Banjarmasin,(Antaranews Kalsel)- Kompleks pemakaman ulama besar Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad `Afif bin Mahmud bin Jamaluddin Al-Banjari, yang sering disebut sebagai "Wali Sapat" berada di Kampung Hidayah, Sapat, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau perlu perhatian.
Menurut Mohammad Ary, kompleks yang menjadi objek wisata religi tersebut terlihat sederhana, tidak menggambarkan di lokasi tersebut bermakam seorang ulama besar mufti kerajaan Indragiri dan menyebar ilmu agama Islam di wilayah tersebut.
Sebagai contoh saja, dermaga yang dibuat sederhana, kemudian jalan menuju makam sekitar dua kilometer terbuat jalannya kecil rusak.
Kemudian masjid yang dekat makam sekarang kondisinya sedang direhabilitasi tetapi terkesan terbengkalai, karena menurut panitia masjid pembangunan masjid tersebut kekurangan dana.
"Kalau melihat pembangunan masjid tersebut paling selesai 50 persen, dan masih memerlukan perhatian untuk menyelesaikan 50 persennya," kata Mohammad Ary bersama 14 orang rombongan yang tergabung dalam Kerukunan Bubuhan Banjar (KBB) Kota Banjarmasin, Kalsel.
Mohammad Ary mengajak semua pihak, baik pemerintah Indragiri Hilir dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan masyarakat yang berada di dua wilayah tersebut mengulurkan tangannya untuk memperbaiki kompleks pemakaman yang berada di tengah pemukiman Suku Banjar perantauan tersebut, khususnya penyelasaian masjid tesebut.
Selain itu, kata Mohammad Ary ada rencana juriat atau keturunan ulama yang sering disebut sebagai "Wali Sapat," untuk membangun pesantren di sekitar makam, dan perlu pembebasan lahan untuk pembangunan pesantren tersebut, tentu pula memerlukan dana yang membutuhkan perhatian semua pihak.
Pembangunan pesantren tersebut untuk mengembalikan kawasan tersebut sebagai lokasi kompleks pengajian agam Islam yang pernah dibangun oleh almarhum Syekh Abdurahmmad Siddiq selagi masih hidup di kawasan tersebut.
Berdasarkan ketarangan lokasi tersebut dulu dibangun kompleks pengajian oleh ulama tersebut dan santrinya bukan saja dari pulau Sumatera dan tak sedikit yang menimba ilmu berasal dari tanah Banjar Kalimantan Selatan, sehingga banyak murid-murid ulama ini yang berada di Kalimantan Selatan.
Syekh Abdurahmmad Siddiq dilahirkan pada tahun 1857 di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan, nama lahirnya sebenarnya hanyalah Abdurrahman.
Nama "Siddiq" ia dapat dari seorang gurunya saat ia belajar di Mekkah. Ia merupakan cicit dari ulama ternama etnis Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia, dan tak sempat mendapat asuahan sang ibunda, kemudian dirawat kakek dan neneknya. Sang kakek merupakan seorang ulama bernama Mufti H Muhammad Arsyad.
Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal, maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah.
Sang nenek merupakan muslimah yang taat beribadah dan faqih beragama. Ia mendidik syekh dengan kecintaan pada Alquran. Beranjak dewasa, nenek mengirim syekh pada guru-guru agama di kampung halamannya. Ketika dewasa, Syakh makin giat menuntut ilmu agama.
Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Padang, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, ia masih haus ilmu. Maka pergilah syekh ke kota kelahiran Islam, Makkah pada tahun 1887.
Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak menghadiri majelis ilmu para ulama ternama Saudi. Tak hanya di Makkah, ia pun giat bergabung di halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi di Madinah.
Kegiatan tersebut ia lakukan hingga tujuh tahun lamanya. Bahkan Syekh juga sempat menjadi pengajar di Masjidil Haram selama dua tahun sebelum kemudian kembali ke tanah air.
Ia diangkat oleh Sultan Mahmud Shah (Raja Muda) sebagai Mufti Kerajaan Indragiri 1919-1939 berkedudukan di Rengat dan mengabdikan diri di Kerajaan Indragiri. ***4***
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015
Menurut Mohammad Ary, kompleks yang menjadi objek wisata religi tersebut terlihat sederhana, tidak menggambarkan di lokasi tersebut bermakam seorang ulama besar mufti kerajaan Indragiri dan menyebar ilmu agama Islam di wilayah tersebut.
Sebagai contoh saja, dermaga yang dibuat sederhana, kemudian jalan menuju makam sekitar dua kilometer terbuat jalannya kecil rusak.
Kemudian masjid yang dekat makam sekarang kondisinya sedang direhabilitasi tetapi terkesan terbengkalai, karena menurut panitia masjid pembangunan masjid tersebut kekurangan dana.
"Kalau melihat pembangunan masjid tersebut paling selesai 50 persen, dan masih memerlukan perhatian untuk menyelesaikan 50 persennya," kata Mohammad Ary bersama 14 orang rombongan yang tergabung dalam Kerukunan Bubuhan Banjar (KBB) Kota Banjarmasin, Kalsel.
Mohammad Ary mengajak semua pihak, baik pemerintah Indragiri Hilir dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan masyarakat yang berada di dua wilayah tersebut mengulurkan tangannya untuk memperbaiki kompleks pemakaman yang berada di tengah pemukiman Suku Banjar perantauan tersebut, khususnya penyelasaian masjid tesebut.
Selain itu, kata Mohammad Ary ada rencana juriat atau keturunan ulama yang sering disebut sebagai "Wali Sapat," untuk membangun pesantren di sekitar makam, dan perlu pembebasan lahan untuk pembangunan pesantren tersebut, tentu pula memerlukan dana yang membutuhkan perhatian semua pihak.
Pembangunan pesantren tersebut untuk mengembalikan kawasan tersebut sebagai lokasi kompleks pengajian agam Islam yang pernah dibangun oleh almarhum Syekh Abdurahmmad Siddiq selagi masih hidup di kawasan tersebut.
Berdasarkan ketarangan lokasi tersebut dulu dibangun kompleks pengajian oleh ulama tersebut dan santrinya bukan saja dari pulau Sumatera dan tak sedikit yang menimba ilmu berasal dari tanah Banjar Kalimantan Selatan, sehingga banyak murid-murid ulama ini yang berada di Kalimantan Selatan.
Syekh Abdurahmmad Siddiq dilahirkan pada tahun 1857 di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan, nama lahirnya sebenarnya hanyalah Abdurrahman.
Nama "Siddiq" ia dapat dari seorang gurunya saat ia belajar di Mekkah. Ia merupakan cicit dari ulama ternama etnis Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia, dan tak sempat mendapat asuahan sang ibunda, kemudian dirawat kakek dan neneknya. Sang kakek merupakan seorang ulama bernama Mufti H Muhammad Arsyad.
Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal, maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah.
Sang nenek merupakan muslimah yang taat beribadah dan faqih beragama. Ia mendidik syekh dengan kecintaan pada Alquran. Beranjak dewasa, nenek mengirim syekh pada guru-guru agama di kampung halamannya. Ketika dewasa, Syakh makin giat menuntut ilmu agama.
Ia melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Padang, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, ia masih haus ilmu. Maka pergilah syekh ke kota kelahiran Islam, Makkah pada tahun 1887.
Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak menghadiri majelis ilmu para ulama ternama Saudi. Tak hanya di Makkah, ia pun giat bergabung di halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi di Madinah.
Kegiatan tersebut ia lakukan hingga tujuh tahun lamanya. Bahkan Syekh juga sempat menjadi pengajar di Masjidil Haram selama dua tahun sebelum kemudian kembali ke tanah air.
Ia diangkat oleh Sultan Mahmud Shah (Raja Muda) sebagai Mufti Kerajaan Indragiri 1919-1939 berkedudukan di Rengat dan mengabdikan diri di Kerajaan Indragiri. ***4***
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015