Sekitar 30 ribu warga Suku Dayak yang menghuni Pegunungan Meratus (Pegunungan Muller dan Schwaner) di pulau terbesar Kalimantan ternyata memiliki cara untuk mempertahankan kehidupan bagi keturunannya.

Karena kebanyakan Suku Dayak Pegunungan Meratus mengandalkan kehidupannya dari alam yakni lahan maka bagaimana agar lahan tersebut terjaga dan terpelihara dengan baik.

Dengan cara demikian, maka alam dan lahan selalu memberikan sumber kehidupan bagi mereka yang tinggal sekarang maupun anak cucu keturunannya.

Seperti Suku Dayak yang tinggal di Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Provinsi Kalimantan Selatan ini.

Saat seorang peneliti Doktor Abdul Haris Mustari, Dosen pada Fakultas Kehutanan IPB Bogor terlibat dalam tim Ekspedisi Khatulistiwa tahun 2012 korwil 08 HST Kalsel tertarik ingin mengetahui bagaimana warga Dayak bisa bertahan hidup dengan memanfaatkan tata guna lahan.

Setelah melakukan penelitian tersebut, Abdul Harus Mustari baru tahu kalau di lokasi Pedalaman Kalimantan tersebut ada istilah Tanah Diagih.

Tanah diagih, artinya pembagian tanah menurut fungsinya, atau yang lebih dikenal adalah tatatguna lahan versi Dayak Meratus.

Tanah diagih membagi lahan menurut fungsi dan peruntukannya, dan ini telah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. "Menurut adat istiadat Dayak Meratus, tanah atau hutan adat dibagi menjadi, hutan lindung, hutan adat, hutan keramat,serta hutan pamali," katanya dalam perbincangan dengan para wartawan di lokasi pos Kotis Desa Murung B Kecamatan Hantakan, HST, pertengahan Mei 2012 ini.

Hutan lindung menurut mereka,kata Abdul Haris Mustari adalah hutan yang diperuntukkan untuk menjadi sumber air dan mencegah banjir dan erosi serta untuk menjaga kesuburan tanah.

Di hutan lindung tidak diperkenankan menebang pohon dan akar-akaran serta tidak membuka ladang karena dianggap dapat merusak lingkungan.

Di kampung Juhu dan sekitarnya beberapa kawasan hutan yang dianggap sebagai hutan lindung yaitu Gunung Halau Halau, Gunung Kilai, Gunung Himayung, Gunung Mansilan, dan Gunung Kepala Pitu.

Hutan lindung dan gunung-gunung tersebut secara turun temurun tidak pernah dibuat ladang atau menjadi kawasan pemukiman oleh nenek moyang Dayak Meratus.

Kemudian hutan adat, adalah hutan yang terutama diperuntukkan sebagai sumber buah dan getah seeperti getah damar.

Sementara hutan keramat adalah hutan yang terdapat di lahan pekuburan, tempat arwah nenek moyang mereka bersemayam.

Di hutan keramat tidak diperbolehkan menebang kayu karena dianggap keramat, dan apabila terjadi pelanggaran, mereka percaya bahaya akan menimpa.

Sedangkan terakhir adalah hutan pamali, hutan ini adalah hutan tempat pemujaan, dimana terdapat terdapat pohon-pohon yang dianggap keramat misalnya pohon Kariwaya (sejenis pohon beringin).

Pemilihan pohon yang dipuja biasanya melalui mimpi atau alamat kepada orang tertentu dari anggota keluarga, dan pemujaan dilakukan oleh beberapa KK bukan seluruh anggota masyarakat di suatu kampung. Pohon yang dipuja diperlakukan istimewa, dan diberikan sesaji setiap tahun.

Mereka percaya bahwa di pohon Kariwaya itu berdiam mahluk halus dan karena itu perlu diberikan sesaji waktunya biasanya pada bulan September atau Oktober.

Bahan sesaji berupa ayam kampung yang dipotong, air kunyit yang melambangkan cahaya kuning matahari, lamang, telur ayam kampung, air gula merah/telaga darah dan kemenyan.

Persembahan sesajin dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 0800-1000. Mantra dibaca untuk memanggil Roh Sang Hyang.

Setelah pemberian sesaji, seluruh anggota keluarga dari beberapa KK yang tergabung dalam pemujaan itu tidak boleh masuk hutan dimana pohon yang dipuja itu berada selama tiga hari.

Apabila pantangan itu dilanggar maka mereka percaya bahwa sesuatu yang buruk misalnya kecelakaan akan menimpa mereka.

72 temuan

Tim ekspedisi khatulistiwa 2012 Koordinator Wilayah 08 Kabupaten HST Kalimantan Selatan selama penjelajahan berhasil mencatat 72 temuan.

Mayor Sus Komaruddin, perwira sejarah TNI AU kepada wartawan yang tergabung dalam jurnalis pena hijau, di lokasi pos Kotis Desa Murung B tersebut menyebutkan 72 temuan tersebut 50 temuan diantaranya adalah bidang fauna, 18 temuan bidang flora, dan empat temuan bidang kehutanan.

Sedangkan potensi bencana terangkum dalam bentuk pengamatan secara langsung dikaitkan dengan faktor adat istiadat,pendidikan, dan ekonomi warga Dayak di Pegunungan Meratus kawasan tersebut.

Menurut Komaruddin, saat ini tim korwil 08/HST sedang melaksanakan persiapan untuk penjelajah tahap kedua yang direncanakan mulai tanggal 15 Mei 2012 akan melaksanakan penjelajahan dan penelitian di daerah Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Disebutkannya, timnya mulai melaksanakan penjelajahan dan penelitian mulai Rabu 11 April 2012 sebelah Selatan Pegunungan Meratus dengan objek penelitian dan penjelajahan di Gunung Tindihan, Gunung Paku, Gunung Periuk, balai adat Tamburasak dan balai adat Mancatur.

Tim terdiri tim jelajah 2 sebanyak 13 personil dan tim peneliti 1 sebanyak 15 personil, sementara tim jelajah 1 sebanyak 11 personil dan tim peneliti 2 sebanyak 14 personil.

Dengan daerah penjelajahan dan penelitian di desa Kiyu, Datar Hampakan, Juhu, Batu Perahu, Sumbai, Hinas Kiri, dan Gunung Halau-halau.

Sementara timlainnya, yang disebut Tim Komsos melaksanakan kegiatan sosial di Tempat Pemakaman Umum (TPU),Masjid Jami Al Mujahid Desa Besar Kecamatan Batang Alai Selatan.

Selain itu melakukan penanaman pohon di Natih Kecamatan Batang Alai Timur, pengobatan massaldi Desa Timan Kecamatan Batu Benawa,penanaman 1000 pohon di Kabupaten Tapin, dan donor darahdi Kodim 1002 Barabai. /D/C



Pewarta: Hasan Zainuddin

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2012