Askur Fakih seorang petani asal Dusun Limau, Kecamatan Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan, awalnya merasa bingung menjalani hari-hari karena hasil yang diperoleh tak memadai untuk kehidupan sehari-hari.

Suatu ketika otaknya berpikir membuka usaha baru tapi terkendala modal, setelah mencari informasi ke sana kemari akhirnya memperoleh masukan adanya dana pinjaman dari Bank Kalsel. Mulailah meminjam ke lembaga perbankan lokal ini Rp4 juta mengelola industri kripik jagung, usaha itu membaik lalu kembali meminjam Rp15 juta, hingga Rp125 juta.

Dengan modal besar akhirnya industri kian besar pula produksi satu ton kripik jagung per bulan dan menghidupi sebanyak 16 karyawan, pasarnya tak sebatas Kabupaten Tanah Laut saja, tetapi sudah merambah ke berbagai wilayah .

Cerita senyuman Askuh Fakih ternyata juga dialami H solikin seorang pembudidaya jamur tiram berkat kredit ke Bank kalsel ia pun sejahtera.

Lain lagi cerita pengusaha soto Lamongan Cak Hari di Jalan Gatot Soebroto Kota Banjarmasin yang dulu hanya menjual soto menggunakan gerobak dorong, berkat pinjaman kini memiliki sebuah rumah makan Soto Lamongan yang refresentatif dan dikenal hampir seluruh antero kota ini.

Memang segudang cerita keberhasilan warga Kalsel setelah berkenalan dengan lembaga perbankan milik Pemprov Kalsel ini.

Direktur Utama Bank Kalsel Juni Rif`at mengakui 40 persen kredit lembaganya dikhususnya untuk usaha mikro dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat kecil.

Disebutkannya kredit disalurkan itu kisaran Rp10 juta hingga hingga Rp200 miliar, ada yang hanya untuk tukang bakso, pedagang es kelapa, kelontongan, hingga kredit besar seperti pembiayaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan lainnya.

Lembaganya selain membantu kredit rakyat kecil juga sebagai agen pembangunan disamping untuk memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah.

"Itulah bedanya antara Bank Kalsel dan bank konvensional lainnya," katanya seraya menyebutkan Bank Kalsel awalnya dibentuk hanya sebagai kas daerah dan itu bertahan hingga sekarang atau 50 tahun yang hari HUT-nya jatuh hari Selasa (25/3) ini.

Berdasar data jumlah kredit yang disalurkan bank ini Rp6 triliun, sementara tabungan masyarakat Rp2 triliun tapi jika ditotalkan termasuk deposito maka senilai Rp8 triliun.



Lebih Kreatif

Lembaga perbankan dimotori tenaga profesional lokal ini seharusnya berpikir tak sebatas mengembangkan usaha seakan hanya "meniru" bank konvensional tetapi hendaknya lebih kreatif hingga lebih dirasakan bukan hanya oleh pemerintah provinsi atau pemerintah 13 kabupaten dan kota se-Kalsel, tetapi oleh sekitar empat juta jiwa warga yang tinggal di wilayah ini.

Dari jumlah warga Kalsel tersebut ternyata penduduk miskin per Maret 2013 mencapai 181.739 orang (sumber BPS Kalsel) yang berarti masih ada tanggungjawab semua pihak untuk mengurangi angka kemiskinan tersebut.

Pertanyaaanya mengapa masih ada penduduk Kalsel yang miskin ? Apakah mereka tak memiliki keahlian, tak memiliki modal usaha atau daerah ini memang miskin sumberdaya alam.

Kalau itu yang terjadi tentu harus dicarikan solusinya, kalau tidak memiliki keahlian perlu ada pendidikan atau pelatihan, kalau tak ada modal maka perlu ada pinjaman.

Kemudian benarkan Kalsel kekurangan sumberdaya alam, ternyata Kalsel memiliki kekayaan yang luar biasa, bukan hanya hutan, pertanian, perairan dan kelautan, terlebih sektor pertambangan, kata seorang warga Kalsel Haji Jainuddin.

Sektor pertanian Kalsel tak kalah dibandingkan dari daerah lain ditinjau dari luas lahan dan kesuburan tanah, walau dibandingkan dengan Thailand yang dikenal sebagai produsen buah dan hasil pertanian terbesar di Asean sekalipun.

Oleh karena itu, Bank Kalsel hendaknya lebih jeli melihat potensi tersebut dengan kosentrasi melakukan pinjaman modal ke sektor pertanian melalui kreditnya.

Apalagi Kalsel memiliki aneka ragam plasma nuftah tanaman pertanian khususnya buah-buahan yang begitu eksotis dan menarik bila dikembangkan, bahkan akan menjadi mata dagangan ekspor.

Petani untuk budidaya buah-buahan tidak lagi sekadar skala pekarangan tetapi harus dijadikan mereka berusaha dengan skala kebun, seperti layaknya kebun di Pulau Jawa atau meniru gaya perkebunan buah di Australia dan Amerika Serikat yang produksinya tak hanya dimakan sebagai buah meja tetapi sudah menjadi buah ekspor dan yang dikalengkan.

Para petani buah tersebut bisa diberikan modal untuk terus berkembang, lalu dilakukan penelitian baik bagaimana cara budidaya, rekayasa genetika hingga menjadi buah yang manis dan bagus, serta penanganan pasca panen.

Dari sekian potensi memajukan Kalsel (Banua ) sektor pertambangan harus pula diperhatikan lembaga ini, dimana di Kalsel bukan saja terdapat tambang emas, intan, pasir kuarsa, nikel, biji besi, marmer, minyak bumi, dan yang lagi marak pertambangan batu bara atau "emas hitam."



Kelola Batubara

Puluhan tahun eksploitasi "emas hitam" sudah dikerjakan di Kalsel, bahkan sejarahnya sejak zaman Belanda, tetapi apakah usaha mengeruk perut bumi melalui emas hitam itu sudah memberikan kesejahteraan masyarakat setempat, ternyata hingga kini jawabannya "tidak."

Mengapa demikian, jawabannya mungkin saja "salah urus," karena tak bijak melihat peluang tersebut, sehingga justru masyarakat non jauh di banua lain, Australia, Amerika, Cina, Korea dan negara lainnya yang mengambil manfaat semua itu melalui yang dinamakan investasi asing atau yang belakangan seringpula investasi luar negeri itu berlindung melalui investasi dalam negeri dengan mengatasnamakan pengusaha nasional, dengan landasan Perjanjian Kerjasama Pengembangan Pertambangan Batu Bara (PKP2KB)

Ironis memang, kehidupan masyarakat banua bak ayam kelaparan di lumbung padi, dan kondisi tersebut tak boleh dibiarkan menghantui penduduk yang tinggal di daerah paling selatan pulau terbesar nusantara ini, makanya peran Bank Kalsel yang harus kedepan dalam mengatasi persoalan ini.

Karena tambang batubara di dalam perut bumi banua Pangeran Antasari ini yang ditaksir masih tersimpan 12 miliar ton itu, sebagian besar tidak lah berada di kedalaman yang jauh, justru berada di permukaan, dengan demikian tidak ada yang sulitnya mengambil barang di atas permukaan tanah, tinggal gali dan angkut dan dijual maka sudah dapat dolar atau rupiah.

Tidak seperti tambang batubara di daerah lain yang harus melalui tambang bawah tanah (Underground Mine) yang memerlukan tehnologi atau investasi besar.

Pengambilan batubara di Kalsel tak mesti harus penambang besar dengan modal besar seperti investasi asing (PKP2KB), warga lokal pun sanggub, terbukti banyak warga Kalsel yang tadinya miskin berhasil menjadi kaya raya setelah menggali tambang ini.

Melihat kenyataan itu maka seharusnya didirikan Perusahaan Daerah (Perusda) di semua kabupaten dan kota di Kalsel khususnya terdapat deposit tambang batubaranya, atau Perusda yang didirikan oleh Pemprov Kalsel sendiri.

Dulu diakui izin tambang harus dari pemerintah pusat, tetapi diera otonomi ini ternyata ijin tambang yang disebut Kuasa Pertambangan (KP) bisa melalui kepala daerah setempat.

Karena itu KP bisa diberikan kepada Perusda atau Perusda kerjasama (joint) dengan pengusaha lokal yang diberikan KP, dan usaha tersebut bisa bermodalkan pinjaman modal oleh Bank Kalsel. Dengan cara tersebut maka hasil tambang batubara tidak bakal lari ke daerah lain tetapi justru dinikmati masyarakat Kalsel sendiri.

Bila uang beredar di Kalsel, maka berdampak sangat luas bagi peningkatan perekonomian setempat, ibaratnya ada sesorang kaya di Kalsel lantaran batubara, maka ia akan belanja beras, ikan, sayur, kerajinan, atau kebutuhan apapun tentu dari pedagang lokal pula.

Selain itu juga dipastikan akan banyak pekerja dari lokal pula, taruhlah supir, pekerja tambang, tenaga admistrasi dan lainnya yang dipekerjakan orang kaya itu. Jika banyak orang yang kaya lalu kian banyak belanja barang dan jasa maka kian banyak pula warga banua yang merasakan nikmatnya.

Belum lagi jika Perusda dari lokal itu tumbuh dan berkembang maka pemerintah di Kalsel tak perlu lagi "menjerat" warganya dengan menarik pajak sebesar-besarnya hanya untuk memperoleh pendapatan pemerintah, mereka cukup mengambil dari keuntungan Perusda Perusda tersebut dalam pembiayaan pembangunan.

Apa yang dilakukan Bank Kalsel terhadap pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Asam-asam unit III dan IV, salah satu bukti sebenarnya Bank kalsel bisa berbuat untuk yang lebih besar termasuk membangun Perusda kelola tambang tersebut.

Berdasarkan informasi bantuan Bank Kalsel terhadap PLTU Asam-asam Rp250 miliar dari satu triliun rupiah yang diberikan oleh beberapa bank secara konsorsium.

Kemudian bila Perusda tersebut berhasil gali tambang lalu memiliki modal, seharusnya usaha mengeruk tambang harus dikurangi guna menjaga kelestarian lingkungan mengingat bahan tambang termasuk barang yang tak bisa diperbaharui. Modal itu harusnya digunakan membentuk usaha lain yang sifatnya tak merusak alam.

Konon negara tetangga Brunei Darussalam, juga menggali tambang dan minyak bumi, lalu memperoleh modal dari usaha tersebut kemudian oleh kerajaan modal itu dijadikan modal usaha di negeri sendiri juga usaha ke berbagai negara lain.

Keuntungan perusahaan tersebut kembali ke negara sebagai pendapatan negara, akhirnya pemerintah mereka tidak menarik pajak justru memberikan subsidi kepada masyarakat di sana.

Begitu juga di banua ini,jika pemerintah Kalsel bisa menjadikan hasil tambang sebagai modal usaha lain,lalu usaha lain berkembang maka keuntungannya dikembalikan ke banua lagi.

Bila hal itu sampai terjadi maka itulah sebuah "hadiah besar," bank Kalsel terhadap banua ini.

    

Pewarta: Oleh Hasan Zainuddin

Editor : Hasan Zainuddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014