Banjarmasin, (Antaranews Kalsel) - Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Almusawa berpendapat, sampai saat ini pemanfaatan bungkil sawit untuk pakan ternak seperti sapi, masih jauh dari optimal atau belum digarap serius.


"Ini indikasi bahwa program Integrasi Sapi Sawit (ISS) di perkebunan sawit, secara umum masih jauh dari berhasil," ujarnya dalam keterangan pers kepada wartawan di Banjarmasin, Selasa.

Pendapat legislator asal daerah pemilihan Kalimantan Selatan itu mengomentasi temuan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang menyebutkan penggunaan bungkil sawit untuk pakan ternak saat ini masih tidak banyak.

Padahal, bungkil sawit memiliki kandungan serat yang mirip dengan rumput. Karena tidak termanfaatkan tersebut maka Kemenperin mendorong agar dimudahkan ekspornya dengan cara menghapus bea keluar (BK).

"Saya tidak setuju dengan wacana penghapusan BK tersebut. Saya malah usul agar BK bungkil sawit dinaikkan agar perkebunan sawit lebih termotivasi mengolahnya menjadi pakan ternak," saran alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menduga, pengusaha lebih memilih ekspor dan kurang termotivasi untuk mengolah bungkil sawit menjadi pakan ternak karena alasan ekonomis.

"Dari hitung-hitungan ekonomi mungkin lebih menguntungkan ekspor," ujar wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian tersebut.

Ia mengungkapkan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) di tahun 2011 melaporkan, produksi bungkil sawit nasional mencapai 2,8 juta ton.

Dari jumlah tersebut, 95 persen diekspor dan hanya lima persen sisanya untuk kebutuhan dalam negeri. Yang lima persen sisanya itupun tidak mudah diakses oleh peternak.

Oleh karenanya menurut dia, akan lebih baik bila potensi bungkil sawit Indonesia itu diolah semua menjadi pakan untuk mendukung program ISS.

Ia memperkirakan, bila potensi tersebut dikelola maksimal di seluruh perkebunan sawit, setidaknya ada tiga keuntungan yang akan diperoleh.

"Keuntungan pertama, mengurangi kemiskinan karena program ini tentu membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Kedua, panen sapi untuk mewujudkan swasembada daging. Ketiga, tersedianya pupuk organik murah untuk menjaga kesuburan tanaman sawit," ujarnya.

Kendala utama untuk mewujudkan hal tersebut saat ini adalah pengadaan bibit sapi yang cukup. "Untuk mengelola potensi yang besar itu tentu membutuhkan sapi dalam jumlah yang banyak pula," paparnya.

Untuk mengatasi kendala tersebut, ia meminta Kementan, dalam hal ini Ditjen PKH dan Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), turun tangan membantu memfasilitasi pengadaan bibit sapi.

  "Semua program kementerian yang bersifat lintas sektoral harus melakukan kerja sama dan saling koordinasi antarkementerian/lembaga. Tata kelola negara ini tidak akan pernah baik kalau tidak ada `link and match` yang bagus antarkementerian dan lembaga," demikian Habib Nabiel.    

Pewarta: Syamsuddin Hasan

Editor : Asmuni Kadri


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2014