Jakarta,  (Antaranews Kalsel) - Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty mengatakan kebijakan konsolidasi bank BUMN tidak cukup dengan sekadar menukar atau merotasi direksi di dalamnya, namun harus diikuti dengan langkah-langkah strategis lanjutan.


"Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam melaksanakan konsolidasi perbankan, tidak sekadar menukar atau merotasi direksi BUMN," kata Aulia saat dihubungi wartawan di Jakarta, Minggu, terkait upaya pemerintah selaku pemegang saham melakukan rotasi sejumlah direksi bank BUMN.

Menurut Aulia, sebagai tahap awal untuk konsolidasi perbankan, rotasi direksi BUMN memang dibutuhkan, tetapi harus segera diikuti dengan langkah-langkah lanjutan yang strategis mengingat masing-masing bank tersebut memiliki ego yang sulit untuk dihilangkan.

Aulia mengatakan dibutuhkan direksi yang sanggup melakukan restrukturisasi sampai ke akar-akar guna menghilangkan ego sektoral antarbank BUMN. Hal itu akan sulit untuk dilaksanakan karena akan menghadapi kekhawatiran-kekhawatiran dari karyawan bank BUMN tersebut.

"Kekhawatiran mengenai renumerasi dan posisi menjadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan untuk melakukan konsolidasi perbankan," ujar dia.

Kemudian juga yang harus diingat Bank Mandiri, BNI, BRI dan BTN masing-masing memiliki segmen yang berbeda yakni ada yang ke arah korporat, ritel, perumahan dan UMKM. "Semua itu harus dipetakan terlebih dahulu sebelum melakukan konsolidasi," kata Aulia.

Ia mengatakan dibutuhkan rencana matang baik strategis maupun aksi konkret untuk mewujudkan ke arah terwujudnya bank BUMN yang kuat dari Kementerian BUMN selaku pemegang saham, apalagi kalau arahnya dalam rangka mewujudkan integrasi perbankan 2020.

Aulia mengusulkan untuk menempatkan direksi dari luar BUMN, terutama bankir yang pernah bekerja di bank-bank swasta asing karena mereka akan lebih mampu menembus batas-batas yang diciptakan di masing-masing BUMN tersebut.

"Saya khawatir kalau masih menempatkan direksi dari kalangan BUMN, mereka masih terbawa dengan sistem birokrasi, beda dengan orang luar yang sudah memiliki pengalaman dan wawasan global," ujar Aulia.

Aulia mengatakan perlu pemahaman kepada manajemen direksi bank BUMN bahwa mereka membutuhkan modal lebih besar untuk menghadapi era perdagangan bebas dan salah satu upayanya ke arah tersebut adalah dengan melakukan konsolidasi perbankan.

Sebelumnya, pengamat ekonomi Universitas Brawijaya, Chandra Fajri meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memprioritaskan konsolidasi perbankan nasional sebagai program utama untuk dijalankan dalam 2-3 tahun awal pemerintahannya.

Ia mengatakan konsolidasi perbankan harus dijalankan oleh Presiden Jokowi agar pembangunan infrastruktur tak hanya urusan APBN, tapi bisa juga jadi urusan perbankan.

Menurut Chandra, kesenjangan infrastruktur yang dialami Indonesia saat ini sudah menjadi kesepakatan berbagai pihak untuk dibenahi. Namun, yang justru belum menjadi kesepakatan bersama adalah sumber pembiayaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur tersebut mengingat APBN tidak memiliki kekuatan keuangan yang memadai saat ini.

"Hampir 60 persen dari belanja APBN habis untuk membayar gaji dan sisanya untuk membayar subsidi dan utang," ujar Chandra.

Menurut dia, tanpa perubahan drastis manajemen fiskal, APBN tidak bisa diandalkan. "Yang bisa dilakukan mendorong perbankan masuk membiayai infrastruktur dan itu membutuhkan bank-bank dengan permodalan yang kuat," kata Chandra.

Ia menuturkan konsolidasi perbankan juga diperlukan untuk menghadapi gempuran bank-bank asing yang akan masuk secara bebas ketika liberalisasi perbankan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan pada 2020.

Saat ini, lanjut Chandra, dari sisi ukuran aset saja, perbankan di Malaysia memiliki aset tiga kali lebih besar dari bank-bank nasional jika digabungkan.

"Ke depan, bank modalnya harus besar. Semakin besar asetnya, semakin efisien, produknya beragam. Ambil contoh saja, Bank CIMB Malaysia yang empat kali lebih besar dari Bank Mandiri, itu kalau kita ambil uang di ATM di berbagai negara, tidak kena biaya," ujarnya.

Menurut Chandra, jika konsolidasi perbankan tidak berjalan dan tidak ada perubahan, bank-bank nasional akan tersingkir dan menjadi pemain lokal.

Ia menuturkan, hal itu sudah terlihat mulai dari sekarang, bagaimana Bank of Tokyo Mitsubishi, sudah masuk ke Indonesia karena bank tersebut mengincar pengusaha-pengusaha Jepang yang berinvestasi di Indonesia. Demikian pula dengan bank-bank asal Malaysia yang menyerbu Indonesia.

Sebelumnya diberitakan  hasil rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) yang diselenggarakan empat bank BUMN pada bulan Maret ini, menghasilkan sejumlah direktur yang berpindah dari satu bank ke bank lain.

Seperti jajaran direksi BTN terdapat empat direktur baru. Keempat direktur itu adalah Adi Setianto, Sis Apik Wijayanto, Sulis Usdoko, dan Oni Febriarto.

Dua dari empat direktur tersebut berasal dari bank BUMN lain, yakni Adi Setianto sebelumnya menjadi Direktur Jaringan dan Layanan Bank BNI dan Sis Apik Wijayanto sebelumnya menjabat sebagai Pimpinan Wilayah Bank BRI.

Sementara itu, rotasi juga terjadi di bank pemerintah lainnya. Dua direksi BRI yakni mantan Direktur Keuangan BRI Ahmad Baiquni dipilih untuk memimpin BNI sebagai Direktur Utama, sedangkan mantan Direktur Jaringan dan Layanan BRI Suprajarto menduduki jabatan baru sebagai Wakil Direktur Utama BNI.

Mantan Direktur Bisnis Komersial BRI Sulaiman Arif Arianto juga berpindah menjadi Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk.  Mantan Direktur BNI Gatot M Suwondo diangkat menjadi Komisaris BRI. Sunarso yang sebelumnya merupakan direktur commercial banking Bank Mandiri ditunjuk sebagai Wakil Direktur Utama Bank BRI./e

Pewarta: Ganet

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015