Kotabaru (Antaranews Kalsel) - Nelayan bagan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, akhir-akhir ini menghadapi musim paceklik, karena hasil tangkapannya terus berkurang.
"Seperti biasanya, bulan sepuluh hingga bulan lima (Oktober-Mei) nelayan bagan menemui musim panen, karena hasil tangkapan nelayan bagan saat itu cukup banyak. Namun akhir-akhir ini bulan sepuluh sudah berakhir justru sebaliknya, hasil tangkapan ikan setiap malam terus berkurang," kata Sekretaris Kelompok Pengawasan Masyarakat Nelayan, Mulyadi, di Kotabaru, Rabu.
Dikatakan, rata-rata pendapatan nelayan bagan 3 kg-4 kg ikan setiap malam, padahal biasanya setiap malam nelayan bisa memperoleh hasil tangkapan ikan 10 kg-15 kg.
Dengan berkurangnya tangkapan mereka, hasil penjualan ikan yang diperolehnya tidak cukup untuk menutupi biaya operasional untuk membeli BBM kapal dan lampu mesin genset.
"Bahkan tidak jarang, kami tidak mendapatkan apa-apa, sementara modal usaha satu malam minimal Rp100 ribu. Kondisi tersebut membuat kami (para nelayan) semakin merugi," terang Mulyadi.
Hal yang lebih parah lagi, lanjut Mulyadi, nelayan bagan kini sudah banyak yang kehabisan tabungan, dan hampir sebagian besar mereka berhutang kepada juragannya untuk membangun atau memperbaiki bagan yang roboh dan rusak akibat diterjang gelombang besar.
Hampir 90 persen dari 400 nelayan bagan di Sarangtiung, berhutang kepada juragan (punggawa) untuk membangun bagan, dan untuk biaya hidup sehari-hari.
Ia berharap, pemerintah daerah melalui instansi terkait bisa membantu memberikan solusi masalah nelayan yang menghadapi masa paceklik.
Sebelumnya, Ketua Kelompok Pengawasan Masyarakat Nelayan (Pokwasmas) Kotabaru Abdul Mulud, menuturkan, akibat angin kencang dan gelombang tinggi menyebabkan ratusan bagan milik nelayan ambruk.
Sekitar 400 buah bagan atau perangkap ikan yang dipasang di tengah laut ambruk karena diterjang tiupan angin kencang dan gelombang tinggi. "Cuaca ekstrem yang terjadi sejak Juli terjadi angin kencang dan gelombang tinggi," katanya.
Mulyadi menambahkan, selain 400 buah bagan ambruk, gelombang tinggi dan angin kencang juga menyebabkan sekitar 100 buah bagan kondisinya mereng. Bagan yang mereng masih bisa diperbaiki, namun yang runtuh sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, terkecuali membangun kembali.
Jumlah bagan nelayan di Desa Gedambaan dan Sarangtiung, Kecamatan Pulaulaut Utara diperkirakan 800 buah, namun dengan runtuhnya 400 bagan dan mereng sekitar 100 buah bagan maka sisa bagan yang bisa dioperasikan untuk menangkap ikan tinggal sebagian kecilnya saja.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru Muchran, mengemukakan, hingga saat ini pihaknya belum menerima laporan ambruknya ratusan bagan milik nelayan Gedambaan dan Sarangtiung.
"Saya dulu pernah menyarankan kepada nelayan untuk membangun bagan apung, sebagai alternatif apabila terjadi gelombang tinggi dan mengantisipasi kerugian yang cukup besar," terangnya.
Dua atau tiga nelayan, lanjut Muchran, bisa bergabung untuk membangun bagan apung, karena bisa bergerak dan bisa memilih lokasi yang banyak ikannya.
Dia menjelaskan, bagan apung adalah salah satu alternatif, untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi angin kecang dan gelombang tinggi, serta memilih lokasi yang lebih banyak ikannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017
"Seperti biasanya, bulan sepuluh hingga bulan lima (Oktober-Mei) nelayan bagan menemui musim panen, karena hasil tangkapan nelayan bagan saat itu cukup banyak. Namun akhir-akhir ini bulan sepuluh sudah berakhir justru sebaliknya, hasil tangkapan ikan setiap malam terus berkurang," kata Sekretaris Kelompok Pengawasan Masyarakat Nelayan, Mulyadi, di Kotabaru, Rabu.
Dikatakan, rata-rata pendapatan nelayan bagan 3 kg-4 kg ikan setiap malam, padahal biasanya setiap malam nelayan bisa memperoleh hasil tangkapan ikan 10 kg-15 kg.
Dengan berkurangnya tangkapan mereka, hasil penjualan ikan yang diperolehnya tidak cukup untuk menutupi biaya operasional untuk membeli BBM kapal dan lampu mesin genset.
"Bahkan tidak jarang, kami tidak mendapatkan apa-apa, sementara modal usaha satu malam minimal Rp100 ribu. Kondisi tersebut membuat kami (para nelayan) semakin merugi," terang Mulyadi.
Hal yang lebih parah lagi, lanjut Mulyadi, nelayan bagan kini sudah banyak yang kehabisan tabungan, dan hampir sebagian besar mereka berhutang kepada juragannya untuk membangun atau memperbaiki bagan yang roboh dan rusak akibat diterjang gelombang besar.
Hampir 90 persen dari 400 nelayan bagan di Sarangtiung, berhutang kepada juragan (punggawa) untuk membangun bagan, dan untuk biaya hidup sehari-hari.
Ia berharap, pemerintah daerah melalui instansi terkait bisa membantu memberikan solusi masalah nelayan yang menghadapi masa paceklik.
Sebelumnya, Ketua Kelompok Pengawasan Masyarakat Nelayan (Pokwasmas) Kotabaru Abdul Mulud, menuturkan, akibat angin kencang dan gelombang tinggi menyebabkan ratusan bagan milik nelayan ambruk.
Sekitar 400 buah bagan atau perangkap ikan yang dipasang di tengah laut ambruk karena diterjang tiupan angin kencang dan gelombang tinggi. "Cuaca ekstrem yang terjadi sejak Juli terjadi angin kencang dan gelombang tinggi," katanya.
Mulyadi menambahkan, selain 400 buah bagan ambruk, gelombang tinggi dan angin kencang juga menyebabkan sekitar 100 buah bagan kondisinya mereng. Bagan yang mereng masih bisa diperbaiki, namun yang runtuh sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, terkecuali membangun kembali.
Jumlah bagan nelayan di Desa Gedambaan dan Sarangtiung, Kecamatan Pulaulaut Utara diperkirakan 800 buah, namun dengan runtuhnya 400 bagan dan mereng sekitar 100 buah bagan maka sisa bagan yang bisa dioperasikan untuk menangkap ikan tinggal sebagian kecilnya saja.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru Muchran, mengemukakan, hingga saat ini pihaknya belum menerima laporan ambruknya ratusan bagan milik nelayan Gedambaan dan Sarangtiung.
"Saya dulu pernah menyarankan kepada nelayan untuk membangun bagan apung, sebagai alternatif apabila terjadi gelombang tinggi dan mengantisipasi kerugian yang cukup besar," terangnya.
Dua atau tiga nelayan, lanjut Muchran, bisa bergabung untuk membangun bagan apung, karena bisa bergerak dan bisa memilih lokasi yang banyak ikannya.
Dia menjelaskan, bagan apung adalah salah satu alternatif, untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi angin kecang dan gelombang tinggi, serta memilih lokasi yang lebih banyak ikannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017