Ratusan buruh sawit di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan melaporkan dugaan pelanggaran salah satu perusahaan kelapa sawit ke Dinas Ketenagakerjaan Tapin karena merasa dirugikan.
Laporan beserta bukti ditandatangani oleh 242 buruh terdiri dari, pemanen, kerani, mandor, mekanik, operator dan karyawan lainnya, sudah diterima Disnaker, Selasa, (1/3/2022).
Dalam aduannya, buruh menilai, sejak dua tahun terakhir, sistem kerja yang diterapkan perusahaan kurang menguntungkan bagi mereka.
Pembayaran upah kerja yang diberikan kepada karyawan menggunakan system proporsi dengan target tertentu. Sementara karyawan sudah bekerja sesuai dengan jam kerja yang berlaku yaitu tujuh jam kerja.
"Apabila tidak mencapai target upah harian karyawan sesuai UMP dipotong," ujar para buruh dalam keterangan tertulis.
Salah satu mandor mengatakan, posisi paling merasa sulit adalah karyawan yang bertugas di kebun, tidak ada hari libur untuk mereka bahkan hari Minggu atau hari besar keagamaan dan hari kemerdekaan RI.
"Kita diancam SP dan disuruh berhenti oleh petinggi perusahaan, apabila tidak mau turun bekerja," ungkap mandor, enggan disebutkan nama.
Pernah kejadian, kata dia, ketika menanyakan kepastian upah untuk lembur di hari libur, atasannya menyuruh agar kerja ikhlas.
"Jangan mengharapkan upah yang penting kalian masuk," ujarnya menirukan atasan nya.
Ditambah untuk klaim lembur yang sulit didapat, kata dia, prosesnya harus meminta beberapa tandatangan pejabat perusahaan. Apabila tidak dapat, hasil lembur tidak bisa didapatkan, hal itu turut dialami rekan kerjanya yang lain.
Curhat para buruh yang melapor juga terkait pemotongan gaji secara sepihak dari perusahaan. Jumlahnya tidak sesuai UMP walaupun telah bekerja dengan maksimal.
Bekerja dari pagi hingga subuh juga sering dialami para buruh di lapangan, keluh mandor, dengan jam kerja segitu berat tetap dihitung satu HK (hari kerja).
Sejak awal 2020 hingga sekarang, kata para buruh, tidak ada sosialisasi tentang ketetapan peraturan perusahaan (PP).
Staf Bidang Hubungan Industri Disnaker Tapin Parianto, mengatakan PT KAP sejak berakhir 2019 hingga kini belum menyerahkan peraturan perusahaan.
"Sudah lama tidak diperpanjang, 2019 terakhir. Sudah menyalahi dari sisi pengawasan," ungkapnya.
Fungsinya PP tersebut diserahkan dan diperiksa oleh Disnaker agar dapat dinilai kelayakannya apabila diterapkan di perusahaan. Ketentuan itu tertuang dalam UU nomor 13 tentang Ketenagakerjaan.
"Apabila tidak ada PP, ada sanksi untuk perusahaan tertuang di pasal 108 ayat 1 mengatur terkait PP," jelasnya.
Terkait sistem kerja yang dijelaskan oleh para buruh, Parianto memastikan apabila informasi tersebut benar, pihak perusahaan bisa dikatakan melanggar peraturan.
"Hemat saya, untuk waktu kerja, perusahaan sudah harus menentukan, ada yang tujuh jam satu hari untuk enam hari kerja. Sedangkan, delapan jam untuk lima hari kerja. Apabila waktu kerja sudah terpenuhi maka tidak boleh ada pemotongan gajih," jelasnya.
Melebihi jam kerja tersebut, kata dia, maka lembur harus dibayar sesuai dengan peraturan UU yang berlaku.
Humas PT KAP Rafi'i mengaku terkejut dan menampik laporan itu dan mengatakan perusahaan baik saja dan tidak ada masalah dengan buruh.
"Kalau ada masalah, saya dapat informasi, ini tidak ada," ujarnya.
Terkait sistem kerja, lembur dan gaji, kata dia lancar semua.
Sebelumnya, 9 Februari lalu sudah ada pertemuan dengan pihak perusahaan, namun tidak ada kesepakatan. Hal itu lah yang mendorong para buruh melapor ke Disnaker Tapin.
Selanjutnya, Disnaker Tapin menyuruh para buruh untuk melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan dan apabila tidak selesai Disnaker siap untuk turun tangan, sesuai aturan tripartit.
Luas izin konsesi tanam perusahaan tersebut 8.000 hektar dan ada 5.000 hektar kebun produktif dengan total karyawan mencapai 1.000 orang.
Baca juga: Harga sawit di Tapin hampir naik Rp 3.000
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022
Laporan beserta bukti ditandatangani oleh 242 buruh terdiri dari, pemanen, kerani, mandor, mekanik, operator dan karyawan lainnya, sudah diterima Disnaker, Selasa, (1/3/2022).
Dalam aduannya, buruh menilai, sejak dua tahun terakhir, sistem kerja yang diterapkan perusahaan kurang menguntungkan bagi mereka.
Pembayaran upah kerja yang diberikan kepada karyawan menggunakan system proporsi dengan target tertentu. Sementara karyawan sudah bekerja sesuai dengan jam kerja yang berlaku yaitu tujuh jam kerja.
"Apabila tidak mencapai target upah harian karyawan sesuai UMP dipotong," ujar para buruh dalam keterangan tertulis.
Salah satu mandor mengatakan, posisi paling merasa sulit adalah karyawan yang bertugas di kebun, tidak ada hari libur untuk mereka bahkan hari Minggu atau hari besar keagamaan dan hari kemerdekaan RI.
"Kita diancam SP dan disuruh berhenti oleh petinggi perusahaan, apabila tidak mau turun bekerja," ungkap mandor, enggan disebutkan nama.
Pernah kejadian, kata dia, ketika menanyakan kepastian upah untuk lembur di hari libur, atasannya menyuruh agar kerja ikhlas.
"Jangan mengharapkan upah yang penting kalian masuk," ujarnya menirukan atasan nya.
Ditambah untuk klaim lembur yang sulit didapat, kata dia, prosesnya harus meminta beberapa tandatangan pejabat perusahaan. Apabila tidak dapat, hasil lembur tidak bisa didapatkan, hal itu turut dialami rekan kerjanya yang lain.
Curhat para buruh yang melapor juga terkait pemotongan gaji secara sepihak dari perusahaan. Jumlahnya tidak sesuai UMP walaupun telah bekerja dengan maksimal.
Bekerja dari pagi hingga subuh juga sering dialami para buruh di lapangan, keluh mandor, dengan jam kerja segitu berat tetap dihitung satu HK (hari kerja).
Sejak awal 2020 hingga sekarang, kata para buruh, tidak ada sosialisasi tentang ketetapan peraturan perusahaan (PP).
Staf Bidang Hubungan Industri Disnaker Tapin Parianto, mengatakan PT KAP sejak berakhir 2019 hingga kini belum menyerahkan peraturan perusahaan.
"Sudah lama tidak diperpanjang, 2019 terakhir. Sudah menyalahi dari sisi pengawasan," ungkapnya.
Fungsinya PP tersebut diserahkan dan diperiksa oleh Disnaker agar dapat dinilai kelayakannya apabila diterapkan di perusahaan. Ketentuan itu tertuang dalam UU nomor 13 tentang Ketenagakerjaan.
"Apabila tidak ada PP, ada sanksi untuk perusahaan tertuang di pasal 108 ayat 1 mengatur terkait PP," jelasnya.
Terkait sistem kerja yang dijelaskan oleh para buruh, Parianto memastikan apabila informasi tersebut benar, pihak perusahaan bisa dikatakan melanggar peraturan.
"Hemat saya, untuk waktu kerja, perusahaan sudah harus menentukan, ada yang tujuh jam satu hari untuk enam hari kerja. Sedangkan, delapan jam untuk lima hari kerja. Apabila waktu kerja sudah terpenuhi maka tidak boleh ada pemotongan gajih," jelasnya.
Melebihi jam kerja tersebut, kata dia, maka lembur harus dibayar sesuai dengan peraturan UU yang berlaku.
Humas PT KAP Rafi'i mengaku terkejut dan menampik laporan itu dan mengatakan perusahaan baik saja dan tidak ada masalah dengan buruh.
"Kalau ada masalah, saya dapat informasi, ini tidak ada," ujarnya.
Terkait sistem kerja, lembur dan gaji, kata dia lancar semua.
Sebelumnya, 9 Februari lalu sudah ada pertemuan dengan pihak perusahaan, namun tidak ada kesepakatan. Hal itu lah yang mendorong para buruh melapor ke Disnaker Tapin.
Selanjutnya, Disnaker Tapin menyuruh para buruh untuk melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan dan apabila tidak selesai Disnaker siap untuk turun tangan, sesuai aturan tripartit.
Luas izin konsesi tanam perusahaan tersebut 8.000 hektar dan ada 5.000 hektar kebun produktif dengan total karyawan mencapai 1.000 orang.
Baca juga: Harga sawit di Tapin hampir naik Rp 3.000
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022