Gubernur Bali Wayan Koster dan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati dengan visi pembangunan Nangun Sat Kerthi Loka Bali dan Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru berusaha memperkokoh peran desa adat sebagai tempat hidup dan lestarinya adat dan budaya Bali.

Gubernur Bali menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang Desa Adat, yang sudah disiapkan sejak 2014, dalam Sidang Paripurna DPRD Bali pada 19 Desember 2018.

Setelah melalui tahapan sosialisasi; dengar pendapat dengan masyarakat, pemangku kepentingan terkait, dan akademisi; serta pembahasan antara pemerintah dan DPRD Bali, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat disahkan pada 2 April 2019.

Gubernur Bali mencanangkan pemberlakuan peraturan daerah itu dengan menandatangani prasasti di Wantilan Pura Samuhan Tiga, Desa Bedulu, Gianyar, pada 4 April 2019.

"Legislasi ini dibuat untuk melestarikan apa yang sudah dirancang oleh Ida Bhatara Mpu Kuturan. Tujuannya agar desa adat lebih kokoh dan kuat, sekaligus mampu mengakomodasi tantangan dan peluang zaman," kata Koster.

Mantan anggota DPR RI itu mengatakan, pencanangan Perda Desa Adat merupakan momen historis karena menandai pengakuan desa adat, lembaga kultural terpenting di Bali, subjek hukum dengan posisi dan kewenangan yang jelas.

Koster juga mengatakan bahwa peraturan itu merupakan bagian dari upaya melanjutkan apa yang sudah dibangun oleh Ida Bhatara Mpu Kuturan  1.000 tahun silam.

Ia menuturkan, Mpu Kuturan selaku penasihat utama Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni dalam pertemuan-pertemuan di Pura Samuhan Tiga dengan tokoh agama dan masyarakat telah melahirkan struktur-struktur fundamental bagi masyarakat Bali, termasuk Desa Adat, Pura Kahyangan Tiga, dan sanggah Rong Tiga.

Baca juga: Gubernur Bali resmi mencanangkan pemberlakuan Perda Desa Adat

Selama proses penyiapan dan pembahasan rancangan peraturan daerah hingga penerbitannya, Koster mengaku selalu mengingat Mpu Kuturan.

"Selalu saya ingat Ida Bhatara Mpu Kuturan, saya mohon bimbingan Beliau. Kalau yang saya lakukan benar agar diberi jalan, kalau salah agar dihentikan," kata Gubernur asal Buleleng itu.

Sebelum pencanangan pemberlakuan peraturan daerah mengenai desa adat, Koster bersama para pejabat lainnya juga melakukan persembahyangan di utama mandala Pura Samuhan Tiga.

"Saya melapor dan nunas penugrahan kepada Ida Bhatara Mpu Kuturan. Ini Perda-nya sudah selesai, kita mohon kepada Ida Bhatara agar dibimbing dan dibantu selama pelaksanaannya," kata Koster.

Baca juga: Tiga negara bahas hak masyarakat adat di Borneo
 
Gubernur Bali Wayan Koster secara resmi mencanangkan pemberlakuan Perda Desa Adat pada 4 April 2019 dengan menandatangani prasasti di Wantilan Pura Samuhan Tiga, Desa Bedulu, Gianyar. (ANTARA/Ayu Khania Pranishita)


Progresif

Perda tentang Desa Adat dibuat berdasarkan kearifan lokal. Peraturan daerah yang terdiri atas 18 bab dan 104 pasal tersebut memuat sejumlah ketentuan baru dan progresif.

Penyusunan substansi peraturan daerah itu tidak mengacu pada Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa tetapi pada Undang-Undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 236 ayat (4) yang menyatakan bahwa Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengertian desa adat menurut Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali berbeda dengan pengertian desa adat dalam Undang-Undang tentang Desa.

Karena peraturan daerah disusun mengacu pada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, desa adat menurut Perda No. 4/2019 memiliki wilayah, hak asal usul, hak-hak tradisional, susunan asli, serta otonomi asli untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.

Perda tentang Desa Adat juga merupakan bentuk pengakuan resmi terhadap kedudukan hukum desa adat.

Menurut peraturan daerah, desa ada berkedudukan di wilayah Provinsi Bali dan cakupannya bisa lintas wilayah kabupaten/kota. Dasar pertimbangannya adalah realitas desa adat sebagai satu kesatuan kosmologis alam Bali yang secara sosio-religius terikat pada kahyangan jagat, terutama Pura Agung Besakih sebagai Purusa, Pura Batur sebagai Pradana. 

Pertimbangan lainnya, adat Bali harus dikelola dalam satu kesatuan wilayah Bali, tidak bisa dikelola secara parsial per wilayah kabupaten/kota, supaya bisa menjadi satu kesatuan identitas yang kuat bagi masyarakat Bali.

Perda juga memuat pengaturan mengenai kategori krama (warga) beserta swadharma (kewajiban) dan swadikara (hak) masing-masing.

Menurut Pasal 8 dalam peraturan tersebut, Krama Desa Adat yaitu warga masyarakat Bali beragama Hindu Hyang Mipil dan tercatat di desa adat setempat; Krama Tamiu adalah warga masyarakat Bali beragama Hindu yang tidak Mipil tetapi tercatat di desa adat setempat; dan Tamiu adalah orang selain Krama Desa Adat dan Krama Tamiu yang berada di wilayah desa adat untuk sementara atau bertempat tinggal dan tercatat di desa adat setempat.

"Di Bali itu kewajiban yang dilaksanakan terlebih dahulu baru minta hak. Kalau minta hak dulu pasti akan ribut, makanya di Bali kan Karma Phala, melakukan karma lebih dulu baru kemudian minta pahala," ujar Koster.

Peraturan daerah juga mengatur penegasan dan perluasan tugas serta wewenang desa adat, termasuk kewenangan lokal berskala desa adat.

Perda juga menegaskan bahwa perubahan status hak dan fungsi atas tanah desa adat harus dilakukan berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat bersangkutan.

Organisasi Baru

"Sejak Bali ada sudah berapa ribu tahun lalu, enggak pernah ada perdanya. Enggak pernah ada dinas yang menangani desa adat, terlalu lama kita lalai mengurusi desa adat," kata Koster.

Oleh karena itu, selain menerbitkan peraturan daerah Pemerintah Provinsi Bali atas persetujuan Kementerian Dalam Negeri membentuk organisasi perangkat daerah baru yang dinamai Dinas Pemajuan Masyarakat Adat untuk mengurusi 1.493 desa adat.

Mulai awal Januari 2020, dinas tersebut akan menjalankan tugas-tugas yang berkenaan dengan pengarahan, perencanaan, dan pelaksanaan program-program penguatan desa adat sebagaimana yang tertuang dalam Perda tentang Desa Adat.

Pemerintah juga akan membangun kantor Majelis Desa Adat Provinsi Bali mulai 2020. Pemerintah Provinsi Bali mengalokasikan dana sampai Rp8,5 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta menggalang dana tanggung jawab sosial perusahaan dari sektor swasta guna membangun gedung tiga lantai untuk kantor Majelis Desa Adat.

"Kalau sekarang ini yang ngurus desa adat kantornya masih numpang di Disbud Bali. Yang ngurus juga setingkat eselon IV. Masak disepelekan gitu?" kata Koster.

Pemerintah Provinsi Bali selanjutnya berencana membangun kantor Majelis Desa Adat di setiap kabupaten/kota pada 2021 menggunakan dana dari APBD provinsi serta kabupaten/kota dan sokongan dari perusahaan.

Ketua/Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet mengatakan rencana pembangunan gedung baru itu merupakan bentuk komitmen Gubernur untuk menguatkan desa adat.

"Karena Majelis yang nanti akan membina desa adat dan kami mendukung Gubernur dan Wagub bekerja sama dengan semua komponen pemerintahan di Bali, termasuk TNI/Polri," katanya.

"Jadi fisik dan mental bagus, sekala-niskala bagus. Saya rasa tidak perlu menunggu sampai lima tahun, tiga tahun lagi desa adat di Bali akan menjadi sangat hebat," Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali itu menambahkan.

 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019