Martapura, (Antaranews Kalsel) - Pemerintah Kabupaten Banjar bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) wilayah Kabupaten Banjar menyosialisasikan Pajak Restoran untuk Bendahara Pengeluaran Satuan Perangkat Kerja Daerah di Wisma Sultan Sulaiman, Rabu (12/11).


Kepala Bidang Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Banjar, Muhammad Ramlan selaku ketua panitia penyelenggara mengatakan, pengelolaan Pajak Restoran bertujuan untuk penertiban dan penataan dari usaha Restoran, Rumah Makan, warung, Bar.

Dan sejenisnya termasuk jasa boga, katering yang diusahakan masyarakat, serta keberadaannya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sebagai penunjang kegiatan pembangunan daerah.

Dengan menerapkan dan melaksanakan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.

Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) wilayah Kabupaten Banjar Muhammad Izzuddin yang menjadi narasumber mengangkat tema tentang bagaimana pandangan hukum islam kepada wajib pajak.

Ia menyampaikan dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah yang artinya adalah beban, disebut beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban.


Dijelaskan secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara.

Sedangkan kharaj adalah berbeda dengan dharibah, karena kharaj adalah pajak yang obyeknya adalah tanah (taklukan) dan subyeknya adalah non-muslim. Sementara jizyah obyeknya adalah jiwa (an-nafs) dan subyeknya adalah juga non-muslim.

Lebih jauh ia mengisahkan, pada masa kepemerintahan khalifah kedua Islam, Sayyidina Umar bin al-Khaththab RA., pemerintah negara Islam saat itu memungut 'usyr alias pajak 10persen atau cukai sebesar 10 persen atas suatu komoditas demi kemaslahatan masyarakat.

Umar bin Khaththab RA juga memungut 'usyr (10%) dari komoditas al-Quthniyah (biji-bijian seperti Adas, Buncis, dsb). Peristiwa fakta sejarah itu juga diriwayatkan oleh Ibn Abiy Syai'bah di dalam Mushannaf Ibn Abi Syai'bah dari Ubaydullah bin Abdullah RA.

Maka tak heran jika jumhur ulama Madzhab Syafi'i, seperti Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa memungut uang (pajak) selain zakat pada rakyat diperbolehkan jika memang diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak lagi mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara baik untuk perang atau keperluan negara lainnya, ungkapnya”.

Ia juga menjelaskan wajib pajak Restoran dikenakan bagi orang pribadi, badan, ataupun siapa saja yang mengusahakan Restoran. Subjek pajak Restoran yang dikenakan pajak ditujukan bukan hanya kepada restoran akan tetapi juga kepada orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan atau minuman di Restoran./e

Pewarta: Asmuni

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014