, sejak 2017 BRG terus berupaya mengedukasi petani, terutama petani yang tergabung dalam pengembangan Desa Peduli Gambut (DPG).

Baca juga: Polisi akan tindak tegas pelaku pembakaran lahan

Saat ini di Kalsel telah terbentuk 33 desa peduli gambut dan telah meluluskan sebanyak 42 kader yang keseluruhannya telah mengikuti sekolah lapangan.

Menurut dia, ada beberapa syarat bagi petani untuk bisa mengikuti sekolah lapang, antara lain adalah harus memiliki lahan, sebagai sarana peserta untuk melaksanakan praktik lapangan, yang kemudian ditularkan kepada petani lainnya.

"Melalui sekolah lapang tersebut, bukanlah hal mustahil, pembukaan lahan dengan membakar ditinggalkan, karena ada alternatif lain tanpa harus membakar lahan ," katanya.
 
Pelaksanaan sekolah lapang yang dilaksanakan Badan Restorasi Gambut di Batola, Senin (19/8) 2019 (Antaranews Kalsel/Latif Thohir)

Penyelenggaraan Sekolah lapang petani gambut, yang berlangsung di Desa Danda Jaya Kecamatan Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala, dimulai pada hari Senin hingga Kamis (19-22),
yang diikuti oleh 30 orang petani dari beberapa desa di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara.

Materi yang diberikan kepada peserta sekolah lapang antara lain,  sosialisasi mengolah lahan pertanian tanpa membakar, cara pembuatan pupuk organik, cara pemasaran hasil pertanian dan pengolahan manajemen yang disampaikan beberapa narasumber yang berpengalaman.

Staf Kedeputian Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut, Deasy Efnidawesty mengatakan, sekolah lapang kali ini titik beratnya adalah pengolahan lahan tanpa membakar.

Baca juga: Kotabaru usulkan Perda larangan pembakaran lahan

Menurutnya, membakar lahan, merupakan cara yang telah menjadi tradisi banyak petani di Indonesia. Padahal kondisi lahan gambut sangat rentan terbakar. "Jika pembakaran lahan tetap dilakukan, akan berpotensi menyebabkan kebakaran lahan dan hutan," katanya.

Dalam sekolah lapang, petani diperkenalkan tentang pertanian terpadu di lahan gambut, mulai persiapan lahan pengolaahn pupuk, sampai pasca panen, termasuk pemberantasan hama dan sebagainya.

Solusi yang ditawarkan, pembakaran bukan satu-satunya cara untuk menyuburkan tanah. Namun sudah ada pupuk cair yang proses pembuatanya sangat murah dan terbukti efektif meningkatkan kadar Ph tanah dari sekitar 2-3 menjadi 6-7.

“Itu sudah dibuktikan dan banyak menghasiklan tanaman yang bisa dikembangkan di lahan gambut," tambahnya.

Pada edukasi tersebut, terdapat lima hal materi utama yang diberikan kepada peserta, antara lain yakni bagaimana menanam lahan tanpa membakar, membuat pupuk padat, pola pertanian terpadu, mengoptimalkan pemasaran, dan mengembangkan kearifan lokal.

Baca juga: Kodim 1002/Barabai pantau lokasi pembakaran lahan

Pewarta: Latif Thohir

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019