Banjarmasin (Antaranews Kalsel) - Hamparan seluas sekitar 98 kilometer persegi itu awalnya hanyalah rawa-rawa kemudian dibelah-belah lagi tak kurang oleh 102 sungai besar dan kecil. Kali besarnya adalah Sungai Martapura yang membelah Kota Banjarmasin dan Sungai Barito yang menjadi pembatas sisi barat.


         Lokasi yang dulunya konon dipenuhi hutan galam dan hutan bakung itu memang sejak 490 tahun sudah memiliki sebuah perkampungan kecil yang berdasarkan sejarah disebut Bandarmasih. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi kampung besar bahkan sempat ada kerajaannya.

         Di kawasan ini tak ada sumber daya alam berupa bahan tambang, tak ada juga hutan hingga tak ada kayu dan hasil hutan lainnya. Yang ada hanyalah aliran sungai yang melimpah, sedikit ada persawahan yang kini sudah berubah fungsi menjadi kawasan perkotaan yang sekarang disebut Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan.

         "Bagaimana kita membangun kota ini, tak ada sumber daya alam berupa tambang dan hutan, yang ada hanyalah sungai, makanya tak ada pilihan lain, kecuali sungai inilah yang akan 'disulap' sebagai penggerak ekonomi kota," kata Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina.

         Pernyataan wali kota itu agaknya dibarengi dengan kebijakan-kebijakan pemkot setempat, hingga semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) diminta harus berorientasi ke sungai dalam program kerjanya.

         Geliat menganak-emaskan sungai agaknya sudah kelihatan sejak wali kota sebelumnya yang dipimpin Haji Muhidin dengan membangun siring/tepi sungai Jalan Tendean dan Jalan Sudirman serta dermaga angkutan sungai.

         Sudah lebih dari Rp150 miliar dana digelontorkan untuk membangun kedua siring atau tepi/bantaran sungai tersebut, baik dari APBD setempat tetapi lebih besar dari APBN Kementerian Pekerjaan Umum.

         Sekarang keberadaan siring tersebut telah memberikan arti cukup berarti yang mengubah wajah kota ke arah "kota sungai," karena kawasan tersebut menjadi semacam "water front city".

         Di kedua siring tersebut terlihat aneka tanaman hias, lampu-lampu hias, dan lokasi (tempat) bagi wisatawan untuk bercengkerama sambil menikmati jagung bakar dan makanan khas lainnya.

        Di wilayah ini terdapat pasar terapung dengan aneka barang yang dijual seperti hasil alam berupa buah-buahan, sayuran, ikan, dan lainnya dijualbelikan oleh ibu-ibu berpakaian khas menggunakan jukung (sampan).

         Ada pula 80 buah "klotok" (perahu bermsin) wisata yang hilir mudik yang mengajak wisatawan menyusuri sungai dengan tarif hanya Rp5.000 per orang.

         Wisata susur sungai sudah menjadi andalan merangsang wisatawan lokal dan mancanegara datang ke wilayah berjuluk "kota dengan seribu sungai" ini.

         Di lokasi itu pula ada menara pandang (pantau) berlantai empat yang didalamnya menjadi lokasi pertemuan, ada stan cindera mata, dan pusat kuliner.

         Belum lagi berdiri ikon kota yang disebut sebagai monumen Bekantan atau patung kera berhidung panjang (Nasalis larvatus), sehingga bagi siapapun yang berkunjung lalu berfoto dengan latar belakang patung tersebut, maka akan diketahui jika saat foto itu dibuat sedang berada di Banjarmasin.

         Hampir sama seperti patung singa di kota Singapura, yang sama-sama pula mengeluarkan air mancur dari mulutnya.

         Dalam upaya menciptakan sungai sebagai yang terdepan itu, Pemkot Banjarmasin kembali membangun siring lebih panjang lagi. Jika sekarang sudah dirbangun lima kilometer, kini masih dilesaikan agar menjadi 10 kilometer.

         Jika sudah mencapai 10 kilometer, berdasarkan keterangan Pemkot nantinya akan dibangun lagi beberapa lokasi dan fasilitas wisata di kawasan siring, seperti ada kampung ketupat, kampung sasirangan, dan kampung iwak (ikan).

    
Ciptakan Gula
    Keinginan untuk menjadikan sungai sebagai magnet ekonomi itu agaknya memang sudah lama, tetapi kurang didukung oleh masyarakat setempat. Terbukti sungai banyak menjadi "bak sampah", penduduk dengan begitu mudahnya membuang sampah ke sungai.

         Akibatnya sungai seakan menjadi "gudang" barang rongsokan, karena sampahnya ada yang kasur bekas, lemari kayu, sepeda bekas, kulkas rusak, kipas angin rusak, dan aneka barang rongsokan lainnya.

         Belum lagi sungai mendangkal karena sidementasi, sungai diserang gulma seperti eceng gondok hingga mampet, sungai tempat buang hajat (air besar) hingga menciptakan kontaminasi baktari koliform, sungai terkontaminasi logam, keruh, bau, dan aneka persoalan lainnya.

         Kemudian sungai pun tak bisa terelakan lagi menjadi permukiman khususnya di bantarannya. Akibatnya sungai menyempit dan ada pula sungai yang kemudian mati.

         Bahkan yang sangat memprihatinkan semua rumah penduduk menjadikan kawasan sungai sebagai bagian belakang rumah, sementara muka rumah menghadap ke jalan raya, akibatnya merusak pemandangan dan keindahan kawasan sungai.

         Sungai juga tempat industri kayu lapis, tempat industri karet, tempat industri rumah tangga lainnya, akibatnya sungai penuh dengan limbah industri, sungguh memprihatinkan.

         Banyak aturan dibuat Pemkot setempat dalam upaya menyelamatkan perwajahan sungai itu agar elok, tetapi aturan tersebut hanyalah bagaikan "macan ompong." saja.

         Oleh karena itu seyogianya pemerintah berpikir tak usah "memaksa" warga setempat untuk menyelamatkan sungai dengan perda-perda, tetapi bagaimana menjadikan sungai itu bagaikan barang pemanis atau gula.

         Jika sungai menjadi "gula" atau pemanis kehidupan tentu keberadaannya akan menjadi daya pikat kuat bagi kehidupan warga di wilayah yang berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa tersebut. Mereka akan dengan sendirinya memelihara sungai lalu menjadikannya sebagai barang atau lokasi yang berharga.

         Jika sungai sudah menjadi tempat beharga, maka warga sudah bisa dipastikan tidak lagi membuang sampah sembarangan ke sungai. Rumah yang tadinya membelakangi sungai bertahap akan diubah oleh pemiliknya menghadap ke sungai sehingga sungai menjadi indah.

         Begitu juga berbagai dunia usaha yang tadinya tak terpikir ke sungai bisa jadi menjadikan sungai sebagai harapan baru bagi kehudupan selanjutnya.

         Upaya menciptakan "gula" itu bisa dicontoh di beberapa kota besar seperti Bangkok, Singapura, Venesia Italia dan Belanda.

         Umpamanya saja di sungai berdiri aneka penggerak ekonomi, selain pasar terapung. Di sungai juga banyak restauran terapung, rumah-rumah terapung, ada tempat permainan, lokasi pusat oleh-oleh, hotel terapung, ada panggung hiburan, atraksi budaya, dan aneka fasilitas wisata.

         Karena itu, mulai sekarang ayo jual keberadaan sungai kepada kalangan investor, beri kemudahan berinvestasi, beri gambaran peluang potensi keuntungan. Dengan demikian investor bisa berbondong-bondong turut membangun Kota Banjarmasin menjadi sebuah wilayah yang tak kalah dengan venesia Italia. 
 
  
 
 
 

Pewarta: Hasan Zainuddin

Editor : Hasan Zainuddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2016