Seekor anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) bernama Intan berusia empat tahun mati di wilayah konservasi kamp Convervation Response Unit (CRU) Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh.
“Informasi matinya kami terima Rabu (30/6) sore. Jadi karena malam kan, maka proses nekropsi dilakukan pada Kamis (1/7) pagi,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Ariyanto di Banda Aceh, Sabtu.
Agus menjelaskan kematian anak gajah itu diduga akibat terserang Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV) atau biasa disebut herpes gajah. Namun dokter masih belum bisa menyimpulkan penyebab kematiannya adalah karena EEHV.
“Jadi berdasarkan hasil nekropsi yang dilakukan tim dokter, kemungkinan dia sakit, tetapi belum bisa menyimpulkan penyakit apa, kecenderungannya lebih ke EEHV,” kata Agus.
“Dugaan kita ya, serangan EEHV, tapi dokter masih menunggu hasil laboratorium, karena sampel-sampel yang diambil nanti yang akan memperkuat analisa itu,” katanya lagi.
Ia mengatakan anak gajah yang diberi nama Intan oleh mantan Gubernur Aceh Zaini Abdullah itu mati ketika sedang makan di wilayah hutan konservasi kawasan Trumon, yang letaknya tak jauh dari kamp CRU Trumon.
Menurut Agus, kondisi terakhir gajah Intan sebelum mati dilaporkan sehat. Selama ini, kata dia, untuk kebutuhan pakan bagi satwa dilindungi di CRU Trumon juga tercukupi dengan baik.
“Kalau pakan enggak ada persoalan. Gajahnya gembuk, enggak ada kurus, normal saja,” katanya.
Namun, kata dia, EEHV memang rentan menyerang gajah yang masih berusia bayi hingga 8 tahun. Dan masa inkubasi virus itu juga sangat cepat, dengan durasi waktu empat hingga enam jam sehingga langsung menyebabkan kematian.
“Jadi kalau orang enggak ngerti (EEHV) melihatnya maka enggak tahu kalau gajah itu terserang EEHV, jadi memang singkat dan sangat cepat. Kondisi terakhir Intan ini juga sehat, dan tidak menunjukkan gejala sakit,” katanya.
Selain itu, Agus menyebutkan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan gajah Intan mati karena diracun, karena lokasi matinya memang dalam kawasan konservasi di Trumon dan jauh dari akses masyarakat.
“Begitu juga dari tampilan luar fisiknya enggak ada sesuatu yang mencurigakan kata dokter,” ujarnya.
Disamping itu, Agus menambahkan, BKSDA Aceh terus menjamin ketersediaan pakan bagi gajah jinak yang ada di CRU seluruh Aceh, sehingga dia menapik apabila kematian gajah jinak di CRU tersebut akibat tidak tercukupi kebutuhan pakan.
“Kalau pakan di setiap CRU enggak ada masalah, setiap ekor gajah kita fasilitasi, kita anggarkan per hari. Kalau kesehatan per tiga bulan juga kita awasi. Tapi hal-hal seperti ini (serangan EEHV) tidak hanya terjadi di kita, tapi di daerah lain yang memiliki gajah juga ada,” katanya.
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, kata Agus, tercatat empat gajah jinak sumatera yang mati. “Untuk 2021 ini sudah dua ekor gajah mati, yaitu gajah Olo dan Intan. Rata-rata mereka mati karena sakit,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
“Informasi matinya kami terima Rabu (30/6) sore. Jadi karena malam kan, maka proses nekropsi dilakukan pada Kamis (1/7) pagi,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Ariyanto di Banda Aceh, Sabtu.
Agus menjelaskan kematian anak gajah itu diduga akibat terserang Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV) atau biasa disebut herpes gajah. Namun dokter masih belum bisa menyimpulkan penyebab kematiannya adalah karena EEHV.
“Jadi berdasarkan hasil nekropsi yang dilakukan tim dokter, kemungkinan dia sakit, tetapi belum bisa menyimpulkan penyakit apa, kecenderungannya lebih ke EEHV,” kata Agus.
“Dugaan kita ya, serangan EEHV, tapi dokter masih menunggu hasil laboratorium, karena sampel-sampel yang diambil nanti yang akan memperkuat analisa itu,” katanya lagi.
Ia mengatakan anak gajah yang diberi nama Intan oleh mantan Gubernur Aceh Zaini Abdullah itu mati ketika sedang makan di wilayah hutan konservasi kawasan Trumon, yang letaknya tak jauh dari kamp CRU Trumon.
Menurut Agus, kondisi terakhir gajah Intan sebelum mati dilaporkan sehat. Selama ini, kata dia, untuk kebutuhan pakan bagi satwa dilindungi di CRU Trumon juga tercukupi dengan baik.
“Kalau pakan enggak ada persoalan. Gajahnya gembuk, enggak ada kurus, normal saja,” katanya.
Namun, kata dia, EEHV memang rentan menyerang gajah yang masih berusia bayi hingga 8 tahun. Dan masa inkubasi virus itu juga sangat cepat, dengan durasi waktu empat hingga enam jam sehingga langsung menyebabkan kematian.
“Jadi kalau orang enggak ngerti (EEHV) melihatnya maka enggak tahu kalau gajah itu terserang EEHV, jadi memang singkat dan sangat cepat. Kondisi terakhir Intan ini juga sehat, dan tidak menunjukkan gejala sakit,” katanya.
Selain itu, Agus menyebutkan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan gajah Intan mati karena diracun, karena lokasi matinya memang dalam kawasan konservasi di Trumon dan jauh dari akses masyarakat.
“Begitu juga dari tampilan luar fisiknya enggak ada sesuatu yang mencurigakan kata dokter,” ujarnya.
Disamping itu, Agus menambahkan, BKSDA Aceh terus menjamin ketersediaan pakan bagi gajah jinak yang ada di CRU seluruh Aceh, sehingga dia menapik apabila kematian gajah jinak di CRU tersebut akibat tidak tercukupi kebutuhan pakan.
“Kalau pakan di setiap CRU enggak ada masalah, setiap ekor gajah kita fasilitasi, kita anggarkan per hari. Kalau kesehatan per tiga bulan juga kita awasi. Tapi hal-hal seperti ini (serangan EEHV) tidak hanya terjadi di kita, tapi di daerah lain yang memiliki gajah juga ada,” katanya.
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, kata Agus, tercatat empat gajah jinak sumatera yang mati. “Untuk 2021 ini sudah dua ekor gajah mati, yaitu gajah Olo dan Intan. Rata-rata mereka mati karena sakit,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021