Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Dr Junaedi menilai penguatan Dominus Litis pada revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) guna meningkatkan efektivitas dan memperkuat penegakan hukum (Gakkum).

Junaedi menjelaskan jaksa sebagai penuntut umum memegang kendali penuh untuk menentukan kelanjutan perkara pada sistem hukum di Indonesia sehingga perlu penguatan Dominus Litis.

Baca juga: Badan Karantina-ULM terapkan satu sistem kekarantinaan di Kalimantan

"Konsep Dominus Litis yang diterapkan pada banyak negara dengan sistem civil law harus semakin diperkuat di Indonesia," lata Junaedi melalui keterangan tertulis diterima di Banjarmasin, Selasa.

Diketahui, istilah Dominus Litis menegaskan peran jaksa sebagai otoritas utama untuk mengendalikan perkara mulai dari pengawasan penyidikan hingga penuntutan di pengadilan.

Lebih lanjut, Junaedi menerangkan peran jaksa sebagai pengendali perkara, maka penegakan hukum bisa lebih efektif dan tidak terjebak pada bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum yang selama ini sering terjadi.

Dosen Hukum Acara FH UI Choky R Ramadhan PhD., menguraikan hubungan antara penyidik dan jaksa di Indonesia masih lemah, terutama pada tahap penyelidikan dan penyidikan awal.

"Hal ini diperparah penyidik tidak konsisten mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum," ucap Choky.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 130/PUU-XIII/2015, Choky menegaskan SPDP wajib dikirim paling lambat tujuh hari sejak penyidikan dimulai, namun jaksa sering kali tidak menerima pemberitahuan ini yang menyebabkan keterlambatan supervisi terhadap penyidikan dan memperpanjang waktu penanganan perkara.

Baca juga: Menteri Nusron dan Jaksa Agung menyusun langkah strategis berantas mafia tanah

Akibat kurang koordinasi, dikatakan Choky, mengakibatkan banyak perkara yang tidak terselesaikan secara efektif, padahal di negara lain, seperti Prancis dan Belanda, jaksa memiliki kontrol lebih besar terhadap penyidikan untuk memastikan kelengkapan berkas sebelum dilimpahkan ke pengadilan.

"Hal ini perlu kita adopsi dalam sistem hukum kita," tutur Choky.

Pengajar Hukum Acara FH UI Dr Febby Mutiara berpendapat salah satu masalah terbesar pada sistem peradilan pidana Indonesia karena fenomena bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan jaksa.

"Proses ini sering kali menghambat efisiensi peradilan dan memperpanjang waktu penyelesaian perkara," ujar Febby.

Di negara lain Febby menyatakan jaksa tidak hanya sekadar menerima berkas perkara dari penyidik, tetapi juga berhak memberikan arahan penyidikan kepada polisi yang memungkinkan kasus dapat ditangani lebih cepat tanpa perlu berkali-kali mengembalikan berkas karena tidak lengkap.

Diutarakan Febby, KUHP Nasional (UU Nomor 1 Tahun 2023) semakin memperkuat peran jaksa untuk mengawasi proses peradilan.

Kemudian, Pasal 132 KUHP Nasional secara eksplisit menyebutkan penuntutan merupakan bagian dari proses peradilan yang dimulai sejak tahap penyidikan, menandakan bahwa jaksa memiliki peran aktif dalam memastikan kelengkapan suatu perkara sebelum diajukan ke pengadilan.

Baca juga: Jaksa eksekusi koruptor Samsat Amuntai setelah MA anulir vonis bebas

 

Pewarta: Tumpal Andani Aritonang

Editor : Taufik Ridwan


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2025