Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Dr Taufik Arbain, M.Si mengatakan perang terhadap pandemi COVID-19 harus menimbulkan kesadaran arti sehat oleh masyarakat.
"Partisipasi publik harus kita tingkatkan tidak sekadar di level formalitas tetapi partisipasi itu tumbuh karena kesadaran arti sehat dan juga teladan elit," kata dia di Banjarmasin, Senin malam.
Menurut Taufik, formulasi kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19 perlu dikonstruksi ulang dengan pendekatan post behavioralisme. Artinya, kebijakan tidak semata pada pendekatan strukturalisme yang hanya menempatkan soal nilai, dan hukum dan regulasi sebagaimana saat ini, tetapi menempatkan pada konteks realitas perilaku dan perasaan publik.
"Analisis dengan pendekatan ini setidaknya menghasilkan keputusan untuk memahami aspek kognisi dan perasan serta aspek evaluasi kesadaran masyarakat," jelas Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Terlebih melibatkan para aktor-aktor utama di lingkaran kebijakan tersebut. Teladan para pejabat, ungkap dia, sangat diperlukan dalam komitmen soal penanggulangan pandemi guna meningkatkan partisipasi publik yang sesungguhnya dan meminimalkan cibiran setiap kebijakan yang dibuat.
Diakui Taufik, dalam tataran perilaku publik kepatuhan atas tujuan mencegah penularan COVID-19 selama ini justru dimaknai masyarakat sebagai ranah formalitas belaka.
Hal itu dapat terlihat pada mobilitas orang masih massif, pergerakan orang di kawasan yang tidak menjadi obyek pelarangan seperti tempat wisata, pasar tradisional dan ruang publik lainnya setelah Lebaran tidak menghiraukan imbauan pemerintah. Akhirnya surat antigen, memakai masker dan cuci tangan justru hanya formalitas.
Akibatnya, informasi terkait peningkatan keterpaparan COVID-19 saat ini dimaknai hanyalah simbol kecemasan dimana publik nampaknya sudah abai dan pasrah atas kondisi ini.
Ironisnya, fakta ini tidak hanya pada masyarakat pedesaan, justru sudah merambah pada masyarakat perkotaan yang berada dalam lingkaran pengawasan ekstra petugas Satgas COVID-19.
Taufik mencontohkan lagi seringnya terjadi berubah-ubah kebijakan seperti berubahnya masa larangan mudik lalu. Petugas pelaksana kebijakan di level bawah menjadi kebingungan, sehingga cenderung mengambil pilihan implementatif formalitas juga kepada warga.
Artinya kebijakan pencegahan penularan COVID-19 di masa Ramadhan, Lebaran dan setelah Lebaran cenderung melahirkan pemandangan formalitas belaka. Protokol kesehatan tetap banyak diabaikan masyarakat dan kasus COVID-19 terus meningkat tak terkendali.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
"Partisipasi publik harus kita tingkatkan tidak sekadar di level formalitas tetapi partisipasi itu tumbuh karena kesadaran arti sehat dan juga teladan elit," kata dia di Banjarmasin, Senin malam.
Menurut Taufik, formulasi kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19 perlu dikonstruksi ulang dengan pendekatan post behavioralisme. Artinya, kebijakan tidak semata pada pendekatan strukturalisme yang hanya menempatkan soal nilai, dan hukum dan regulasi sebagaimana saat ini, tetapi menempatkan pada konteks realitas perilaku dan perasaan publik.
"Analisis dengan pendekatan ini setidaknya menghasilkan keputusan untuk memahami aspek kognisi dan perasan serta aspek evaluasi kesadaran masyarakat," jelas Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Terlebih melibatkan para aktor-aktor utama di lingkaran kebijakan tersebut. Teladan para pejabat, ungkap dia, sangat diperlukan dalam komitmen soal penanggulangan pandemi guna meningkatkan partisipasi publik yang sesungguhnya dan meminimalkan cibiran setiap kebijakan yang dibuat.
Diakui Taufik, dalam tataran perilaku publik kepatuhan atas tujuan mencegah penularan COVID-19 selama ini justru dimaknai masyarakat sebagai ranah formalitas belaka.
Hal itu dapat terlihat pada mobilitas orang masih massif, pergerakan orang di kawasan yang tidak menjadi obyek pelarangan seperti tempat wisata, pasar tradisional dan ruang publik lainnya setelah Lebaran tidak menghiraukan imbauan pemerintah. Akhirnya surat antigen, memakai masker dan cuci tangan justru hanya formalitas.
Akibatnya, informasi terkait peningkatan keterpaparan COVID-19 saat ini dimaknai hanyalah simbol kecemasan dimana publik nampaknya sudah abai dan pasrah atas kondisi ini.
Ironisnya, fakta ini tidak hanya pada masyarakat pedesaan, justru sudah merambah pada masyarakat perkotaan yang berada dalam lingkaran pengawasan ekstra petugas Satgas COVID-19.
Taufik mencontohkan lagi seringnya terjadi berubah-ubah kebijakan seperti berubahnya masa larangan mudik lalu. Petugas pelaksana kebijakan di level bawah menjadi kebingungan, sehingga cenderung mengambil pilihan implementatif formalitas juga kepada warga.
Artinya kebijakan pencegahan penularan COVID-19 di masa Ramadhan, Lebaran dan setelah Lebaran cenderung melahirkan pemandangan formalitas belaka. Protokol kesehatan tetap banyak diabaikan masyarakat dan kasus COVID-19 terus meningkat tak terkendali.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021