Pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menjabarkan pendanaan pengendalian perubahan iklim yang telah dilaksanakan selama 2016 sampai dengan 2018 dalam sebuah buku.

Buku Pendanaan Publik untuk Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia Tahun 2016-2018 setebal 105 halaman yang diluncurkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu secara virtual di Jakarta, Selasa, tersebut membahas secara komprehensif perkembangan pembiayaan perubahan iklim di Indonesia yang berasal dari berbagai sumber.

“Laporan ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dan transparansi publik dalam pendanaan perubahan iklim,” kata Febrio.

Buku yang terdiri dari enam bab tersebut antara lain membahas komitmen Indonesia dan kebutuhan pendanaan dalam pengendalian perubahan iklim, sumber-sumber pendanaan pengendalian perubahan iklim, analisis pendanaan publik untuk pengendalian perubahan iklim di Indonesia, implikasi kebijakan dan agenda ke depan.

Baca juga: Ahli mengingatkan urgensi integrasi ekonomi dengan isu perubahan iklim

Analisis kebijakan ahli madya Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Kemenkeu Noor Syaifudin mengatakan ada tiga aktor kunci terkait pendanaan pengendalian perubahan iklim di Indonesia, yakni Kemenkeu dan Bappenas, Kementerian/Lembaga selaku pelaksana, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku National Focal Point (NFP).
 

Dalam prosesnya, untuk memperkuat transparansi, ia mengatakan Kemenkeu bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan pendanaan perubahan iklim tercermin dalam anggaran.

Maka sejak 2017, Kemenkeu secara aktif melakukan kajian. Beberapa kegiatan dan kajian di antaranya, di 2012, BKF telah melakukan kajian mitigation fiscal framework.

Lalu di 2013, kajian low emission budget tagging. Di 2014 ada kajian green planning and budgeting.

Setelah beberapa saat Kemenkeu melakukan kajian dan kegiatan budget tagging, 2018 mulai laporan anggaran. Salah satu rekomendasi dari laporan tersebut adalah penerbitan green sukuk pertama di tahun yang sama.

Penandaaan penganggaran perubahan iklim di level output, itu telah dilakukan 8 K/L dan hasil dari penandaan anggaran perubahan iklim selama ini, menurut dia, telah dapat digunakan sebagai bahan penguatan penganggaran berbasis kinerja, atau performance based budgeting, lalu sumber pelaporan di nasional dan internasional.

Baca juga: Pengelola perusahaan dan aset harus tangani perubahan iklim

“Buku pendanaan publik yang kami luncurkan pagi ini jadi sangat relevan karena memetakan sumber-sumber pendanaan di perubahan iklim,” kata UNDP Indonesia Country Director Christophe Bahuet.

Analisis pendanaan ini menunjukkan peningkatan alokasi pendanaan mitigasi dan adaptasi hingga 61 persen sejak 2016. Namun, alokasi anggaran mitigasi di 2018 masih sekitar 25 persen dari estimasi kebutuhan, ujar Bahuet.

Buku ini menjelaskan implikasi kebijakan yang dibutuhkan, pertama, penajaman peran pemerintah dalam pendanaan perubahan iklim. Kedua, penyusunan framework, dan ketiga, optimalisasi pendanaan.

UNDP, ia mengatakan mendukung komitmen pemerintah Indonesia, salah satunya dengan program sustainable development financing yang didukung pemerintah Swedia dan Uni Eropa melalui kerja sama dengan BKF dan koordinasi dengan K/L terkait.

Menurut dia, melalui kerja sama itu sejumlah keberhasilan didapat seperti pengembangan instrumen pendanaan inovatif yaitu green sukuk yang sudah diterbitkan dua kali sejak 2018.

Selanjutnya ia mengatakan UNDP akan mendukung pemerintah Indonesia, terutama KLHK, untuk perkuat Nationally Determined Contribution (NDC) secara teknis dan mempersiapkan mobilisasi pembiayaan dengan mempertimbangkan pandemi COVID-19 dengan mengembangkan climate change fiscal framework.*
 

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020