Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengklaim pertanian responsif atau responsive farming, yakni metode pertanian dengan memperhitungkan perubahan iklim dapat meningkatkan produktivitas petani hingga 30 persen.
"Rata-rata melalui ini (pertanian responsif) ada peningkatan produksi pertanian hingga 30 persen karena sebetulnya selama ini petani tidak sadar bahwa iklim sedang berubah, jadi jika tidak diajari mereka bertani seperti biasa, tahun ini awal musim bisa Oktober, tahun depan bisa November dan sebagainya," kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal di Jakarta, Senin.
Pernyataan tersebut disampaikan Herizal dalam konferensi pers usai pembukaan pelatihan teknis untuk penyuluh atau "training for trainer" (TOT) pertanian responsif bagi 19 peserta dari tujuh negara anggota kerja sama The Colombo Plan, termasuk Indonesia, di Jakarta dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG di Bogor, Jawa Barat, 17-23 Juni 2019.
Menurut Herizal, Indonesia cukup percaya diri untuk menjadi contoh sukses dari pertanian responsif di tengah perubahan iklim dan membagikan pengalaman tersebut kepada negara-negara lain.
"Sebetulnya sejak 2011, pemerintah Indonesia sudah menyadari perubahan iklim akan mengganggu produksi pertanian jika tidak dimitigasi, makanya pemerintah mengeluarkan Inpers 9/2011 tentang penguatan ketahanan pangan dan bagaimana menghadapi perubahan iklim ekstrem," kata dia.
Pelatihan teknis pertanian responsif bagi calon penyuluh pertanian dari tujuh negara anggota The Colombo Plan itu dikemas dalam bentuk Climate Field School (CFS) untuk membekali petani dengan pengetahuan dan keterampilan tentang pengaruh perubahan iklim terhadap semua kegiatan pertanian.
Lebih lanjut, Herizal menjelaskan CFS akan mencakup pembelajaran tentang tiga aspek utama dalam pertanian, yakni tanah, bibit dan iklim.
"Bibit ada rekayasa genetika, lahan bisa penggemburan, tapi iklim sampai sekarang kita belum bisa mengendalikan, adanya menyesuaikan, jadi fokusnya mengenalkan informasi tentang iklim pada trainer sehingga mereka bisa menyebarkan lebih luas lagi kepada para petani di negara masing-masing," kata dia.
Selain cara membaca informasi cuaca atau iklim, melalui CFS para peserta juga diajarkan cara merespon pergeseran informasi tersebut untuk diaplikasikan di lapangan.
"Harapannya, para trainer dapat menyebarluaskan hasil pelatihan ini kepada para petani dengan bahasa yang mudah dimengerti sehingga petani dapat menanam sesuai dengan kondisi iklim yang ada," kata dia.
TOT pertanian responsif diselenggarakan BMKG, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Luar Negeri, dan Sekretariat The Colombo Plan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
"Rata-rata melalui ini (pertanian responsif) ada peningkatan produksi pertanian hingga 30 persen karena sebetulnya selama ini petani tidak sadar bahwa iklim sedang berubah, jadi jika tidak diajari mereka bertani seperti biasa, tahun ini awal musim bisa Oktober, tahun depan bisa November dan sebagainya," kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal di Jakarta, Senin.
Pernyataan tersebut disampaikan Herizal dalam konferensi pers usai pembukaan pelatihan teknis untuk penyuluh atau "training for trainer" (TOT) pertanian responsif bagi 19 peserta dari tujuh negara anggota kerja sama The Colombo Plan, termasuk Indonesia, di Jakarta dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG di Bogor, Jawa Barat, 17-23 Juni 2019.
Menurut Herizal, Indonesia cukup percaya diri untuk menjadi contoh sukses dari pertanian responsif di tengah perubahan iklim dan membagikan pengalaman tersebut kepada negara-negara lain.
"Sebetulnya sejak 2011, pemerintah Indonesia sudah menyadari perubahan iklim akan mengganggu produksi pertanian jika tidak dimitigasi, makanya pemerintah mengeluarkan Inpers 9/2011 tentang penguatan ketahanan pangan dan bagaimana menghadapi perubahan iklim ekstrem," kata dia.
Pelatihan teknis pertanian responsif bagi calon penyuluh pertanian dari tujuh negara anggota The Colombo Plan itu dikemas dalam bentuk Climate Field School (CFS) untuk membekali petani dengan pengetahuan dan keterampilan tentang pengaruh perubahan iklim terhadap semua kegiatan pertanian.
Lebih lanjut, Herizal menjelaskan CFS akan mencakup pembelajaran tentang tiga aspek utama dalam pertanian, yakni tanah, bibit dan iklim.
"Bibit ada rekayasa genetika, lahan bisa penggemburan, tapi iklim sampai sekarang kita belum bisa mengendalikan, adanya menyesuaikan, jadi fokusnya mengenalkan informasi tentang iklim pada trainer sehingga mereka bisa menyebarkan lebih luas lagi kepada para petani di negara masing-masing," kata dia.
Selain cara membaca informasi cuaca atau iklim, melalui CFS para peserta juga diajarkan cara merespon pergeseran informasi tersebut untuk diaplikasikan di lapangan.
"Harapannya, para trainer dapat menyebarluaskan hasil pelatihan ini kepada para petani dengan bahasa yang mudah dimengerti sehingga petani dapat menanam sesuai dengan kondisi iklim yang ada," kata dia.
TOT pertanian responsif diselenggarakan BMKG, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Luar Negeri, dan Sekretariat The Colombo Plan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019