Para ilmuwan Afrika Selatan telah mendeteksi varian baru virus Corona dengan banyak mutasi, tetapi belum menentukan apakah lebih menular atau mampu mengatasi kekebalan yang diberikan oleh vaksin atau infeksi sebelumnya.
Varian baru itu, yang dikenal sebagai C.1.2, pertama kali terdeteksi pada Mei, dan kini telah menyebar ke sebagian besar provinsi di Afrika Selatan, dan ke tujuh negara lain di Afrika, Eropa, Asia, dan Oseania, menurut penelitian yang belum ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed).
Varian baru itu mengandung banyak mutasi yang terkait dengan varian-varian lain virus corona dengan peningkatan penularan dan penurunan sensitivitas terhadap antibodi penetralisir.
Namun, mutasi-mutasi itu muncul dalam campuran yang berbeda-beda dan para ilmuwan belum yakin bagaimana mereka akan mempengaruhi perilaku virus.
Baca juga: Vaksin Novavax manjur 51% terhadap varian Afrika Selatan
Tes laboratorium sedang dilakukan untuk menentukan seberapa baik antibodi bekerja untuk menetralkan virus Corona varian baru C.1.2 tersebut.
Afrika Selatan adalah negara pertama yang mendeteksi varian Beta, yakni satu dari hanya empat varian virus Corona yang diberi label "perlu perhatian" oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Varian Beta diyakini menyebar lebih mudah daripada versi asli dari virus Corona yang menyebabkan COVID-19, dan ada bukti bahwa vaksin bekerja kurang baik untuk melawan varian Beta. Hal itu telah membuat beberapa negara membatasi perjalanan ke dan dari Afrika Selatan.
Pandemi "jauh dari selesai"
Richard Lessells mengatakan kemunculan varian C.1.2 tersebut menunjukkan bahwa "pandemi ini masih jauh dari selesai dan bahwa virus Corona masih terus bermutasi dan berpotensi menjadi lebih kuat dalam menginfeksi".
Lessells adalah seorang spesialis penyakit menular dan salah satu penulis penelitian tentang varian C.1.2 virus Corona.
Dia mengatakan bahwa orang-orang tidak perlu terlalu khawatir pada tahap ini, dan varian dengan lebih banyak mutasi pasti akan muncul semakin lama pandemi ini berlangsung.
Data pengurutan genom dari Afrika Selatan menunjukkan varian C.1.2 masih jauh dari menggantikan varian Delta yang kasusnya dominan pada Juli, yakni bulan terakhir di mana sejumlah besar sampel virus varian Delta tersedia.
Baca juga: Afrika Selatan targetkan vaksin COVID-19 pada Februari
Pada Juli, varian C.1.2 menyumbang 3 persen dari sampel dibandingkan 1 persen pada Juni, sedangkan varian Delta menyumbang 67 persen pada Juni dan 89 persen pada Juli.
Delta adalah varian dari virus Corona yang tercepat dan terkuat yang pernah dihadapi dunia. Kemunculan varian Delta membalikkan asumsi tentang COVID-19, bahkan ketika negara-negara melonggarkan pembatasan dan membuka kembali kegiatan ekonomi mereka.
Lessells mengatakan varian C.1.2 -- berdasarkan pola mutasinya -- mungkin memiliki lebih banyak sifat penyingkiran kekebalan daripada varian Delta.
Dia menyebutkan bahwa temuan itu telah dilaporkan ke WHO.
Seorang juru bicara Departemen Kesehatan Afrika Selatan menolak mengomentari hasil penelitian tersebut.
Kampanye vaksinasi COVID-19 Afrika Selatan dimulai dengan lambat, hanya sekitar 14 persen dari populasi orang dewasanya yang telah divaksin sepenuhnya sejauh ini.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
Varian baru itu, yang dikenal sebagai C.1.2, pertama kali terdeteksi pada Mei, dan kini telah menyebar ke sebagian besar provinsi di Afrika Selatan, dan ke tujuh negara lain di Afrika, Eropa, Asia, dan Oseania, menurut penelitian yang belum ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed).
Varian baru itu mengandung banyak mutasi yang terkait dengan varian-varian lain virus corona dengan peningkatan penularan dan penurunan sensitivitas terhadap antibodi penetralisir.
Namun, mutasi-mutasi itu muncul dalam campuran yang berbeda-beda dan para ilmuwan belum yakin bagaimana mereka akan mempengaruhi perilaku virus.
Baca juga: Vaksin Novavax manjur 51% terhadap varian Afrika Selatan
Tes laboratorium sedang dilakukan untuk menentukan seberapa baik antibodi bekerja untuk menetralkan virus Corona varian baru C.1.2 tersebut.
Afrika Selatan adalah negara pertama yang mendeteksi varian Beta, yakni satu dari hanya empat varian virus Corona yang diberi label "perlu perhatian" oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Varian Beta diyakini menyebar lebih mudah daripada versi asli dari virus Corona yang menyebabkan COVID-19, dan ada bukti bahwa vaksin bekerja kurang baik untuk melawan varian Beta. Hal itu telah membuat beberapa negara membatasi perjalanan ke dan dari Afrika Selatan.
Pandemi "jauh dari selesai"
Richard Lessells mengatakan kemunculan varian C.1.2 tersebut menunjukkan bahwa "pandemi ini masih jauh dari selesai dan bahwa virus Corona masih terus bermutasi dan berpotensi menjadi lebih kuat dalam menginfeksi".
Lessells adalah seorang spesialis penyakit menular dan salah satu penulis penelitian tentang varian C.1.2 virus Corona.
Dia mengatakan bahwa orang-orang tidak perlu terlalu khawatir pada tahap ini, dan varian dengan lebih banyak mutasi pasti akan muncul semakin lama pandemi ini berlangsung.
Data pengurutan genom dari Afrika Selatan menunjukkan varian C.1.2 masih jauh dari menggantikan varian Delta yang kasusnya dominan pada Juli, yakni bulan terakhir di mana sejumlah besar sampel virus varian Delta tersedia.
Baca juga: Afrika Selatan targetkan vaksin COVID-19 pada Februari
Pada Juli, varian C.1.2 menyumbang 3 persen dari sampel dibandingkan 1 persen pada Juni, sedangkan varian Delta menyumbang 67 persen pada Juni dan 89 persen pada Juli.
Delta adalah varian dari virus Corona yang tercepat dan terkuat yang pernah dihadapi dunia. Kemunculan varian Delta membalikkan asumsi tentang COVID-19, bahkan ketika negara-negara melonggarkan pembatasan dan membuka kembali kegiatan ekonomi mereka.
Lessells mengatakan varian C.1.2 -- berdasarkan pola mutasinya -- mungkin memiliki lebih banyak sifat penyingkiran kekebalan daripada varian Delta.
Dia menyebutkan bahwa temuan itu telah dilaporkan ke WHO.
Seorang juru bicara Departemen Kesehatan Afrika Selatan menolak mengomentari hasil penelitian tersebut.
Kampanye vaksinasi COVID-19 Afrika Selatan dimulai dengan lambat, hanya sekitar 14 persen dari populasi orang dewasanya yang telah divaksin sepenuhnya sejauh ini.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021