Jakarta (ANTARA) - Musyawarah Nasional ke-15 Ikatan Pencak Silat Indonesia (PB IPSI) di Bogor 15-18 Desember lalu mengusung tema "Indonesia maju, pencak silat menuju Olimpiade".
Impian besar itu tidak mustahil namun juga bakal melalui jalan panjang seperti dialami misalnya oleh taekwondo dan karate sebelum keduanya resmi dimainkan dalam Olimpiade. Bahkan setelah debut dalam Olimpiade Tokyo 2020 karate tak dipertandingkan dalam Olimpiade Paris 2024.
Cita-cita besar memasukkan pencak silat dalam gelanggang Olimpiade patut didukung siapa pun, karena ini juga memuliakan warisan asli bangsa yang sarat sejarah dan juga memuat karakter, budaya dan seni asli Nusantara.
Ini lebih dari sekadar olahraga dan Olimpiade, namun juga soal nasionalisme dan mempromosikan nilai, budaya dan karakter nasional ke pentas global.
Tetapi seperti disebut Ketua Umum Pengurus Besar IPSI Prabowo Subianto, cita-cita besar ini membutuhkan dukungan seluruh pihak, kerja keras dan kesediaan untuk belajar kepada siapa pun.
Dan di antara yang bisa menjadi referensi belajar adalah dari bagaimana taekwondo dan karate naik level ke puncak gengsi Olimpiade.
Seperti pencak silat, sebelum masuk Olimpiade taekwondo yang produk asli budaya Korea ini juga terlebih dahulu mengorganisasikan diri dengan yang pertama mendirikan Asosiasi Taekwondo Korea (KTA) pada 1959.
Ternyata KTA lebih belakangan didirikan ketimbang IPSI yang justru sudah ada sejak 18 Mei 1948.
Padepokan-padepokan silat di Indonesia juga sudah dikenal jauh sebelum negara ini merdeka, sebaliknya Korea baru mendirikan Kukkiwon atau akademi nasional taekwondo pada 1972.
Setahun setelah itu pada 1973, Kukkiwon dan KTA membentuk Federasi Taekwondo Dunia (WTF). Tahun ini juga mereka menggelar kejuaraan internasional pertama di Seoul. Sejak itu pula Korea berupaya keras memasukkan taekwondo dalam Olimpiade.
"Kerja keras' seperti diucapkan Prabowo dalam kaitan mengolimpiadekan pencak silat, adalah kata yang tepat untuk melukiskan upaya dan komitmen besar para pemangku kepentingan di Korea guna mengolimpiadekan taekwondo.
Pada 1974 taekwondo masuk American Athletic Union (AAU) dalam kaitannya dengan menetapkan standar untuk taekwondo tapi juga mengadopsi standar WTF.
Beberapa tahun kemudian WTF bertransformasi menjadi World Taekwondo atau Taekwondo Dunia yang terdengar lebih membumi untuk dunia.
Semakin digandrungi
Setahun kemudian taekwondo mengafiliasikan diri dengan General Associiation of International Sports Federation (GAISF) yang aktif bekerja sama dengan Olimpiade dan mempromosikan kerjasama antara federasi-federasi olahraga internasional. Lima tahun setelah itu Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengakui taekwondo.
Setelah dipertandingkan dalam World Games, taekwondo menjadi cabang eksibisi dalam Olimpiade Seoul 1988 dan Olimpiade Madrid 1992. Selama waktu itu pula taekwondo masuk berbagai event dan multievent internasional terkemuka.
Akhirnya taekwondo melakukan debut sebagai olahraga resmi Olimpiade pada Olimpiade Sydney 2000. Sejak Sydney itu pula taekwondo dipertandingkan dalam setiap Olimpiade.
Kisah kurang lebih sama terjadi pada karate yang baru menjalani debut Olimpiade di Tokyo 2020, namun di Paris 2024 karate tak lagi dipertandingkan dalam Olimpiade.
Karate dikenal di mana-mana, bahkan masuk dunia pop di mana aktor-aktor seperti Chuck Norris, Cobra Kai sampai Jaden Smith mempopulerkan olahraga ini lewat film-film yang terbilang sukses seperti "The Karate Kid".
Namun setelah puluhan tahun dikampanyekan masuk Olimpiade, karate baru bisa resmi dipertandingkan pada Olimpiade Tokyo empat bulan lalu.
Dibandingkan dengan pencak silat yang sudah dipraktikkan berabad-abad, karate baru populer di Jepang awal abad ke-20 setelah menyebar dari Okinawa.
Esensi sejati karate jauh lebih dari sekadar memukul dan menendang karena olahraga ini juga sudah menjadi bagian dari filosofi hidup, terutama bagi yang mempraktikkannya, persis seperti pencak silat di Indonesia.
Para pengurus karate sudah mendorong keras agar cabang ini masuk Olimpiade sejak 1970-an, tetapi baru di Tokyo 2020, karate dipertandingkan.
Seperti halnya taekwondo, karate berusaha memadankan aturan-aturan bertanding dengan standar internasional, bahkan Federasi Karate Dunia (WKF) sudah menyederhanakan aturan-aturan kompetisi sebelum masuk Olimpiade.
Kini keduanya sudah masuk Olimpiade dan ini menciptakan demam taekwondo dan karate yang membuatnya semakin digandrungi, termasuk oleh anak-anak dan kaum muda.
Pembibitan pun menjadi lebih luas dan lebih mudah, sementara turnamen semakin banyak dan kian sering diadakan.
Akibat lainnya adalah kebanggaan nasional meningkat dan industri olahraga kian bergairah karena popularitas olahraga hampir selalu berkaitan dengan sponsor dan komersialisasi yang menjadi bagian penting dalam olahraga modern.
Lebih mendunia lagi
Yang tak kalah pentingnya budaya dan nilai lokal menjadi mendunia sehingga membantu mengglobalkan karakter-karakter istimewa nasional yang bisa memberikan sumbangan kepada khasanah budaya global, apalagi UNESCO pada 13 Desember 2019 sudah menyatakan pencak silat sebagai warisan budaya dunia.
Pencak silat juga bisa seperti itu, jika dikelola seperti Korea dan Jepang mengelola taekwondo dan karate, dan jika dikelola sekeras mungkin serta melibatkan semua kalangan seperti diinginkan Prabowo Subianto. Apalagi pencak silat bukan semata olahraga.
Setidaknya ada empat aspek utama yang melekat dengan pencak silat, yakni aspek mental spiritual yang berkaitan dengan kepribadian serta karakter mulia seseorang. Lalu aspek seni budaya di mana salah satunya menggambarkan bentuk seni, musik dan busana tradisional.
Ketiga, aspek bela diri yang mendorong kepercayaan tinggi dan ketekunan sehingga menguatkan karakter pribadi seseorang yang pastinya penting pula dalam kaitannya dengan pembangunan karakter nasional.
Dan tentu saja ada aspek olahraga yang membuat pencak silat juga berkaitan dengan kompetisi dan prestasi.
Adalah pencak silat yang berperan lebih bear dalam mengerek posisi Indonesia pada Asian Games 2018.
Nilai-nilai luhur dalam keempat aspek ini mesti dilestarikan dan dipromosikan kepada dunia.
Caranya tentu bukan hanya lewat turnamen-turnamen, namun juga bisa dikuatkan lebih dalam dunia populer seperti film yang bisa membuat pencak silat dikenal dalam spektrum lebih luas.
Pun dengan acara-acara kebudayaan seperti sering digelar kedutaan besar-kedutaan besar Indonesia di seluruh dunia guna melengkapi eksibisi seni dan budaya Nusantara yang kerap memasukkan pula kekayaan kuliner Indonesia.
Semua itu semestinya sejalan dengan langkah-pangkah seperti Korea dan Jepang menduniakan taekwondo dan karate dengan merangkul globalitas dan menyandingkannya dengan lokalitas, selain dengan kian mendekatkan lagi keorganisasiannya kepada dunia.
Federasi Taekwondo Dunia (WTF) yang tujuh tahun didirikan sebelum International Pencak Silat Federation (IPSF) berdiri pada 11 Maret 1980, telah berganti nama menjadi World Taekwondo yang terkesan semakin menjadi milik dunia.
Yang juga tak kalah penting adalah menggerakkan semua pemangku kepentingan, selain mengajak figur-figur mendunia, entah atlet atau bahkan pelaku sinema, guna lebih menduniakan pencak silat.
Pokoknya, segala upaya harus ditempuh demi kian mengglobalkan pencak silat sampai semua orang merasa olahraga bela diri khas Nusantara ini layak pentas dalam Olimpiade.