Studio Ghibli baru saja merilis film terbarunya "Earwig and the Witch" di HBO Max, dan putra Hayao Miyazaki, Gor Miyazaki, selaku sutradara pun berbagi mengenai rilisan tersebut.
"Earwig and the Witch" didasarkan pada buku anak-anak dengan nama yang sama karya Dianna Wynne Jones. Bercerita tentang seorang yatim piatu bernama Erica alias Earwig.
Erica diadopsi oleh penyihir berambut biru, Bella Yaga dan The Mandrake, yang merupakan iblis, keduanya berhubungan dengan sisi supernatural kehidupan.
Berbeda dari film Studio Ghibli lainnya, "Earwig and the Witch" berkonsep CGI 3D dan ini merupakan inovasi pertama dari studio tersebut.
Goro mengatakan ayahnya dan Toshio Suzuki menyerahkan buku "Earwig and the Witch" dan menyarankan untuk membuat film tersebut. Goro pun ingin memberikan sentuhan yang berbeda sehingga dari awal dia berencana menggarapnya dengan 3D CG.
"Saya ragu apakah akan melakukannya dalam CG 3D penuh atau cel-shading karena yang terakhir memiliki popularitas yang mengakar di Jepang, dan tidak banyak contoh film CG 3D domestik yang berhasil. Saat itulah Toshio Suzuki berkata, 'Kalau mau buat di CG, harus di CG 3D penuh, kan?'," kata Goro sebagaimana dikutip Variety, Sabtu.
Selama proses pengerjaan, Goro mendapat sejumlah tantangan seperti menampilkan suasana hati dari karakter tersebut pada animasi CG 3D. Sebab, selama ini dia terbiasa menggambarnya menggunakan tangan.
"Saat saya berbicara tentang suasana hati, ini bukan hanya gaya seni tetapi perasaan emosional yang dibawa oleh film itu sendiri. Pada akhirnya saya menyadari bahwa tidak ada jawaban yang jelas untuk tantangan ini," ujar Goro.
Dalam setiap karakter yang diciptakan, Goro selalu berusaha masuk ke dalam penokohan agar ceritanya jadi lebih hidup, salah satunya adalah pada Bella Yaga yang usianya tidak jauh dari dia.
"Bella Yaga adalah karakter yang lebih dekat dengan usia saya daripada Earwig. Jadi saya bisa mengerti bagaimana perasaannya saat menjalani kehidupan sehari-hari, seperti muak dengan rutinitas sehari-hari yang biasa dan berlebihan, hubungan yang rumit, klien yang tidak disukai, dan anak-anak yang nakal," kata Goro.
"Itulah mengapa menghidupkannya adalah proses berempati dengannya," imbuhnya.
Berbicara mengenai momen favorit, Goro mengatakan sangat senang saat melihat setiap karakter dalam film mulai bergerak dengan berbagai ekspresi yang memikat.
"Secara khusus, saya senang melihat proses 'Earwig' perlahan-lahan menunjukkan berbagai ekspresi wajah di tangan para animator muda dan berbakat," ujar Goro.
Goro melanjutkan, "Dalam hal adegan, saya suka ketika Earwig dan Mandrake berbicara. Saya juga suka adegan di tengah hujan saat ibu Earwig yang lebih muda dan Bella Yaga bertengkar."
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
"Earwig and the Witch" didasarkan pada buku anak-anak dengan nama yang sama karya Dianna Wynne Jones. Bercerita tentang seorang yatim piatu bernama Erica alias Earwig.
Erica diadopsi oleh penyihir berambut biru, Bella Yaga dan The Mandrake, yang merupakan iblis, keduanya berhubungan dengan sisi supernatural kehidupan.
Berbeda dari film Studio Ghibli lainnya, "Earwig and the Witch" berkonsep CGI 3D dan ini merupakan inovasi pertama dari studio tersebut.
Goro mengatakan ayahnya dan Toshio Suzuki menyerahkan buku "Earwig and the Witch" dan menyarankan untuk membuat film tersebut. Goro pun ingin memberikan sentuhan yang berbeda sehingga dari awal dia berencana menggarapnya dengan 3D CG.
"Saya ragu apakah akan melakukannya dalam CG 3D penuh atau cel-shading karena yang terakhir memiliki popularitas yang mengakar di Jepang, dan tidak banyak contoh film CG 3D domestik yang berhasil. Saat itulah Toshio Suzuki berkata, 'Kalau mau buat di CG, harus di CG 3D penuh, kan?'," kata Goro sebagaimana dikutip Variety, Sabtu.
Selama proses pengerjaan, Goro mendapat sejumlah tantangan seperti menampilkan suasana hati dari karakter tersebut pada animasi CG 3D. Sebab, selama ini dia terbiasa menggambarnya menggunakan tangan.
"Saat saya berbicara tentang suasana hati, ini bukan hanya gaya seni tetapi perasaan emosional yang dibawa oleh film itu sendiri. Pada akhirnya saya menyadari bahwa tidak ada jawaban yang jelas untuk tantangan ini," ujar Goro.
Dalam setiap karakter yang diciptakan, Goro selalu berusaha masuk ke dalam penokohan agar ceritanya jadi lebih hidup, salah satunya adalah pada Bella Yaga yang usianya tidak jauh dari dia.
"Bella Yaga adalah karakter yang lebih dekat dengan usia saya daripada Earwig. Jadi saya bisa mengerti bagaimana perasaannya saat menjalani kehidupan sehari-hari, seperti muak dengan rutinitas sehari-hari yang biasa dan berlebihan, hubungan yang rumit, klien yang tidak disukai, dan anak-anak yang nakal," kata Goro.
"Itulah mengapa menghidupkannya adalah proses berempati dengannya," imbuhnya.
Berbicara mengenai momen favorit, Goro mengatakan sangat senang saat melihat setiap karakter dalam film mulai bergerak dengan berbagai ekspresi yang memikat.
"Secara khusus, saya senang melihat proses 'Earwig' perlahan-lahan menunjukkan berbagai ekspresi wajah di tangan para animator muda dan berbakat," ujar Goro.
Goro melanjutkan, "Dalam hal adegan, saya suka ketika Earwig dan Mandrake berbicara. Saya juga suka adegan di tengah hujan saat ibu Earwig yang lebih muda dan Bella Yaga bertengkar."
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021