Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menginginkan diperkuatnya sinergi antara regulasi pemerintah dan perlindungan konsumen terhadap industri teknologi finansial (fintech) terutama yang terkait dengan bisnis pinjam-meminjam.

"Konsumen perlu diberikan rasa aman melalui regulasi yang menjadi payung hukum transaksi keuangan di lembaga fintech sekaligus regulasi perlindungan. Sinergi keduanya diharapkan bisa mendukung peningkatan akses keuangan di masyarakat sekaligus tumbuhnya industri keuangan ini," kata Galuh Octania di Jakarta, Senin.

Galuh mengingatkan, kegiatan ekonomi yang dulu masih dilakukan secara tradisional lewat lembaga keuangan seperti bank, saat ini sudah bertransformasi ke arah pemanfaatan teknologi yang masif.

Perubahan itu, ujar dia, memunculkan para pemain baru di pasar yang menawarkan berbagai jasa, di antaranya yang bertumbuh pesat adalah kemunculan fintech atau financial technology.

Baca juga: Satgas temukan 120 fintech lending ilegal awal tahun

Apalagi, lanjutnya, kehadiran fintech berperan penting dalam mempercepat tercapainya keuangan inklusif, hal yang menjadi salah satu fokus pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, tercatat bahwa penetrasi penggunaan internet dalam negeri sudah mencapai sebanyak 56 persen dari total 150 juta orang yang sudah melek internet.

Selain itu, penggunaan smartphone di Indonesia yang tercatat sebanyak 355 juta unit sudah mencakup 133 persen dari total populasi sebanyak 268 juta orang, yang mengindikasikan bahwa semakin mudahnya akses ke internet, maka semakin masyarakat ingin dimanjakan oleh akses yang ditawarkan.

Berdasarkan data Bank Indonesia, dari tahun 2017 hingga tahun 2018 telah terjadi peningkatan transaksi online dan elektronik di Indonesia sebesar 281 persen, dari semula bernilai Rp12,4 miliar pada tahun 2017 dan naik menjadi Rp47,2 miliar di tahun berikutnya. Peningkatan ini tentu juga menunjukkan adanya kemajuan pesat pada ekonomi digital dalam negeri.

Kebanyakan fintech memanfaatkan jasa di sektor pembayaran (e-payment) dan pinjaman (peer-to-peer/p2p lending), sektor yang sangat erat kaitannya dengan kegiatan sehari-hari masyarakat.

Baca juga: Satgas Waspada Investasi tindak 133 fintech lending ilegal tidak terdaftar di OJK

Pada model bisnis P2P Lending, yang juga terdiri dari beberapa sektor pinjaman, tercatat bahwa payday loan merupakan sektor yang paling banyak muncul dan diminati. Sayangnya, payday loan juga merupakan sektor yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Payday loan merupakan bisnis model yang memberikan sejumlah pinjaman uang dalam jangka waktu yang pendek.

Dari sekian banyak kasus yang terjadi menunjukkan bahwa kehadiran fintech, utamanya yang berbasis pinjaman/lending, juga diikuti dengan risiko penyalahgunaan data pribadi pengguna layanan. Untuk mengatasi hal ini, sudah seharusnya ada sinergi yang baik antara regulator, pelaku industri fintech dan tentunya kesadaran dari pengguna layanan itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan regulasi mengenai fintech yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Setiap fintech yang berdiri di Indonesia harus mencatatkan diri ke OJK secara legal lewat prosedur yang berlaku. Hingga Agustus 2019, tercatat sudah ada 127 perusahaan fintech lending terdaftar dan berizin di OJK.

Selain itu, saat ini sedang dibahas RUU Perlindungan Data Pribadi yang walaupun tidak secara khusus membahas mengenai fintech, tapi mengatur pertanggungjawaban para pengguna internet, termasuk juga para penyedia layanan dan pelanggan, agar tidak terjadi penyimpangan dari informasi yang diberikan.

Pewarta: M Razi Rahman

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020