Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Sebanyak 138 izin hak guna usaha yang dikeluarkan di Kalimantan Selatan tumpang tindih dengan izin perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara maupun izin usaha pertambangan.


Direktur Kriminal Khusus Polda Kalsel Kombes Pol Nasri pada dialog penanganan konflik yang diadakan oleh Walhi Kalsel, di Banjarmasin, Selasa mengatakan, persoalan tumpang tindih lahan tersebut tersebar di beberapa daerah kaya sumber daya alam.

Beberapa kabupaten yang terdapat tumpang tindih lahan antara HGU denga PKP2B dan IUP antara lain di Kabupaten Tanah Bumbu, sebanyak 60 kasus, Kabupaten Banjar tiga kasus, Kotabaru, sembilan kasus, Balangan, satu kasus, Tabalong tiga kasus, dan Kabupaten Tanah Laut 62 kasus.

"Rata-rata tumpang tindih lahan tersebut, adalah antara perusahaan pertambangan dan perkebunan, serta dengan masyarakat," katanya.

Kondisi tersebut, tambah dia, berpotensi menciptakan konflik dan kasus hukum antara kedua belah pihak yang bermasalah.

Berdasarkan data dari Polda Kalsel, beberapa perusahaan yang lahannya tumpang tindih dengan HGU yaitu, di Kabupaten Tanah Bumbu adalah, PT Gawi Makmur Kalimantan, Buana Karya Bakti, Sayang Heulang, Ladang Rumpun Subur Abad, Banjarmasin Agro Jaya Mandiri, Satui Bara Tama dan Tapian Nadengan.

Selanjutnya di Kabupaten Banjar adalah perusahaan perkebunan Nusantara XIII, kemudian Kabupaten Kotabaru yaitu PT Tapian Nagenggan, Saijaan Bumi Lestari (SBL), Saka Kencana Sejahtera (SKS) dan Alam Raya Kencana Mas (ARKM).

Kemudian di Kabupaten Balangan, PT Perkebunan Nusantara, Kabupaten Tabalong, yaiitu PT Cakung Permata Nusa (CPN), Cakra Denta Agung Pertiwi (CDAP) dan Perkebunan Nusantara XIII.

Terakhir yaitu Kabupaten Tanah Laut, PT Lunik Anugerah (LA), Sinar Surya Jorong (SSJ), Sarana Subur Abadi (SSA) Indoraya Everlatex (IE), Damit Mitra Sekawan (DMS), Gunung Meranti (GM), Malindo Jaya Diraja (MJD), Kintap Jaya Watindo (KJW), Pola Kahuripan Inti Sawit dan Smart Tbk.

Menurut Nasri, persoalan tumpang tindih lahan tersebut terjadi, antara lain belum di lakukan padu serasi antara tata ruang nasional dengan tata ruang Provinsi Kalsel, sehingga masih terdapat perbedaan status kawasan hutan, pemulihan dan lain - lain antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Selain itu, beberapa HGU dan SHM yg di terbitkan oleh BPN masih berada di kawasan hutan, sehingga pemegang HGU dan SHM rentan bermasalah dengan hukum, persoalan lain yaitu kurangnya kordinasi antar instansi Pemerintah dlm penerbitan ijin di bidang perkebunan, pertambangan dan kehutanan.

Sedangkan terkait regulasi, tambah dia, terdapat beberapa perbedaan peraturan yang mengatur tentang pertanahan / agraria, contoh, PMNA No. 9 thn 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara serta hak pengelolaan, dengan UU No.26 tahun 2007 ttg Penataan Ruang.

Pengusahaan perkebunan yang telah mendapat IUP dan HGU tidak segera melakukan kegiatan sesuai dengan bidang usahanya, sehingga lahannya digarap oleh masy dgn dalih bhw lahan tsb merupakan lahan terlantar.

Ditingkat masayrakat, penerbitan sporadik oleh Kades tidak sesuai prosedur dan tata kelola serta pengarsipan, selain itu sporadik yang diterbitkan Kades, tidak didaftarkan di Kantor Desa.

"Pada saat saya bertugas di Jawa, saya bisa menelusuri dengan jelas asal-usul sebuah tanah, karena masing-masing desa atau kelurahan memiliki arsip tentang tanah, dan kemana tanah tersebut dijual atau beralih tangan, kalau di sini sangat sulit menelusuri asal usul tanah, karena pengarsipan hampir tidak ada di desa," katanya.

  Selain itu, juga kurangnya kontrol dari Pemerintah / BPN terkait Sporadik yang diterbitkan Kades ditambah lagi pemahaman masyarakat yang masih minim terhadap fungsi Sporadik dimana masyarakat berasumsi bahwa sporadik merupakan hak milik atas tanah, padahal masyarakat harus mengurus kembali untuk bisa mendapatkan sertifikat tanah.   

Pewarta: Ulul Maskuriah

Editor : Asmuni Kadri


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015