Keputusan pemerintah yang disampaikan Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo tentang larangan ekspor bahan baku minyak goreng berlaku Kamis (28/4), menimbulkan kekhawatiran terhadap harga tandan buah segar (TBS) di kalangan petani Sawit.
Manajer Koperasi Produsen Wahyu Ilahi, H Muhammad Yuhni, di Tanjung, Minggu (24/4), mengatakan dipastikan petani Sawit menjerit karena dampak langsung dari kebijakan tersebut, karena mereka selama ini menggantungkan kehidupannya dari usaha perkebunan sawit.
"Petani baru sebentar bisa menikmati harga tinggi, dengan adanya kebijakan penyetopan ini kami menyakini harga Sawit akan anjlok seperti dua tahun lalu," katanya, mewakili para petani di kawasan banua enam, khususnya di daerah Kabupaten Balangan dan Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Dijelaskan dia, para petani tidak lama ini baru bisa menikmati harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit yang dibeli pabrik perusahaan kelapa sawit, mereka bisa menikmati harga tersebut di tahun belakangan, yakni awal tahun 2021 dan saat ini mulai menikmati puncaknya.
Akibat larangan penyetopan dipastikan pabrik yang tempat biasa membeli atau menampung produksi buah petani tentu akan mengurangi pembelian buahnya ke petani, dalam kondisi tersebut diyakini buah sawit akan menumpuk karena minyaknya tidak bisa dijual.
Baca juga: KSP minta pemda awasi HET minyak goreng curah di pasar
Sementara kebutuhan dalam negeri hanya 10 persen dari kapasitas atau produksi kepala Sawit produksi, Crude Palm Oil (CPO) secara nasional, dengan skala kebutuhan nasional ini jumlahnya kecil atau sekitar hanya enam hingga tujuh juta ton untuk minyak goreng pertahun.
"Dibandingkan kapasitas produksi total secara nasional jumlah ini kecil, maka dengan larangan tersebut menyisakan kapasitas sekitar 30 jutaan ton, dan ini akan berimbas kepada kami para petani, termasuk merosotnya harga TBS," katanya.
Menurut dia, nanti dengan penyetopan tentunya bahan baku akan berlimpah, sementara tangki-tangki penampungan CPO di pabrik perusahaan pengolah sawit berkapasitas kecil, mereka akan menyesuaikan dengan kapasitas penampungan tangki masing-masing.
Kapasitas penampungan tangki olahan di pabrik rata-rata hanya berkisar empat ribu kiloliter maka tidak lama akan penuh, kalau penuh tentu pabrik mengurangi pembelian TBSnya dari petani.
Pabrik akan lebih memprioritaskan mengolah buah sawit yang ada di perusahaan mereka dulu atau di kebun inti perusahaan ketimbang membeli dari petani plasma, artinya petani akan di nomor duakan.
"Kalau pun ada penetapan harga TBS oleh pemerintah di setiap bulan, beberapa daerah setiap minggu, dan setiap hari di pasaran namun itu tentu akan berbenturan atau terkendala dengan kapasitas pengolahan pabriknya yang tidak bisa lagi menampung," katanya.
Baca juga: Petani di Kalsel manfaatkan limbah sawit untuk pakan ternak
Walau pun pemerintah meminta perusahaan membeli dari para petani, tetapi karena daya tampung pabrik yang terbatas, maka akan terasa sia-sia saja penetapan TBS yang dilakukan pemerintah, diperparah kondisi mahalnya biaya produksi sawit petani untuk pupuk dan lainnya.
Para petani akan merasakan dampak kesulitan secara ekonomi secara langsung, kalau perusahaan mungkin akan berdampak lambat karena selama tangki pengolahan masih bisa diisi, mereka masih bisa mengolah terus.
"Tentu juga kalau terlalu lama menampung CPO di tangki, akan mengakibatkan kualitas CPO akan menjadi menurun," katanya.
Pihaknya berharap agar keputusan itu menyetop ekspor itu bisa ditinjau kembali, dan agar sebelum tanggal 28 April 2022 kesulitan yang dihadapi pemerintah dalam penyediaan bahan baku minyak goreng dan minyak goreng di dalam negeri dapat segera teratasi.
Selain itu, kegelisahan para petani yang selama ini menggantungkan perekonomian keluarganya dapat dapat terbantu, sekaligus kekhawatiran anjloknya harga Sawit dapat diantisipasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022
Manajer Koperasi Produsen Wahyu Ilahi, H Muhammad Yuhni, di Tanjung, Minggu (24/4), mengatakan dipastikan petani Sawit menjerit karena dampak langsung dari kebijakan tersebut, karena mereka selama ini menggantungkan kehidupannya dari usaha perkebunan sawit.
"Petani baru sebentar bisa menikmati harga tinggi, dengan adanya kebijakan penyetopan ini kami menyakini harga Sawit akan anjlok seperti dua tahun lalu," katanya, mewakili para petani di kawasan banua enam, khususnya di daerah Kabupaten Balangan dan Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Dijelaskan dia, para petani tidak lama ini baru bisa menikmati harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit yang dibeli pabrik perusahaan kelapa sawit, mereka bisa menikmati harga tersebut di tahun belakangan, yakni awal tahun 2021 dan saat ini mulai menikmati puncaknya.
Akibat larangan penyetopan dipastikan pabrik yang tempat biasa membeli atau menampung produksi buah petani tentu akan mengurangi pembelian buahnya ke petani, dalam kondisi tersebut diyakini buah sawit akan menumpuk karena minyaknya tidak bisa dijual.
Baca juga: KSP minta pemda awasi HET minyak goreng curah di pasar
Sementara kebutuhan dalam negeri hanya 10 persen dari kapasitas atau produksi kepala Sawit produksi, Crude Palm Oil (CPO) secara nasional, dengan skala kebutuhan nasional ini jumlahnya kecil atau sekitar hanya enam hingga tujuh juta ton untuk minyak goreng pertahun.
"Dibandingkan kapasitas produksi total secara nasional jumlah ini kecil, maka dengan larangan tersebut menyisakan kapasitas sekitar 30 jutaan ton, dan ini akan berimbas kepada kami para petani, termasuk merosotnya harga TBS," katanya.
Menurut dia, nanti dengan penyetopan tentunya bahan baku akan berlimpah, sementara tangki-tangki penampungan CPO di pabrik perusahaan pengolah sawit berkapasitas kecil, mereka akan menyesuaikan dengan kapasitas penampungan tangki masing-masing.
Kapasitas penampungan tangki olahan di pabrik rata-rata hanya berkisar empat ribu kiloliter maka tidak lama akan penuh, kalau penuh tentu pabrik mengurangi pembelian TBSnya dari petani.
Pabrik akan lebih memprioritaskan mengolah buah sawit yang ada di perusahaan mereka dulu atau di kebun inti perusahaan ketimbang membeli dari petani plasma, artinya petani akan di nomor duakan.
"Kalau pun ada penetapan harga TBS oleh pemerintah di setiap bulan, beberapa daerah setiap minggu, dan setiap hari di pasaran namun itu tentu akan berbenturan atau terkendala dengan kapasitas pengolahan pabriknya yang tidak bisa lagi menampung," katanya.
Baca juga: Petani di Kalsel manfaatkan limbah sawit untuk pakan ternak
Walau pun pemerintah meminta perusahaan membeli dari para petani, tetapi karena daya tampung pabrik yang terbatas, maka akan terasa sia-sia saja penetapan TBS yang dilakukan pemerintah, diperparah kondisi mahalnya biaya produksi sawit petani untuk pupuk dan lainnya.
Para petani akan merasakan dampak kesulitan secara ekonomi secara langsung, kalau perusahaan mungkin akan berdampak lambat karena selama tangki pengolahan masih bisa diisi, mereka masih bisa mengolah terus.
"Tentu juga kalau terlalu lama menampung CPO di tangki, akan mengakibatkan kualitas CPO akan menjadi menurun," katanya.
Pihaknya berharap agar keputusan itu menyetop ekspor itu bisa ditinjau kembali, dan agar sebelum tanggal 28 April 2022 kesulitan yang dihadapi pemerintah dalam penyediaan bahan baku minyak goreng dan minyak goreng di dalam negeri dapat segera teratasi.
Selain itu, kegelisahan para petani yang selama ini menggantungkan perekonomian keluarganya dapat dapat terbantu, sekaligus kekhawatiran anjloknya harga Sawit dapat diantisipasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022