Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan saat ini pihaknya sudah menyiapkan industri biofuel untuk mendukung program B50 yang diusung oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
"Sekarang perusahaannya sudah siap. Kita siapkan dari sekarang perusahaan yang nantinya seperti arahan Bapak Presiden (Joko Widodo) dan presiden terpilih (Prabowo Subianto) itu kita capai B50 ke depan," kata Amran di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Kementan: Penggunaan biofuel di industri sawit mampu tekan emisi
Amran mengatakan program B50 merupakan inisiatif untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati hingga 50 persen dari total konsumsi bahan bakar solar.
"Upaya persiapan tersebut telah dilakukan sejak sekarang, dengan menyiapkan perusahaan yang akan berperan penting dalam mencapai target B50 yang diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto," ujarnya.
Namun, detail terkait lokasi dan daerah industri yang telah disiapkan untuk mendukung program tersebut tidak dijelaskan secara rinci oleh Amran.
Dia menjelaskan program B50 bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor solar dengan menggantikannya dengan biofuel yang berasal dari minyak sawit mentah (CPO).
Saat ini, kata Amran, produksi biofuel Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun, dengan sekitar 26 juta ton diekspor ke pasar global. Sementara itu, negara masih mengimpor sekitar 5,3 juta ton solar setiap tahun.
"Kalau biofuel sekarang ini produksi kita 46 juta. Kita ekspor 26 juta. Kalau kita konversi lagi karena kita impor 5,3 juta ton solar, itu artinya apa? Nanti harga CPO dunia naik ujungnya adalah dinikmati petani Indonesia," ujarnya.
Baca juga: RI dorong biofuel demi capai transisi energi yang adil dan merata
Mentan mengungkapkan harapannya bahwa implementasi program B50 nanti tidak hanya mengurangi ketergantungan impor solar, tetapi juga dapat meningkatkan harga CPO di pasar internasional.
Menurut dia, hal ini dianggap sebagai langkah yang menguntungkan bagi para petani di Indonesia, yang merupakan produsen terbesar CPO dunia dengan pangsa pasar mencapai 58 - 60 persen.
Selain itu, Mentan juga menyoroti potensi Indonesia sebagai penyedia utama bahan baku CPO global. Menurutnya, kebijakan ini diyakini tidak akan menimbulkan masalah yang berarti, seiring dengan pasokan CPO di Indonesia aman dan tidak akan terganggu.
"Kita tahu, sumber bahan baku kita untuk CPO terbesar dunia. Kita punya 58 persen bahkan 60 persen untuk CPO. Nanti kalau itu saya kira tidak ada masalah, Insya Allah aman," kata Amran.
Sementara itu, sejumlah kalangan menilai keberlanjutan program biodesel sebagai bahan bakar nabati yang dicanangkan pemerintah memerlukan penanganan masalah di sektor hulu sawit.
Head Of Sustainability Division Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Rapolo Hutabarat di Jakarta, Jumat menegaskan penanganan masalah di sektor hulu sawit merupakan kunci keberlanjutan program biodiesel karena menyangkut ketersediaan bahan baku.
"Permasalahan ini memang harus segera diselesaikan, terutama dari sisi hulu. Kita tahu banyak yang harus dikerjakan di sektor hulu, terutama karena inilah yang menentukan ada tidak bahan bakunya," katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertemakan 'Biodiesel untuk Negeri' yang digelar Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Sawit Setara.
Menurut dia, keberlanjutan program blending biofuel, seperti B40 dan kemungkinan peningkatan lebih lanjut ke B45 atau B50 sangat penting. Namun demikian, keberhasilan program tersebut sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku pada sektor hulu.
Dia mengatakan Aprobi berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahan pada sektor hulu agar Indonesia dapat mencapai cita-cita besar dalam industri sawit, termasuk target produksi CPO sebesar 100 juta ton pada tahun 2045.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino menambahkan perlunya peningkatan produktivitas melalui langkah-langkah pembenahan sektor hulu.
Menurut dia, terdapat beberapa tantangan dalam peningkatan produktivitas sawit, di antaranya legalitas lahan yang mana saat ini sekitar 3,4 juta hektar lahan sawit tervonis dalam kawasan hutan dan terancam hilang.
Kemudian, kata dia, realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang masih di bawah 10 persen dari target atau 390 ribu hektar dari 2,4 juta hektar yang ditetapkan.
Baca juga: Periset: Indonesia perlu melakukan diversifikasi bahan bakar nabati
Baca juga: Aprobi: Pengembangan biodisel Indonesia paling maju di dunia
Baca juga: Indonesia luncurkan penerbangan berbahan bakar dicampur minyak sawit
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2024
"Sekarang perusahaannya sudah siap. Kita siapkan dari sekarang perusahaan yang nantinya seperti arahan Bapak Presiden (Joko Widodo) dan presiden terpilih (Prabowo Subianto) itu kita capai B50 ke depan," kata Amran di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Kementan: Penggunaan biofuel di industri sawit mampu tekan emisi
Amran mengatakan program B50 merupakan inisiatif untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati hingga 50 persen dari total konsumsi bahan bakar solar.
"Upaya persiapan tersebut telah dilakukan sejak sekarang, dengan menyiapkan perusahaan yang akan berperan penting dalam mencapai target B50 yang diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto," ujarnya.
Namun, detail terkait lokasi dan daerah industri yang telah disiapkan untuk mendukung program tersebut tidak dijelaskan secara rinci oleh Amran.
Dia menjelaskan program B50 bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor solar dengan menggantikannya dengan biofuel yang berasal dari minyak sawit mentah (CPO).
Saat ini, kata Amran, produksi biofuel Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun, dengan sekitar 26 juta ton diekspor ke pasar global. Sementara itu, negara masih mengimpor sekitar 5,3 juta ton solar setiap tahun.
"Kalau biofuel sekarang ini produksi kita 46 juta. Kita ekspor 26 juta. Kalau kita konversi lagi karena kita impor 5,3 juta ton solar, itu artinya apa? Nanti harga CPO dunia naik ujungnya adalah dinikmati petani Indonesia," ujarnya.
Baca juga: RI dorong biofuel demi capai transisi energi yang adil dan merata
Mentan mengungkapkan harapannya bahwa implementasi program B50 nanti tidak hanya mengurangi ketergantungan impor solar, tetapi juga dapat meningkatkan harga CPO di pasar internasional.
Menurut dia, hal ini dianggap sebagai langkah yang menguntungkan bagi para petani di Indonesia, yang merupakan produsen terbesar CPO dunia dengan pangsa pasar mencapai 58 - 60 persen.
Selain itu, Mentan juga menyoroti potensi Indonesia sebagai penyedia utama bahan baku CPO global. Menurutnya, kebijakan ini diyakini tidak akan menimbulkan masalah yang berarti, seiring dengan pasokan CPO di Indonesia aman dan tidak akan terganggu.
"Kita tahu, sumber bahan baku kita untuk CPO terbesar dunia. Kita punya 58 persen bahkan 60 persen untuk CPO. Nanti kalau itu saya kira tidak ada masalah, Insya Allah aman," kata Amran.
Sementara itu, sejumlah kalangan menilai keberlanjutan program biodesel sebagai bahan bakar nabati yang dicanangkan pemerintah memerlukan penanganan masalah di sektor hulu sawit.
Head Of Sustainability Division Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Rapolo Hutabarat di Jakarta, Jumat menegaskan penanganan masalah di sektor hulu sawit merupakan kunci keberlanjutan program biodiesel karena menyangkut ketersediaan bahan baku.
"Permasalahan ini memang harus segera diselesaikan, terutama dari sisi hulu. Kita tahu banyak yang harus dikerjakan di sektor hulu, terutama karena inilah yang menentukan ada tidak bahan bakunya," katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertemakan 'Biodiesel untuk Negeri' yang digelar Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Sawit Setara.
Menurut dia, keberlanjutan program blending biofuel, seperti B40 dan kemungkinan peningkatan lebih lanjut ke B45 atau B50 sangat penting. Namun demikian, keberhasilan program tersebut sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku pada sektor hulu.
Dia mengatakan Aprobi berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan permasalahan pada sektor hulu agar Indonesia dapat mencapai cita-cita besar dalam industri sawit, termasuk target produksi CPO sebesar 100 juta ton pada tahun 2045.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino menambahkan perlunya peningkatan produktivitas melalui langkah-langkah pembenahan sektor hulu.
Menurut dia, terdapat beberapa tantangan dalam peningkatan produktivitas sawit, di antaranya legalitas lahan yang mana saat ini sekitar 3,4 juta hektar lahan sawit tervonis dalam kawasan hutan dan terancam hilang.
Kemudian, kata dia, realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang masih di bawah 10 persen dari target atau 390 ribu hektar dari 2,4 juta hektar yang ditetapkan.
Baca juga: Periset: Indonesia perlu melakukan diversifikasi bahan bakar nabati
Baca juga: Aprobi: Pengembangan biodisel Indonesia paling maju di dunia
Baca juga: Indonesia luncurkan penerbangan berbahan bakar dicampur minyak sawit
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Laode Masrafi
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2024