Semarang, (Antaranews Kalsel) - Pelemahan nilai tukar mata uang (kurs) tidak hanya terjadi Indonesia tetapi juga dirasakan oleh negara-negara lain terutama negara sedang berkembang, kata Kepala Kantor Bank Indonesia (BI) Perwakilan Wilayah V Jateng-DIY Iskandar Simorangkir.


"Pelemahan nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar Amerika Serikat ini merupakan fenomena global yang menyerang hampir semua negara termasuk Indonesia, saat ini semua mata uang tengah mengalami depresiasi," kata Iskandar di Semarang, Senin.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan mata uang lokal mengalami depresiasi di antaranya pada triwulan II 2015, Bank Sentral AS, the Fed rencananya akan menaikkan tingkat suku bunganya. Peningkatan suku bunga tersebut merupakan indikator bahwa perekonomian AS mengalami pertumbuhan positif sehingga uang dolar AS akan kembali ke sana.

"Pertumbuhan ekonomi tersebut salah satunya terlihat dari serapan tenaga kerja yang sangat besar. Kondisi ini berakibat pada kecenderungan uang para investor yang akhirnya mengalir kembali ke AS," katanya.

Menurut dia, dengan kenaikan "Fed funds rate" atau suku bunga acuan yang dikeluarkan oleh the Fed tersebut maka hasil yang diperoleh para investor dengan menanam dananya di AS lebih menarik dibandingkan menanamkan dananya di negara berkembang salah satunya Indonesia.

Selain rencana kenaikan Fed funds rate, perlambatan ekonomi yang terjadi di Tiongkok juga turut menambah dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara lain.

Bagi Indonesia sendiri, Tiongkok merupakan salah satu pasar terbesar untuk barang-barang ekspor di antaranya tekstil, produk dari tekstil dan mebel.

Dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di Tiongkok maka permintaan mereka akan barang dari negara lain menjadi berkurang.

Oleh karena itu, untuk meminimalkan dampak inflasi dari terjadinya fenomena global tersebut, BI mengeluarkan kebijakan melalui kenaikan BI rate beberapa waktu lalu. Dengan kenaikan tersebut, diharapkan tingkat konsumsi masyarakat dalam berbelanja menjadi lebih terkendali.

"Kami berupaya untuk menciptakan kondisi dimana ketika perusahaan memproduksi 1.000 barang maka pembelinya juga 1.000 orang, karena kalau sampai perusahaan memproduksi 1.000 barang tetapi pembelinya 1.200 orang maka yang terjadi adalah inflasi," katanya.

Selain itu, pihaknya juga berharap agar Pemerintah dan dunia usaha terus berkoordinasi untuk meningkatkan daya saing, dengan demikian kualitas dan kuantitas ekspor bisa terus terjaga./e

Pewarta: Aris Wasita Widiastuti

Editor : Asmuni Kadri


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014