Oleh Imam Hanafi
Kotabaru, (Antaranews Kalsel) - Ombudsman Republik Indonesia kini sedang menyoroti proses pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Mapolres Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Ombudsman Bidang Pengawasan Pramono Dahlan, di Kotabaru, Kamis (28/3), mengatakan, masih ditemukan calo yang membantu pengurusan SIM dengan jalur cepat "sistem tembak" dengan tarif tertentu.
Menurut Dahlan, pembuatan SIM B1, A dan C di Polres Kotabaru masih bisa diperoleh tanpa melalui tes, sebagaimana yang telah ditentukan.
Ombudsman menilai dengan beroperasinya calo, biaya pembuatan SIM bisa membengkak lebih tionggi dari yang sebenarnya.
Calo harus diberangus tidak ada tempat lagi, karena merugikan banyak pihak.
Menurut Dahlan, praktiknya calo dalam pembuatan SIM tidak terlepas akibat dari prilaku masyarakat yang tidak mau repot.
Masyarakat lebih mengeluarkan sejumlah uang tambahan dari biaya yang sesuai dengan aturan, daripada dua sampai tiga kali tes dan tidak lulus.
Salah satu dampak dari SIM yang dioperoleh dari jalur cepat atau tembak tersebut, mereka tidak mengerti dan memahami rambu-rambu lalu lintas di jalan raya.
Ombudsman juga menyoroti kinerja Kantor Bersama Samsat Kotabaru yang dinilai masih adanya pungutan di luar ketentuan.
"Petugas masih melakukan pungutan biaya sebesar Rp25 ribu pada saat penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB)," jelas dahlan.
Pengguna layanan juga mengeluhkan jam kerja layanan terlalu singkat, karena banyak warga yang berasal dari seberang pulau tidak dapat mengurus layanan danm kembali keesokan harinya karena jam layanan sudah tutup.
Dengan keluhan masyarakat tersebut, Dahlan meminta petugas Kantor Samsat untuk melakukan pemungutan diluar ketentuan yang ada.
Beroperasinya calo juga diduga beroperasi di Kantor Samsat Kotabaru.
Calo-calo tersebut menawarkan jasa kepada masyarakat dengan imbalan uang tertentu.
Pemungutan diluar ketentuan juga diduga dilakukan Kantor Urusan Agama Pulau Laut Utara, Kotabaru.
"Apa ada dasarnya bahwa biaya nikah ditetapkan sebesar Rp100 ribu," tanya Dahlan.
Ombudsman juga menemukan beberapa keluhan masyarakat di lembaga pemerintah.
Diantara lembaga pelayanan publik yang disupervisi Ombudsman adalah, Kantor Imigrasi, Rumah Sakit Umum, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, dan Badan Pertanahan Nasional.
Masyarakat banyak mengeluhkan masih rendahnya pelayanan di sejumlah instansi tersebut.
Lembaga Pemasyarakatan Kotabaru yang memiliki kapasitas 180 orang dan kini dihuni sekitar 700 warga binaa itu juga menuai banyak kritikan masyarakat.
Diantaranya, masalah warga binaan yang terlihat berkeliaran di sekitar ruang tamu, dan minimnya petugas sipir, serta penitipan telepon genggam yang sembarangan.
Rumah sakit umum daerah Kotabaru yang kini tengah berbenah juga tidak terlepas dari kritikan masyarakat, diantaranya, masalah asap rokok, dan kebersihan dan penyambutan petugas di rumah sakit.
Prosedur yang panjang, dan ketidakjelasan waktu yang diperlukan untuk satu surat izin di Badan Perijinan terpadu juga dikeluhkan masyarakat.
Publik mengharapkan lembaga tersebut memasang papan pengumuman berapa lama waktu diperlukan proses setiap perijinan, dan berapa biaya yang diperlukan.
Begitu juga dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, pelayanan publik di lembaga tersebut masih banyak kelemahaanya.
Diantaranya, masih ditemukannya kesalahan huruf nama pada akte kelahiran, dan kesalahan huruf abjad pada nama dan alamat pemegang kartu tanda penduduk.
Masyarakat juga mengeluhaknya petugas yang terkesan mempersulit masyarakat terhadap pelayanan e-KPT, khususnya warga pendatang yang sudah lama berdomisili di Kotabaru dan tidak memiliki surat pindah, namun tidak dilayani oleh instansi tersebut.
Hal itu jelas bertentangan dengan Surat Edaran (SE) Mendagri No.471.13/5266/SJ 30 Desember 2011 tentang.
Ombudsman juga meminta kepada instansi tersebut untuk memasang papan informasi di instansi masing-masing, yang menjelaskan, visi dan misi, standar pelayanan minimal (SPM) atau standar operasional pelayanan (SOP), waktu yang diperlukan bahkan biaya sesuai aturan.
Setelah melakukan klarifikasi, Dahlan menyimpulkan, diantaranya, semangat untuk lebih baik harus terus didengungkan.
Harus ada komitmen oleh semua petugas dan masyarakat, ada komunikasi yang baik dari dua arah, melengkapi maklumat, memperbaiki atau melengkapi sarana dan prasarana yang kurang, menambah petugas dan penyelenggaraan dapat dievaluasi siap menerima sanksi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2013
Kotabaru, (Antaranews Kalsel) - Ombudsman Republik Indonesia kini sedang menyoroti proses pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Mapolres Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Ombudsman Bidang Pengawasan Pramono Dahlan, di Kotabaru, Kamis (28/3), mengatakan, masih ditemukan calo yang membantu pengurusan SIM dengan jalur cepat "sistem tembak" dengan tarif tertentu.
Menurut Dahlan, pembuatan SIM B1, A dan C di Polres Kotabaru masih bisa diperoleh tanpa melalui tes, sebagaimana yang telah ditentukan.
Ombudsman menilai dengan beroperasinya calo, biaya pembuatan SIM bisa membengkak lebih tionggi dari yang sebenarnya.
Calo harus diberangus tidak ada tempat lagi, karena merugikan banyak pihak.
Menurut Dahlan, praktiknya calo dalam pembuatan SIM tidak terlepas akibat dari prilaku masyarakat yang tidak mau repot.
Masyarakat lebih mengeluarkan sejumlah uang tambahan dari biaya yang sesuai dengan aturan, daripada dua sampai tiga kali tes dan tidak lulus.
Salah satu dampak dari SIM yang dioperoleh dari jalur cepat atau tembak tersebut, mereka tidak mengerti dan memahami rambu-rambu lalu lintas di jalan raya.
Ombudsman juga menyoroti kinerja Kantor Bersama Samsat Kotabaru yang dinilai masih adanya pungutan di luar ketentuan.
"Petugas masih melakukan pungutan biaya sebesar Rp25 ribu pada saat penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB)," jelas dahlan.
Pengguna layanan juga mengeluhkan jam kerja layanan terlalu singkat, karena banyak warga yang berasal dari seberang pulau tidak dapat mengurus layanan danm kembali keesokan harinya karena jam layanan sudah tutup.
Dengan keluhan masyarakat tersebut, Dahlan meminta petugas Kantor Samsat untuk melakukan pemungutan diluar ketentuan yang ada.
Beroperasinya calo juga diduga beroperasi di Kantor Samsat Kotabaru.
Calo-calo tersebut menawarkan jasa kepada masyarakat dengan imbalan uang tertentu.
Pemungutan diluar ketentuan juga diduga dilakukan Kantor Urusan Agama Pulau Laut Utara, Kotabaru.
"Apa ada dasarnya bahwa biaya nikah ditetapkan sebesar Rp100 ribu," tanya Dahlan.
Ombudsman juga menemukan beberapa keluhan masyarakat di lembaga pemerintah.
Diantara lembaga pelayanan publik yang disupervisi Ombudsman adalah, Kantor Imigrasi, Rumah Sakit Umum, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, dan Badan Pertanahan Nasional.
Masyarakat banyak mengeluhkan masih rendahnya pelayanan di sejumlah instansi tersebut.
Lembaga Pemasyarakatan Kotabaru yang memiliki kapasitas 180 orang dan kini dihuni sekitar 700 warga binaa itu juga menuai banyak kritikan masyarakat.
Diantaranya, masalah warga binaan yang terlihat berkeliaran di sekitar ruang tamu, dan minimnya petugas sipir, serta penitipan telepon genggam yang sembarangan.
Rumah sakit umum daerah Kotabaru yang kini tengah berbenah juga tidak terlepas dari kritikan masyarakat, diantaranya, masalah asap rokok, dan kebersihan dan penyambutan petugas di rumah sakit.
Prosedur yang panjang, dan ketidakjelasan waktu yang diperlukan untuk satu surat izin di Badan Perijinan terpadu juga dikeluhkan masyarakat.
Publik mengharapkan lembaga tersebut memasang papan pengumuman berapa lama waktu diperlukan proses setiap perijinan, dan berapa biaya yang diperlukan.
Begitu juga dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, pelayanan publik di lembaga tersebut masih banyak kelemahaanya.
Diantaranya, masih ditemukannya kesalahan huruf nama pada akte kelahiran, dan kesalahan huruf abjad pada nama dan alamat pemegang kartu tanda penduduk.
Masyarakat juga mengeluhaknya petugas yang terkesan mempersulit masyarakat terhadap pelayanan e-KPT, khususnya warga pendatang yang sudah lama berdomisili di Kotabaru dan tidak memiliki surat pindah, namun tidak dilayani oleh instansi tersebut.
Hal itu jelas bertentangan dengan Surat Edaran (SE) Mendagri No.471.13/5266/SJ 30 Desember 2011 tentang.
Ombudsman juga meminta kepada instansi tersebut untuk memasang papan informasi di instansi masing-masing, yang menjelaskan, visi dan misi, standar pelayanan minimal (SPM) atau standar operasional pelayanan (SOP), waktu yang diperlukan bahkan biaya sesuai aturan.
Setelah melakukan klarifikasi, Dahlan menyimpulkan, diantaranya, semangat untuk lebih baik harus terus didengungkan.
Harus ada komitmen oleh semua petugas dan masyarakat, ada komunikasi yang baik dari dua arah, melengkapi maklumat, memperbaiki atau melengkapi sarana dan prasarana yang kurang, menambah petugas dan penyelenggaraan dapat dievaluasi siap menerima sanksi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2013