Catatan Akhir Tahun -- PERJALANAN PANJANG KOTABARU REBUT LARILARIAN

Bupati Kotabaru H Irhami Ridjani dalam menyikapi terbitnya Permendagri No.43 tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Lari-Larian yang masuk Sulawesi Barat, berpendapat, pihak Kemendagri telah melakukan kebohongan publik.


"Pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah jelas melakukan kebohongan publik, karena menurut mereka Pemerintah Provinsi tidak memasukkan Pulau Lari-larian dalam daftar pulau yang ada di Kalimantan Selatan," katanya.

Irhami mengungkapkan, pada pertemuan tim Pembinaan dan pembakuan Nama-nama Pulau di Kalsel pada 9-11 Juli 2008 di Banjarmasin, tim dari Pemprov Kalsel bersama Pemkab Kotabaru menyampaikan bahwa Pulau Lari-larian masuk dalam daftar ke 134 pulau yang ada di Kalsel.

Namun kenyataannya, karena titik koordinatnya sama dengan nama salah satu pulau di Sulawesi Barat yakni Pulau Lerek-lerekan, maka tim dari Kemendagri meminta masalah Pulau Lari-larian ditunda terlebih dahulu.

"Atas permintaan tim dari Jakarta itu, tim dari Pemprov Kalsel yang terdsiri atas pejabat dari Kotabaru menerima permintaan tersebut dengan harapan, Sulawesi Barat juga tidak memasukkan Pulau Lerek-lerekan dari daftar pulau di Sulbar," katanya lagi.

Karena ditunda tersebut, tim dari Kotabaru pada 21 Juli 2008 kembali menyerahkan berkas dan bukti-bukti kuat bahwa Pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru kepada Kemendagri di Jakarta.

Beberapa bulan kemudian, pihak Kemendagri menerbitkan rancangan Peraturan Perundang-undangan Dirjen PUM bahwa dalam lampirannya Pulau Lari-larian urutan ke dua setelah Pulau Laut dari 134 pulau-pulau di Kalsel.

"Anehnya, kenapa saat menerbitkan Permendagri No.43/2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Lari-Larian yang masuk Sulawesi Barat, dasarnya hanya berdasarkan rapat tim pembinaan Pembakuan nama-nama Pulau 11 Juli 2008, tidak menggunakan data susulan," katanya setengah bertanya.

Padahal, pertemuan tersebut telah jelas disepakati bahwa nama Pulau Lari-larian ditunda pembahasannya.

Kemendagri juga tidak seharusnya menerbitkan Permendagri 43/2011 hanya merujuk satu dasar yang masih dalam masalah, namun harus merujuk pada bukti-bukti lain yang lebih kuat, seperti yang diamanatkan Pasal 10 Undang-Undang No.1 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengesahan Batas Daerah.

Butir pertama pasal 10 UU 1/2006, pemerintah dalam hal ini Dirjen bersama pihak terkait harus melakukan penelitian dokumen.

Kedua, melakukan pelacakan batas, ketiga, pemasangan patok di titik acuan, keempat, penentuan titik awal dan garis dasar di laut, kelima, melakukan pengukuran dan penetapan batas serta keenam, pembuatan peta batas.

Selanjutnya, pada ayat tiga dijelaskan, setiap tahapan yang dilakukan, harus dituangkan dalam berita acara kesepakatan.

Kalau tidak ada berita acara kesepakatan, berarti mekanismenya seperti yang dituangkan pada pasal 10 di atas tidak dijalankan oleh Kementerian Dalam Negeri.

"Jadi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri hanya tahap penelitian dokumen atau tahap pertama," ujar Rifani anggota tim dari Kotabaru.

Itupun berdasarkan pasal 11, yang dimaksud penelitian dokumen adalah penelitian peraturan perundang-undangan tenteng pembentukan daerah dan dokumen lain yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan.

Tahapan pertama itupun baru setengah jalan yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri.

Sekali lagi, Kemendagri dinilai telah melakukan kebohongan publik, dan akan memicu konflik di daerah.

"Hal ini tidak dapat dibiarkan," katanya.

Sampai kapanpun, ujar Bupati, Pemprov Kalsel dan Pemkab Kotabaru akan terus mempertahankan bahwa Pulau Lari-larian bagian dari wilayah Kotabaru.

Sebelumnya, anggota tim koordinasi Pulau Lari-larian dari Pemkab Kotabaru Taufik Rifani mengatakan, secara geografi, Selat Makassar yang memisahkan dataran Kalimantan dengan Sulawesi terdapat palung laut yang seharusnya dijadikan bukti rujukan, bahwa kedua pulau tersebut dipisahkan oleh batas alam.

Dimana Pulau Kalimantan dan Pulau Lari-Larian berada pada paparan Sunda sebelah barat. Sedangkan Pulau Sulawesi berada di paparan Sahui, sebelah timur palung.

Sementara itu, pernyataan yang disampaikan Bagian Humas Kementerian Dalam Negeri, Donni bahwa terbitnya Kepmendagri 43/201 di antaranya merujuk UU No.26/2004 tentang Pembentukan Sulawesi Barat, itu tidak sesuai.

Karena, ternyata setelah ditelaah UU No.26/2004 tidak menyebutkan batas-batas wilayah yang jelas.

"Hanya menyebutkan batas wilayah agak ke utara sedikit yang berbatasan dengan Kabupaten Paser Utara, sedangkan ke arah Kotabaru, menyebutkan hanya berbatasan dengan Selat Makassar begitu saja, lantas mana yang dijadikan rujukan yang tepat," imbuhnya.

Selain itu, peta yang dijadikan dasar juga hanya peta sketsa (peta buta), tidak ada titik koordinat, kalau itu dijadikan dasar sangat aneh.

Seharusnya Kementerian Dalam Negeri menggunakan dasar enam tahapan pada UU 1/2006.

PTUN dan Uji Materi

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, pihaknya sepakat masalah Pulau Larilarian yang menurut Permendagri Nomor 43 Tahun 2011, masuk wilayah Kabupaten Majene, Sulawesi Barat harus dilakukan upaya hukum.

Hal itu disampaikan Penggagas Kongres Masyarakat Sa-ijaan Kotabaru Nor Ipansyah M Hum, usai melakukan pertemuan bersama pihak Kementerian Dalam Negeri dan sejumlah tokoh dari Kalsel di Jakarta, belum lama ini.

Seyogyanya, upaya hukum tersebut dilakukan dua jalur sekaligus, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan uji materi atau judicial review dengan konsekuensi juridis masing-masing.

"Yang paling tepat memang Gubernur Kalsel yang mengajukan gugatan ke Kemantrian Dalam Negeri," ujar Ipansyah mengutip Denny.

Namun tidak masalah apabila ada pihak lain juga mengajukan gugatan, seperti DPRD atau masyarakat, imbuhnya.

Hakim Agung Abdurrahman menambahkan, memang ini persoalan hukum yg pelik, namun tetap harus diselesaikan lewat jalur hukum.

Ketua Himpunan masyarakat Banjar di Jakarta Mubramsyah, menegaskan, tidak ada kata kompromi.

Pulau Larilarian harus dikembalikan ke Kalimantan Selatan, tegas mantan Duta Besar Indonesia untuk Irak tersebut.

Mubramsyah mengibaratkan, ujar Ipansyah, Pulau Larilarian adalah anak kandung Kalsel yang diberikan sewenang-wenang kepada saudara Sulawesi Barat.

Artinya apabila ini dibiarkan terjadi maka bisa menodai kesatuan dan persatuan NKRI.

Jadi harus dikembalikan ke Kalsel," tandasnya.

Menurut Ipansyah, pertemuan informal tersebut memang diharapkan menjadi cikal bakal pertemuan yang lebih besar dan lebih banyak melibatkan para pihak.

"Dan yang paling tepat itu diprakarsai oleh Gubernur Kalimantan Selatan H Rudy Ariffin," ujar Ipansyah.

Hal tersebut dibenarkan oleh Bupati Kotabaru H Irhami Ridjani dan Abdurrahman, bahwa memang ada rencana kegiatan tersebut disampaikan Gubernur.

Namun sampai saat ini belum ada informasi kapan ditindaklanjuti, terangnya.

Begitu juga saat kunjungan anggota DPR RI Komisi IV ke Kotabaru beberapa waktu lalu.

Para wakil rakyat tersebut menyatakan akan menfasilitasi melalui jalur politik, namun perkembangannya sampai saat ini juga belum ada kejelasan.

Namun demikian pertemuan kecil ini sudah menjadi kekuatan akan komitmen mempertahankan harkat martabat dan harga diri masyarakat Kalsel.

Bupati Kotabaru dan Mubramsyah menegaskan dengan lantang, "Kada bamundur-munduran, harus terus diupayakan dengan cara apapun" (merebut kembali Larilarian akan terus dilakukan dan tidak akan mundur walaupun akan dilakukan dengan berbagai macam cara).

Dalam pertemuan tersebut, lanjut Ipansyah, Denny sempat menyimak Permendagri 43/2011 dan mengatakan bahwa sepertinya memang ada yang janggal dalam permendagri tersebut.

"Beliau juga menyatakan bahwa pihak kita harus "pasang antena tinggi-tinggi, apakah ada faktor x atau hal-hal lain diluar persoalan hukum yang melatarbelakangi terbitnya Permendagri tersebut," paparnya.

Lain lagi pendapat dari kongres Rakyat Sa-ijaan, bahwa akan tetap mendesak Gubernur Kalsel tidak perlu mengulur-ulur waktu dan jangan menunjukkan sikap lemah dengan pihak Mendagri, apalagi dengan pihak Sulbar.

Tokoh Dewan Adat Sugian Noor MSi, menegaskan, masyarakat Kalsel khususnya Kotabaru pantang menyerah apapun akan dilakukan untuk merebut kembali Pulau Larilarian dari Sulbar.

Ketua DPRD Kotabaru H Alpidri Supian Noor MAP, menegaskan, Pemprov Kalsel harus sesegra mungkin melakukan upaya hukum, agar masalah tersebut tidak berlarut-larut.

"Pemkab Kotabaru bersama masyarakat akan sama-sama mendukung upaya hukum tersebut, bahkan bila perlu sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang ada di Kotabaru juga bersma-sama untuk berjuang merebut Larilarian dari Sulbar, dan meminta Permendagri 43/2011 dibatalkan," tandasnya. 

Sementara itu, Pulau Lari-Larian yang memiliki panjang sekitar 340 meter dengan lebar sekitar 146 meter atau total luas 3,5 hektare tersebut terletak di koordinat LS 03 drajat 32'53" dan BT 117 drajat 27'14".

Pulau tersebut berjarak 60 mil laut dengan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru dan 40 mil dengan Pulau Sambergelap Kotabaru dan 80 mil dengan wilayah Sulawesi Barat.

Permendagri tersebut telah diundangkan Menteri Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara Nomor 624 Tahun 2011 tanggal 7 Oktober 2011.(C/A)

Pewarta:

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2011