Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Almusawa berpendapat, populasi sapi betina produktif bisa terancam pengembang biakannya seiring tigginya harga daging.
Karenanya legislator asal daerah pemilihan Kalimantan Selatan itu dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Rabu malam, khawatir dengan harga daging sapi yang terus bertahan tinggi.
Pasalnya menurut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu, mahal/tingginya harga daging akan berdampak pada penurunan populasi sapi betina produktif secara nasional.
"Harga yang tinggi plus desakan kebutuhan bisa membuat peternak melepas sapi betina miliknya. Apalagi tahun ini, momen puasa dan lebaran berhimpitan dengan tahun ajaran baru, Jelas kebutuhan para orangtua berlipat-lipat," ujarnya.
Pendapat politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengomentari harga daging sapi di dalam negeri yang dalam dua tahun terakhir bertahan tinggi berkisar antara Rp95.000 - Rp100.000/Kg di pasar tradisional dan ritel.
Menurut dia, dengan harga yang tinggi saja, peternak sudah tergoda untuk melepas sapinya, apalagi ditambah kebutuhan yang sangat mendesak, penjualan sapi semakin tidak tertahankan saja.
"Berkurangnya populasi sapi betina produktif itu terjadi justru di daerah-daerah sentra produksi sapi," lanjut wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian tersebut.
"Di daerah-daerah sentra produksi sapi tersebut hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar propinsi/pulau terutama untuk dibawa ke daerah konsumen di Jakarta dan sekitarnya," ungkapnya.
Oleh sebab itu pula jagal setempat, tidak punya pilihan lain, kecuali yang lebih baik menurut mereka tersebut selain memotong sapi betina produktif, karena ketiadaan sapi jantan.
Ia mengungkapkan, dalam rentang waktu 2011 sampai 2013 terjadi pengurangan populasi sapi dalam negeri sebanyak lebih dari dua juta ekor. "Kuat dugaan, porsi terbesar pengurangan tersebut dari jenis betina produktif," lanjutnya.
Kondisi tersebut, menurut dia, jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan peternakan sapi nasional dalam jangka panjang. "Disembelihnya sapi indukan, bukan saja akan mengurangi populasi sapi, tapi juga menutup peluang kelahiran bibit-bibit baru," ujarnya.
Karena itu, dia meminta, pemerintah agar menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Peternakan untuk membeli sapi betina produktif milik masyarakat.
"Hal itu perlu dilakukan untuk menghambat laju pengurangan populasi sapi betina produktif yang dijual sebagai sapi potong karena pemiliknya tergiur harga yang tinggi dan desakan kebutuhan ekonomi," sarannya.
Persoalannya, investor swasta sejauh ini tampaknya belum tertarik terjun ke usaha pembibitan sapi karena pengembalian usaha (balik modal) yang terlalu lama, mencapai 2,5 tahun.
"Swasta tampaknya lebih memilih usaha penggemukan sapi (feedloter) karena potensinya cukup besar dan cepat mengembalikan modal. Bobot sapi bisa naik mencapai 1,2 kg per hari," ungkapnya.
"Penugasan kepada BUMN Peternakan itu, dalam jangka dekat untuk menyelamatkan sapi betina produktif dan dalam jangka panjang untuk keuntungan perusahaan juga. Karena penugasan, tentu perlu ada kompensasi biaya," demikian Habib Nabiel.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014
Karenanya legislator asal daerah pemilihan Kalimantan Selatan itu dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Rabu malam, khawatir dengan harga daging sapi yang terus bertahan tinggi.
Pasalnya menurut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu, mahal/tingginya harga daging akan berdampak pada penurunan populasi sapi betina produktif secara nasional.
"Harga yang tinggi plus desakan kebutuhan bisa membuat peternak melepas sapi betina miliknya. Apalagi tahun ini, momen puasa dan lebaran berhimpitan dengan tahun ajaran baru, Jelas kebutuhan para orangtua berlipat-lipat," ujarnya.
Pendapat politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengomentari harga daging sapi di dalam negeri yang dalam dua tahun terakhir bertahan tinggi berkisar antara Rp95.000 - Rp100.000/Kg di pasar tradisional dan ritel.
Menurut dia, dengan harga yang tinggi saja, peternak sudah tergoda untuk melepas sapinya, apalagi ditambah kebutuhan yang sangat mendesak, penjualan sapi semakin tidak tertahankan saja.
"Berkurangnya populasi sapi betina produktif itu terjadi justru di daerah-daerah sentra produksi sapi," lanjut wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian tersebut.
"Di daerah-daerah sentra produksi sapi tersebut hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar propinsi/pulau terutama untuk dibawa ke daerah konsumen di Jakarta dan sekitarnya," ungkapnya.
Oleh sebab itu pula jagal setempat, tidak punya pilihan lain, kecuali yang lebih baik menurut mereka tersebut selain memotong sapi betina produktif, karena ketiadaan sapi jantan.
Ia mengungkapkan, dalam rentang waktu 2011 sampai 2013 terjadi pengurangan populasi sapi dalam negeri sebanyak lebih dari dua juta ekor. "Kuat dugaan, porsi terbesar pengurangan tersebut dari jenis betina produktif," lanjutnya.
Kondisi tersebut, menurut dia, jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan peternakan sapi nasional dalam jangka panjang. "Disembelihnya sapi indukan, bukan saja akan mengurangi populasi sapi, tapi juga menutup peluang kelahiran bibit-bibit baru," ujarnya.
Karena itu, dia meminta, pemerintah agar menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Peternakan untuk membeli sapi betina produktif milik masyarakat.
"Hal itu perlu dilakukan untuk menghambat laju pengurangan populasi sapi betina produktif yang dijual sebagai sapi potong karena pemiliknya tergiur harga yang tinggi dan desakan kebutuhan ekonomi," sarannya.
Persoalannya, investor swasta sejauh ini tampaknya belum tertarik terjun ke usaha pembibitan sapi karena pengembalian usaha (balik modal) yang terlalu lama, mencapai 2,5 tahun.
"Swasta tampaknya lebih memilih usaha penggemukan sapi (feedloter) karena potensinya cukup besar dan cepat mengembalikan modal. Bobot sapi bisa naik mencapai 1,2 kg per hari," ungkapnya.
"Penugasan kepada BUMN Peternakan itu, dalam jangka dekat untuk menyelamatkan sapi betina produktif dan dalam jangka panjang untuk keuntungan perusahaan juga. Karena penugasan, tentu perlu ada kompensasi biaya," demikian Habib Nabiel.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014