Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Mardani H. Maming menyampaikan dukungannya kepada Asosiasi Penambang Nikel (APNI) dalam memperjuangkan harga pokok mineral (HPM) nikel di atas Free on Board (FoB) tongkang.

"Kami mendorong dibuatkan regulasinya oleh Menteri ESDM untuk menetapkan harga HPM nikel," kata dia kepada ANTARA di Banjarmasin, Sabtu.

Untuk itu, Mardani berharap ada kesepakatan kedua belah pihak antara smelter dan penambang soal harga HPM. Sehingga apabila ada smelter yang dibeli di bawah HPM harus diberikan sanksi.

Menurut dia, larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan sejak 1 Januari 2020 membuat penambang nikel dalam negeri berada dalam kondisi sulit.

Kebijakan pemerintah itu seiring rendahnya harga jual bijih nikel domestik. Di mana jika penambang memaksakan untuk melakukan penambangan, harga yang ditawarkan relatif lebih murah dari harga produksi dan akan mematikan perusahaan.

Padahal, ungkap Mardani, harga internasional bijih nikel kadar 1,8 persen FoB Filipina dihargai antara 59-61 dolar AS/wet metric ton (wmt), sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar 38-40 dolar AS/wmt merupakan harga yang wajar.

"Dibandingkan harga internasional, tentu tidak memberatkan baik smelter maupun penambang," ujar CEO PT Batulicin Enam Sembilan Group dan PT Maming Enam Sembilan itu.

Di sisi lain, mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan dua periode itu meminta Kementerian ESDM mewajibkan barang penambang diterima oleh smelter lokal yang kadarnya 1,7 persen, yang dilarang ekspornya sejak Januari 2020.

"Kami sarankan pula penambang dan smelter boleh menunjuk masing-masing surveyor yang terdaftar di Kementerian ESDM agar menjaga kualitas barang," katanya.



 

Pewarta: Firman

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020