Jika menyebut Dayak, sebagian besar masyarakat Indonesia pasti mengenalnya sebagai suku yang ada di Pulau Kalimantan. Namun, tidak banyak yang tahu jika Suku Dayak terdiri dari banyak rumpun dengan adat istiadat yang berbeda.
Salah satunya Dayak Deyah atau Dayak Tabalong yang merupakan rumpun Barito Raya dari kelompok Dusun yang mendiami Pegunungan Riut, Kabupaten Balangan, dan sebagian desa-desanya tersebar di Kabupaten Tabalong yang merupakan wilayah utara di Kalimantan Selatan.
Hayatun Nufus adalah sosok yang paling getol melestarikan seni budaya Suku Dayak Deyah. Bahkan, dia ke penjuru nusantara mengenalkan suku leluhurnya tersebut agar lebih dikenal masyarakat luas.
"Saya biasanya membawakan seni tari api dengan sebutan Nyai Undan. Alhamdulilah sudah tampil ke berbagai daerah dan terakhir pada April 2019 di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta Festival Bhineka Tunggal Ika dapat juara 3 penampilan terbaik," kata Ibu Atun, demikian perempuan itu biasa disapa oleh siswanya di SMPN 7 Muara Uya, Kabupaten Tabalong saat bertandang ke kantor ANTARA Biro Kalimantan Selatan, Jumat.
Kabid Pariwisata Kabupaten Tabalong, Lilis Martadiana, mengatakan sejak 2014, Hayatun aktif sebagai relawan pariwisata dengan menjadi penari Suku Dayak.
Dalam setiap penampilannya di atas pentas seni budaya, wanita kelahiran Haruai, 29 Mei 1978, ini acap kali satu tim bersama pemeran Suku Dayak lainnya, yaitu Pengendara Iblis, Panglima Burung, Ajudan Panglima dan Penari Bulat.
Hayatun termotivasi untuk melestarikan seni budaya Dayak karena didasari semangatnya membangun citra positif suku tanah leluhur yang selama ini disalahpersepsikan sebagian masyarakat.
"Dayak adalah nama suku bukan masalah agama. Saya Islam tapi saya mencintai Suku Dayak karena saya orang Dayak Kalimantan yang ingin terus melestarikan seni budaya Dayak agar semakin dikenal luas," tutur wanita yang memiliki darah keturunan dari ayah Dayak Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan ibu Dayak Upau, Kabupaten Tabalong itu.
Lulusan S2 Managemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pancasetia Banjarbaru ini ingin menyampaikan pesan bahwa orang Dayak itu juga berpendidikan.
Dayak juga ramah
Hayatun sendiri tercatat sebagai guru PNS sejak 2005 di SMPN 7 Muara Uya, Kabupaten Tabalong, dengan mengajar bidang studi IPS, Seni Budaya dan juga Pendidikan Olahraga.
"Jadi orang Dayak belum tentu tidak sekolah. Kami juga ingin berkarir sesuai cita-cita, di samping tetap melestarikan seni budayanya," ujarnya.
Ibu dari tiga anak itu telah menularkan semangat melestarikan seni budaya Dayak kepada putera pertamanya Ahmad Fajeriannoor yang duduk di bangku kelas XII SMKN 1 Tanjung. Si sulung kerap tampil bersamanya di sejumlah pentas seni.
Sedangkan dua anaknya yang lain Febra Maharani yang duduk di kelas XI SMK Pelayaran Samarinda fokus mengikuti jejak sang ayah di dunia militer. Sang suami, Arsyad, adalah anggota Kostrad. Sementara si bungsu, Ahmad Tomba, masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar dan sering pula diajak melihat ibunya tampil di beberapa kesempatan.
"Saya ingin generasi milenial di Kalimantan terus melestarikan seni budaya Dayak. Ayo, kita tunjukkan bahwa Dayak itu sosok menyenangkan dan ramah terhadap setiap orang, serta yang paling penting lagi jadi diri sendiri, yakni anggota Suku Dayak yang sederhana dan apa adanya," katanya.
Hayatun menjadi perhatian ketika mengikuti lomba presenter TV dan reportase di Booth ANTARA pada pameran Hari Pers Nasional (HPN) 2020 bertajuk "Expo Media Pers" di siring tugu Nol Kilometer Banjarmasin pada Ahad (9/2).
Berkat penampilan apiknya, ditambah kostum Suku Dayak yang berbeda dari yang lain, dia berhasil menyisihkan 108 peserta untuk menjadi yang terbaik hingga mendapatkan hadiah handphone dari Sekretaris Perusahaan Perum LKBN ANTARA Iswahyuni yang hadiahnya diserahkan Kepala Biro ANTARA Kalimantan Selatan Aulia Badar.
Menariknya, pakaian khas Suku Dayak yang digunakan wanita yang suka berpetualang di alam bebas ini merupakan hasil karya sendiri, yaitu baju kulit kayu dari batang pohon daluang.
Daluang selama ini dikenal sebagai lembaran tipis yang dibuat dari kulit kayu pohon daluang yang dipakai untuk menuliskan sesuatu. Beberapa naskah kuno nusantara menggunakan daluang sebagai media penulisan di saat kertas modern belum diperkenalkan.
"Alhamdulilah, baju unik dengan konsep khas Suku Dayak ini banyak disukai orang. Bagi yang ingin memilikinya bisa pesan langsung dan desainnya saya bikinkan. Ada juga yang hanya sewa untuk keperluan anak sekolah dan sebagainya," kata dia.
Multitalenta
Hayatun memang multitalenta. Selain terampil menari dan bernyanyi, dia juga juara dengan nilai 10 untuk penilaian akhir penampilan, artikulasi 7, intonasi 8, tempo 8, dan penguasaan panggung 8.
Penunjukan dia sebagai guru mata pelajaran olahraga di sekolahnya, di samping tugas utama sebagai guru pendidikan IPS dan guru pendidikan Seni Budaya, ternyata bukan tanpa alasan.
Selain di SMPN 7 Muara Uya tidak ada guru pendidikan olahraga, Hayatun ternyata atlet cabang atletik untuk nomor lari. Dia bahkan pernah menyabet juara pertama di lomba lari 400 dan 800 meter kelas master usia 40 tahun ke atas tingkat Provinsi Kalimantan Selatan pada 2018 yang digelar Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (JPOK) FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Lantaran prestasinya di cabang atletik, dia pun tercatat sebagai atlet Persatuan Atlet Master Indonesia (Pami) dan Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (Pasi) serta anggota Kwarcab Bagian Pusat Pendidikan Latihan Cabang (Pusdiklatcab).
Dia juga mendalami seni bela diri tradisional Kuntau dan tergabung dalam Perguruan Singa Rimba Borneo serta menjadi anggota Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (Kormi).
Di tengah kesibukannya sebagai tenaga pendidik di sekolah dan segudang aktivitasnya di bidang seni budaya, Hayatun juga peduli pada kegiatan sosial masyarakat, bagian kesehatan dan bencana.
"Kalau kita menjalaninya dengan senang dan dari hati, maka setiap pekerjaan akan terasa ringan dan menyenangkan. Begitu juga harapan saya untuk Suku Dayak agar masyarakat luar yang melihat kami itu menjadi senang dan gembira," katanya.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Salah satunya Dayak Deyah atau Dayak Tabalong yang merupakan rumpun Barito Raya dari kelompok Dusun yang mendiami Pegunungan Riut, Kabupaten Balangan, dan sebagian desa-desanya tersebar di Kabupaten Tabalong yang merupakan wilayah utara di Kalimantan Selatan.
Hayatun Nufus adalah sosok yang paling getol melestarikan seni budaya Suku Dayak Deyah. Bahkan, dia ke penjuru nusantara mengenalkan suku leluhurnya tersebut agar lebih dikenal masyarakat luas.
"Saya biasanya membawakan seni tari api dengan sebutan Nyai Undan. Alhamdulilah sudah tampil ke berbagai daerah dan terakhir pada April 2019 di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta Festival Bhineka Tunggal Ika dapat juara 3 penampilan terbaik," kata Ibu Atun, demikian perempuan itu biasa disapa oleh siswanya di SMPN 7 Muara Uya, Kabupaten Tabalong saat bertandang ke kantor ANTARA Biro Kalimantan Selatan, Jumat.
Kabid Pariwisata Kabupaten Tabalong, Lilis Martadiana, mengatakan sejak 2014, Hayatun aktif sebagai relawan pariwisata dengan menjadi penari Suku Dayak.
Dalam setiap penampilannya di atas pentas seni budaya, wanita kelahiran Haruai, 29 Mei 1978, ini acap kali satu tim bersama pemeran Suku Dayak lainnya, yaitu Pengendara Iblis, Panglima Burung, Ajudan Panglima dan Penari Bulat.
Hayatun termotivasi untuk melestarikan seni budaya Dayak karena didasari semangatnya membangun citra positif suku tanah leluhur yang selama ini disalahpersepsikan sebagian masyarakat.
"Dayak adalah nama suku bukan masalah agama. Saya Islam tapi saya mencintai Suku Dayak karena saya orang Dayak Kalimantan yang ingin terus melestarikan seni budaya Dayak agar semakin dikenal luas," tutur wanita yang memiliki darah keturunan dari ayah Dayak Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan ibu Dayak Upau, Kabupaten Tabalong itu.
Lulusan S2 Managemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pancasetia Banjarbaru ini ingin menyampaikan pesan bahwa orang Dayak itu juga berpendidikan.
Dayak juga ramah
Hayatun sendiri tercatat sebagai guru PNS sejak 2005 di SMPN 7 Muara Uya, Kabupaten Tabalong, dengan mengajar bidang studi IPS, Seni Budaya dan juga Pendidikan Olahraga.
"Jadi orang Dayak belum tentu tidak sekolah. Kami juga ingin berkarir sesuai cita-cita, di samping tetap melestarikan seni budayanya," ujarnya.
Ibu dari tiga anak itu telah menularkan semangat melestarikan seni budaya Dayak kepada putera pertamanya Ahmad Fajeriannoor yang duduk di bangku kelas XII SMKN 1 Tanjung. Si sulung kerap tampil bersamanya di sejumlah pentas seni.
Sedangkan dua anaknya yang lain Febra Maharani yang duduk di kelas XI SMK Pelayaran Samarinda fokus mengikuti jejak sang ayah di dunia militer. Sang suami, Arsyad, adalah anggota Kostrad. Sementara si bungsu, Ahmad Tomba, masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar dan sering pula diajak melihat ibunya tampil di beberapa kesempatan.
"Saya ingin generasi milenial di Kalimantan terus melestarikan seni budaya Dayak. Ayo, kita tunjukkan bahwa Dayak itu sosok menyenangkan dan ramah terhadap setiap orang, serta yang paling penting lagi jadi diri sendiri, yakni anggota Suku Dayak yang sederhana dan apa adanya," katanya.
Hayatun menjadi perhatian ketika mengikuti lomba presenter TV dan reportase di Booth ANTARA pada pameran Hari Pers Nasional (HPN) 2020 bertajuk "Expo Media Pers" di siring tugu Nol Kilometer Banjarmasin pada Ahad (9/2).
Berkat penampilan apiknya, ditambah kostum Suku Dayak yang berbeda dari yang lain, dia berhasil menyisihkan 108 peserta untuk menjadi yang terbaik hingga mendapatkan hadiah handphone dari Sekretaris Perusahaan Perum LKBN ANTARA Iswahyuni yang hadiahnya diserahkan Kepala Biro ANTARA Kalimantan Selatan Aulia Badar.
Menariknya, pakaian khas Suku Dayak yang digunakan wanita yang suka berpetualang di alam bebas ini merupakan hasil karya sendiri, yaitu baju kulit kayu dari batang pohon daluang.
Daluang selama ini dikenal sebagai lembaran tipis yang dibuat dari kulit kayu pohon daluang yang dipakai untuk menuliskan sesuatu. Beberapa naskah kuno nusantara menggunakan daluang sebagai media penulisan di saat kertas modern belum diperkenalkan.
"Alhamdulilah, baju unik dengan konsep khas Suku Dayak ini banyak disukai orang. Bagi yang ingin memilikinya bisa pesan langsung dan desainnya saya bikinkan. Ada juga yang hanya sewa untuk keperluan anak sekolah dan sebagainya," kata dia.
Multitalenta
Hayatun memang multitalenta. Selain terampil menari dan bernyanyi, dia juga juara dengan nilai 10 untuk penilaian akhir penampilan, artikulasi 7, intonasi 8, tempo 8, dan penguasaan panggung 8.
Penunjukan dia sebagai guru mata pelajaran olahraga di sekolahnya, di samping tugas utama sebagai guru pendidikan IPS dan guru pendidikan Seni Budaya, ternyata bukan tanpa alasan.
Selain di SMPN 7 Muara Uya tidak ada guru pendidikan olahraga, Hayatun ternyata atlet cabang atletik untuk nomor lari. Dia bahkan pernah menyabet juara pertama di lomba lari 400 dan 800 meter kelas master usia 40 tahun ke atas tingkat Provinsi Kalimantan Selatan pada 2018 yang digelar Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (JPOK) FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Lantaran prestasinya di cabang atletik, dia pun tercatat sebagai atlet Persatuan Atlet Master Indonesia (Pami) dan Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (Pasi) serta anggota Kwarcab Bagian Pusat Pendidikan Latihan Cabang (Pusdiklatcab).
Dia juga mendalami seni bela diri tradisional Kuntau dan tergabung dalam Perguruan Singa Rimba Borneo serta menjadi anggota Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (Kormi).
Di tengah kesibukannya sebagai tenaga pendidik di sekolah dan segudang aktivitasnya di bidang seni budaya, Hayatun juga peduli pada kegiatan sosial masyarakat, bagian kesehatan dan bencana.
"Kalau kita menjalaninya dengan senang dan dari hati, maka setiap pekerjaan akan terasa ringan dan menyenangkan. Begitu juga harapan saya untuk Suku Dayak agar masyarakat luar yang melihat kami itu menjadi senang dan gembira," katanya.*
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020