Assalamu 'alaika, ya zainal ambiya-i ...Assalamu'alaika
(Salam kepadamu wahai hiasan para Nabi, Salam kepadamu)
Assalamu 'alaika, atqal atqiyai ...Assalamu'alaika
(Salam kepadamu insan yang paling taqwa, Salam kepadamu)
Assalamu 'alaika, azkal azkiya ...Assalamu'alaika
(Salam kepadamu insan yang paling suci, Salam kepadamu)
Malam itu, bertepatan dengan 4 Februari 2011, langit Kota Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, dipenuhi gema shalawat dan salam serta puja dan puji terhadap Nabi Besar Muhammad SAW.
Syair-syair Maulid yang berisikan kemulyaan Baginda Rasulullah, nabi akhir zaman, Muhammad SAW, mulai diperdengarkan. Mengalun indah, syahdu dan mendayu merambati malam. Merasuki tiap-tiap langgar dan mushola hingga ke relung hati. Malam itu, sebuah perhelatan panjang di mulai.
Sudah menjadi tradisi di seluruh Indonesia, bahkan dunia, bulan Maulid akan ramai dengan perayaan dan pembacaan syair-syair seperti Al Barzanji, Ad Diba’a maupun Al Habsy. Namun pelaksanaan itu terasa berbeda di HST, karena kemeriahannya yang berlangsung satu bulan penuh.
Dimulai ketika memasuki bulan Rabiul Awwal yang kali ini bertepatan dengan 4 Februari 2011, perayaan maulid di gelar serentak di semua langgar dan mushola. Acaranya berlangsung sederhana, namun penuh dengan makna kebersamaan, gotong royong dan kekeluargaan.
Warga di setiap RT, merayakannya di langgar atau mushola masing-masing. Setiap warga di minta membawa nasi bungkus yang nantinya akan dibagikan untuk di santap. Kegiatan itu di sebut dengan istilah manyambut bulan (menjemput bulan).
Keesokan harinya, 2 Rabiul Awwal, prosesi pelaksanaan Maulid yang sebenarnya di mulai. Kala sore menjelang, ruas-ruas jalan mulai dipadati mobil dan kendaraan bermotor. Di tambah lagi sebagian warga yang berjalan kaki menghadiri perayaan Maulid, membuat beberapa ruas jalan macet.
Perayaan Maulid di HST dilakukan masyarakatnya di semua kampung, dari rumah ke rumah. Kegiatan ini dilakukan serentak dalam satu kampung, dengan mengundang warga kampung lain. Sebuah kampung yang melaksanakan Maulid bisa mengundang warga kampung lain sampai lebih dari 50 rombongan. Khusus untuk rombongan, waktunya malam hari.
Pada masyarakat HST, mereka membentuk karukunan (perkumpulan) yang di sebut Handil Maulid. Para anggota Handil Maulid bertugas menghadiri undangan Maulid di kampung lain. Pada Handil Maulid, pesertanya ba-arisan Maulid sebagai persiapan dana untuk pelaksanaan Maulid di kampung mereka.
Ketika bulan Maulid tiba, peserta Handil Maulid bertindak sebagai panitia. Warga yang melaksanakan Maulid dirumahnya, menentukan berapa rombongan dari undangan yang akan dijamu. Satu rombongan biasanya berjumlah 10 sampai 15 orang. Undangan untuk kampung lainpun di sebar jauh hari sebelum datangnya bulan Maulid. Dengan begitu, sangat jarang terjadi tabrakan atau sebuah kampung melaksanakan Maulid bersamaan dengan kampung lain.
Perayaan Maulid dilakukan satu hari penuh. Pagi hingga sore hari, sang empunya hajat menjamu tamu dari jauh. Seperti kenalan, saudara, kerabat dan handai taulan dari jauh. Jadilah perayaan Maulid di HST sebagai ajang silaturahmi besar-besaran. Karena biasanya yang datang bukan hanya kerabat yang tinggal di Barabai saja, tetapi mereka yang tinggal jauh di provinsi lain.
Itulah uniknya perayaan Maulid disini. Bila suatu kampung menggelar perayaan Maulid, seketika itu kampung akan berubah meriah. Umbul-umbul dan sound system yang di pasang warga, membuat kampung menjadi semarak. Para undangan yang tak putus-putus berdatangan, menjadikan Maulid terasa lebih meriah daripada Hari Raya Idul Fitry.
Selain kemeriahan dan kegembiraan dapat bertemu teman, saudara dan kerabat, di bulan Maulid tiap hari warga makan enak. Menu hidangan yang disajikan dari pagi hingga malam, sangat beragam. Mulai dari menu tradisional seperti soto banjar, rawon, katupat kandangan, masak habang, garih haruan, wadai bolang, hingga menu internasional seperti kentucky ala Amerika, disajikan secara prasmanan.
Tak ketinggalan, menu masakan bercita rasa Timur Tengah disuguhkan. Yang biasa selalu ada adalah nasi samin. Masakan nasi berlemak dengan lauk daging kambing ini, disajikan dalam nampan besar yang di makan secara bersamaan oleh beberapa orang.
Maulid dan Gula Pasir
Ada tradisi unik untuk para teman atau kerabat yang saruan (datang memenuhi undangan). Biasanya, bila yang datang suami istri, mereka membawa 1 Kg gula pasir sebagai buah tangan untuk si empunya hajat. Ketika pulang, ganti sang empunya hajat yang manyangui (membekali) mereka dengan nasi dan lauk. Tapi bila yang datang hanya suami atau pria saja, biasanya tanpa membawa apa-apa dan ketika pulang diapun tidak di sangui (di bekali) apa-apa, selain perut yang kenyang.
Itulah mengapa, di Kota Barabai Maulid juga di sebut Maulud, Maulut atau Mulut saja oleh anak remaja. Hal itu diartikan kurang lebih sebagai acara makan-makan. Karena mereka datang memenuhi undangan hanya untuk menjejali mulut dengan makanan yang memang disediakan beragam.
Realita kegiatan Maulid yang dilakukan urang (orang atau warga atau penduduk) Barabai selama satu bulan penuh, menjadi masalah tersendiri bagi mereka yang mempunyai banyak kenalan. Karena mereka harus memenuhi undangan setiap hari.
Bahkan bukan hanya di satu tempat, tapi dalam sehari bisa mendapat undangan sampai lima. Bila sudah begini, hidangan hanya bisa di santap di rumah pertama yang didatangi. Sisanya, cukuplah mencicipi kue yang disediakan. Karena untuk menolak datang atau kada saruan, di rasa kurang sopan.
Selain kemeriahan dan ajang silaturahmi massal, menambah rasa cinta kepada Baginda Nabi dan suasana yang eksotik serta kekeluargaan yang kental, bulan Maulid kadang di rasa sedikit memberatkan. Terutama bagi mereka yang kurang mampu. Hal itu terkait dengan tradisi saruan yang membawa gula pasir sebagai buah tangan.
Bagi mereka yang kehidupannya pas-pasan, membeli 1 Kg gula pasir bukanlah hal mudah. Keadaan ini terkadang membuat mereka yang kurang mampu terpaksa kada tulak saruan (tidak memenuhi undangan). Walaupun untuk itu, mereka terpaksa menanggung malu karena sangsi sosial yang diberikan masyarakat sekitar.
Sebenarnya tidak ada kewajiban atau aturan yang mengharuskan saruan membawa buah tangan. Tetapi, tradisi itu melekat begitu erat pada masyarakat Barabai. Mungkin saja sebagai perwujudan sosial kemasyarakatan, sifat gotong royong dan bantu membantu terhadap sesama.
Namun terkadang, mereka yang tidak membawa buah tangan mendapat sangsi sosial di masyarakat. Terutama ibu-ibu yang senang bergosip dengan dikatakan kada tahu di basa (tidak punya sopan santun / tidak tahu malu). Dan hal itu sungguh menyakitkan bagi mereka yang tak mampu.
Bulan Manyumbalih Hayam
Banyak keunikan dan hal-hal menarik dari ritual dan prosesi Maulid di HST. Keinginan yang sangat kuat untuk dapat melaksanakan acara Maulid, mendorong warga menjadi lebih rajin. Setidaknya dalam hal mengumpulkan uang dan bainguan hayam (memelihara ayam).
Niatan untuk melaksanakan Maulid, tidak datang dengan tiba-tiba, tapi penuh persiapan yang matang. Hingga warga jauh-jauh hari sudah memelihara beberapa ekor ayam yang nanti akan di potong dan digunakan sebagai lauk. Jadilah bulan Maulid ini juga sebagai bulan manyumbalih hayam (bulan memotong atau menyembelih ayam).
Sesuai tradisi, para undangan yang datang, sebelum di suguhi nasi dan lauk biasanya disuguhi teh manis dan wadai (kue). Selain itu, sang empunya hajat senantiasa melengkapi hidangannya dengan buah-buahan. Jadilah ritual saruan di bulan Maulid betul-betul mengasyikkan, menyenangkan dan menyehatkan. Apalagi bagi mereka yang memang senang makan.
Inti pelaksanaan Maulid bagi urang Barabai adalah bukti kecintaan kepada Rasulullah. Walaupun pada urang Barabai, Maulid memiliki pola pendekatan yang sedikit berbeda. Maulid bagi mereka sekaligus sebagai alternatif hiburan religius dan kenduri, selain ajang silaturahmi dan rasa kekerabatan yang tinggi. Agak berbeda mungkin dengan urang Martapura yang memandang Maulid sebagai suatu pilihan.
Karena di anggap sebagai alternatif hiburan religius dan kenduri, maka wajarlah bila perayaan Maulid di daerah ini sangat berbeda dengan daerah lain. Bagi mereka pecinta makanan, inilah saat yang tepat untuk mengaflikasikan kegemarannya. Karena di bulan ini, sangat mudah menemukan makanan beraneka ragam.
Kemeriahan perayaan maulid dengan segala pernak-perniknya, kesyahduan pembacaan syair yang berisi puji-pujian kepada Nabi dengan iringingan tarbang (gendang), silaturrahmi massal sampai hidangan nasi samin, merupakan pesona religius yang mungkin takkan ditemukan di tempat lain. Pastinya, pengalaman ba-Maulid di HST menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Amin ya Allah, amin ya Allah....
Amin ya Allah, insya Allah
Amin ya Allah, amin ya Allah...
Amin ya Allah, alhamdulillah
(Nadi/A)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2011
(Salam kepadamu wahai hiasan para Nabi, Salam kepadamu)
Assalamu 'alaika, atqal atqiyai ...Assalamu'alaika
(Salam kepadamu insan yang paling taqwa, Salam kepadamu)
Assalamu 'alaika, azkal azkiya ...Assalamu'alaika
(Salam kepadamu insan yang paling suci, Salam kepadamu)
Malam itu, bertepatan dengan 4 Februari 2011, langit Kota Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, dipenuhi gema shalawat dan salam serta puja dan puji terhadap Nabi Besar Muhammad SAW.
Syair-syair Maulid yang berisikan kemulyaan Baginda Rasulullah, nabi akhir zaman, Muhammad SAW, mulai diperdengarkan. Mengalun indah, syahdu dan mendayu merambati malam. Merasuki tiap-tiap langgar dan mushola hingga ke relung hati. Malam itu, sebuah perhelatan panjang di mulai.
Sudah menjadi tradisi di seluruh Indonesia, bahkan dunia, bulan Maulid akan ramai dengan perayaan dan pembacaan syair-syair seperti Al Barzanji, Ad Diba’a maupun Al Habsy. Namun pelaksanaan itu terasa berbeda di HST, karena kemeriahannya yang berlangsung satu bulan penuh.
Dimulai ketika memasuki bulan Rabiul Awwal yang kali ini bertepatan dengan 4 Februari 2011, perayaan maulid di gelar serentak di semua langgar dan mushola. Acaranya berlangsung sederhana, namun penuh dengan makna kebersamaan, gotong royong dan kekeluargaan.
Warga di setiap RT, merayakannya di langgar atau mushola masing-masing. Setiap warga di minta membawa nasi bungkus yang nantinya akan dibagikan untuk di santap. Kegiatan itu di sebut dengan istilah manyambut bulan (menjemput bulan).
Keesokan harinya, 2 Rabiul Awwal, prosesi pelaksanaan Maulid yang sebenarnya di mulai. Kala sore menjelang, ruas-ruas jalan mulai dipadati mobil dan kendaraan bermotor. Di tambah lagi sebagian warga yang berjalan kaki menghadiri perayaan Maulid, membuat beberapa ruas jalan macet.
Perayaan Maulid di HST dilakukan masyarakatnya di semua kampung, dari rumah ke rumah. Kegiatan ini dilakukan serentak dalam satu kampung, dengan mengundang warga kampung lain. Sebuah kampung yang melaksanakan Maulid bisa mengundang warga kampung lain sampai lebih dari 50 rombongan. Khusus untuk rombongan, waktunya malam hari.
Pada masyarakat HST, mereka membentuk karukunan (perkumpulan) yang di sebut Handil Maulid. Para anggota Handil Maulid bertugas menghadiri undangan Maulid di kampung lain. Pada Handil Maulid, pesertanya ba-arisan Maulid sebagai persiapan dana untuk pelaksanaan Maulid di kampung mereka.
Ketika bulan Maulid tiba, peserta Handil Maulid bertindak sebagai panitia. Warga yang melaksanakan Maulid dirumahnya, menentukan berapa rombongan dari undangan yang akan dijamu. Satu rombongan biasanya berjumlah 10 sampai 15 orang. Undangan untuk kampung lainpun di sebar jauh hari sebelum datangnya bulan Maulid. Dengan begitu, sangat jarang terjadi tabrakan atau sebuah kampung melaksanakan Maulid bersamaan dengan kampung lain.
Perayaan Maulid dilakukan satu hari penuh. Pagi hingga sore hari, sang empunya hajat menjamu tamu dari jauh. Seperti kenalan, saudara, kerabat dan handai taulan dari jauh. Jadilah perayaan Maulid di HST sebagai ajang silaturahmi besar-besaran. Karena biasanya yang datang bukan hanya kerabat yang tinggal di Barabai saja, tetapi mereka yang tinggal jauh di provinsi lain.
Itulah uniknya perayaan Maulid disini. Bila suatu kampung menggelar perayaan Maulid, seketika itu kampung akan berubah meriah. Umbul-umbul dan sound system yang di pasang warga, membuat kampung menjadi semarak. Para undangan yang tak putus-putus berdatangan, menjadikan Maulid terasa lebih meriah daripada Hari Raya Idul Fitry.
Selain kemeriahan dan kegembiraan dapat bertemu teman, saudara dan kerabat, di bulan Maulid tiap hari warga makan enak. Menu hidangan yang disajikan dari pagi hingga malam, sangat beragam. Mulai dari menu tradisional seperti soto banjar, rawon, katupat kandangan, masak habang, garih haruan, wadai bolang, hingga menu internasional seperti kentucky ala Amerika, disajikan secara prasmanan.
Tak ketinggalan, menu masakan bercita rasa Timur Tengah disuguhkan. Yang biasa selalu ada adalah nasi samin. Masakan nasi berlemak dengan lauk daging kambing ini, disajikan dalam nampan besar yang di makan secara bersamaan oleh beberapa orang.
Maulid dan Gula Pasir
Ada tradisi unik untuk para teman atau kerabat yang saruan (datang memenuhi undangan). Biasanya, bila yang datang suami istri, mereka membawa 1 Kg gula pasir sebagai buah tangan untuk si empunya hajat. Ketika pulang, ganti sang empunya hajat yang manyangui (membekali) mereka dengan nasi dan lauk. Tapi bila yang datang hanya suami atau pria saja, biasanya tanpa membawa apa-apa dan ketika pulang diapun tidak di sangui (di bekali) apa-apa, selain perut yang kenyang.
Itulah mengapa, di Kota Barabai Maulid juga di sebut Maulud, Maulut atau Mulut saja oleh anak remaja. Hal itu diartikan kurang lebih sebagai acara makan-makan. Karena mereka datang memenuhi undangan hanya untuk menjejali mulut dengan makanan yang memang disediakan beragam.
Realita kegiatan Maulid yang dilakukan urang (orang atau warga atau penduduk) Barabai selama satu bulan penuh, menjadi masalah tersendiri bagi mereka yang mempunyai banyak kenalan. Karena mereka harus memenuhi undangan setiap hari.
Bahkan bukan hanya di satu tempat, tapi dalam sehari bisa mendapat undangan sampai lima. Bila sudah begini, hidangan hanya bisa di santap di rumah pertama yang didatangi. Sisanya, cukuplah mencicipi kue yang disediakan. Karena untuk menolak datang atau kada saruan, di rasa kurang sopan.
Selain kemeriahan dan ajang silaturahmi massal, menambah rasa cinta kepada Baginda Nabi dan suasana yang eksotik serta kekeluargaan yang kental, bulan Maulid kadang di rasa sedikit memberatkan. Terutama bagi mereka yang kurang mampu. Hal itu terkait dengan tradisi saruan yang membawa gula pasir sebagai buah tangan.
Bagi mereka yang kehidupannya pas-pasan, membeli 1 Kg gula pasir bukanlah hal mudah. Keadaan ini terkadang membuat mereka yang kurang mampu terpaksa kada tulak saruan (tidak memenuhi undangan). Walaupun untuk itu, mereka terpaksa menanggung malu karena sangsi sosial yang diberikan masyarakat sekitar.
Sebenarnya tidak ada kewajiban atau aturan yang mengharuskan saruan membawa buah tangan. Tetapi, tradisi itu melekat begitu erat pada masyarakat Barabai. Mungkin saja sebagai perwujudan sosial kemasyarakatan, sifat gotong royong dan bantu membantu terhadap sesama.
Namun terkadang, mereka yang tidak membawa buah tangan mendapat sangsi sosial di masyarakat. Terutama ibu-ibu yang senang bergosip dengan dikatakan kada tahu di basa (tidak punya sopan santun / tidak tahu malu). Dan hal itu sungguh menyakitkan bagi mereka yang tak mampu.
Bulan Manyumbalih Hayam
Banyak keunikan dan hal-hal menarik dari ritual dan prosesi Maulid di HST. Keinginan yang sangat kuat untuk dapat melaksanakan acara Maulid, mendorong warga menjadi lebih rajin. Setidaknya dalam hal mengumpulkan uang dan bainguan hayam (memelihara ayam).
Niatan untuk melaksanakan Maulid, tidak datang dengan tiba-tiba, tapi penuh persiapan yang matang. Hingga warga jauh-jauh hari sudah memelihara beberapa ekor ayam yang nanti akan di potong dan digunakan sebagai lauk. Jadilah bulan Maulid ini juga sebagai bulan manyumbalih hayam (bulan memotong atau menyembelih ayam).
Sesuai tradisi, para undangan yang datang, sebelum di suguhi nasi dan lauk biasanya disuguhi teh manis dan wadai (kue). Selain itu, sang empunya hajat senantiasa melengkapi hidangannya dengan buah-buahan. Jadilah ritual saruan di bulan Maulid betul-betul mengasyikkan, menyenangkan dan menyehatkan. Apalagi bagi mereka yang memang senang makan.
Inti pelaksanaan Maulid bagi urang Barabai adalah bukti kecintaan kepada Rasulullah. Walaupun pada urang Barabai, Maulid memiliki pola pendekatan yang sedikit berbeda. Maulid bagi mereka sekaligus sebagai alternatif hiburan religius dan kenduri, selain ajang silaturahmi dan rasa kekerabatan yang tinggi. Agak berbeda mungkin dengan urang Martapura yang memandang Maulid sebagai suatu pilihan.
Karena di anggap sebagai alternatif hiburan religius dan kenduri, maka wajarlah bila perayaan Maulid di daerah ini sangat berbeda dengan daerah lain. Bagi mereka pecinta makanan, inilah saat yang tepat untuk mengaflikasikan kegemarannya. Karena di bulan ini, sangat mudah menemukan makanan beraneka ragam.
Kemeriahan perayaan maulid dengan segala pernak-perniknya, kesyahduan pembacaan syair yang berisi puji-pujian kepada Nabi dengan iringingan tarbang (gendang), silaturrahmi massal sampai hidangan nasi samin, merupakan pesona religius yang mungkin takkan ditemukan di tempat lain. Pastinya, pengalaman ba-Maulid di HST menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Amin ya Allah, amin ya Allah....
Amin ya Allah, insya Allah
Amin ya Allah, amin ya Allah...
Amin ya Allah, alhamdulillah
(Nadi/A)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2011