Jakarta, (Antaranews Kalsel) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memandang perlunya langkah-langkah penguatan terutama dari sisi mikro untuk mengatasi berbagai kerentanan di dalam negeri di tengah ketidakpastian dan gejolak ekonomi global.
  
  
"Kami melihat sekurang-kurangnya terdapat dua kerentanan mikro dalam perekonomian nasional," ujar Agus saat penandatanganan fasilitas lindung nilai (forex line) oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) di Jakarta, Jumat.

Kerentanan mikro pertama, lanjut Agus, yakni utang luar negeri korporasi yang masih terus meningkat, namun hanya sekitar 26 persen yang terlindung dari risiko gejolak kurs. Kedua, akumulasi modal portofolio oleh investor luar negeri pada obligasi negara yang sudah sangat besar dan dapat dengan mudah mengalir keluar serta memicu gejolak kurs.

Menurut Agus, masuknya dana luar negeri dalam bentuk utang luar negeri korporasi, pembelian saham dan pembelian surat berharga negara pada hakikatnya adalah sumber pembiayaan perekonomian. Akan tetapi, eksposur ini juga dapat meningkatkan kerentanan perekonomian jika tidak dilengkapi dengan ¿prasyarat kelembagaan¿ pendukungnya, terutama dalam konteks Indonesia sebagai perekonomian terbuka.

"Prasyarat pertama adalah disiplin moneter dan fiskal. Disiplin moneter diartikan sebagai implementasi kebijakan moneter yang konsisten menjaga inflasi tetap rendah (keseimbangan internal) dan defisit necara transaksi berjalan yang terkendali (keseimbangan eksternal)," ujar Agus.

Dengan kompleksitas tantangan global dan domestik yang dihadapi saat ini, Bank Indonesia akan tetap menempuh kebijakan moneter yang konsisten dan prudent.  
   
"Dalam kesempatan yang baik ini, kami perlu menegaskan kembali, bahwa stance kebijakan moneter Bank Indonesia tetap bias ketat," kata Agus.

Agus menuturkan, bagi Bank Indonesia mencapai inflasi yang rendah tidak bisa ditawar lagi karena menjadi pra-syarat bagi keberlangsungan ekonomi. Namun, perjalanan berbagai krisis di dunia menunjukkan inflasi yang rendah belum cukup untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi, apabila transaksi berjalan mengalami defisit yang berkepanjangan.

"Dalam konteks ini pula kami ingin menyampaikan bahwa orientasi kebijakan yang konsisten pro-stabilitas bukanlah penghambat pertumbuhan ekonomi. Justru sebaliknya, konsistensi tersebut merupakan prasyarat kebijakan paling utama (condicio sine qua non)   bagi pertumbuhan ekonomi berkesinambungan.   
    
Oleh karena itu, Bank Indonesia memandang, kebijakan moneter dan sistem keuangan yang berorientasi stabilitas perlu senantiasa mewarnai keseluruhan konstelasi kebijakan pembangunan ekonomi ke depan," ujar Agus.

Sementara itu, disiplin fiskal adalah penggunaan politik anggaran untuk meningkatkan kapasitas produktif perekonomian, dengan tetap menjaga kemampuan membayar seluruh kewajiban jangka menengah-panjang. Ketika sebagian dari keperluan pembangunan ekonomi dibiayai melalui Surat Berharga Negara (SBN), maka selain disiplin moneter, disiplin fiskal menjadi sebuah keniscayaan.

"Investor di pasar obligasi negara,  ingin mendapat kepastian bahwa Pemerintah akan menghormati kewajibannya di masa depan. Keyakinan investor akan tetap terjaga jika penyebab defisit fiskal adalah untuk belanjainfrastruktur, baik infrastruktur fisik, infrastruktur keuangan, infakstruktur kelembagaan, dan infastruktur modal dasar manusia," ujar Agus.

Terkait itu, Bank Indonesia mendukung penuh langkah Pemerintah mereformasi struktur fiskal melalui penerapan fixed subsidy.Tidak berlebihan apabila kebijakan tegas (bold policy move) yang ditempuh Pemerintah dalam mereformasi fiskal dan kebijakan pro-stabilitas yang ditempuh Bank Indonesia telah berhasil mengeluarkan Indonesia dari perangkap negara 'Fragile Five' sekaligus terhindar dari kategori negara 'Trouble Trio', yang terdiri dari Brazil, Turki, dan Afrika Selatan./e 

Pewarta: Citro Atmoko

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015