Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan perubahan iklim meningkatkan risiko curah hujan ekstrem yang menjadi salah satu penyebab banjir di Jabodetabek.
"Pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866-2015), terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi pada 1 Januari 2020," kata Deputi Klimatologi BMKG Herizal di Jakarta, Jumat.
Curah hujan ekstrem lebih dari 150 mm/hari yang turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta telah memicu banjir besar seperti 2015 dan 2007.
Data 43 tahun terakhir di wilayah Jabodetabek, curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10-20 mm per-10 tahun.
Analisis statistik ekstrem data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan sebagaimana periode ulang kejadian 2014, 2015, termasuk bila kejadian 2020 diperhitungkan, di Jakarta menunjukkan bahwa peningkatan 2-3 persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.
"Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini," katanya.
Curah hujan ekstrem awal 2020 salah satu kejadian hujan paling ekstrem selama ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya berdasarkan batasan persentil 99 persen dan 99,9 persen. Curah hujan ekstrem tertinggi selama ada pencatatan sejak 1866.
Hujan lebat berdurasi panjang mulai 31 Desember 2019 sore hingga 1 Januari 2020 pagi menyebabkan banjir cukup luas. Wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat tercatat sebagai wilayah paling luas terdampak, yaitu 65 dan 30 kelurahan.
Curah hujan ekstrem tertinggi juga terkonsentrasi di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Pengukuran BMKG menunjukkan curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma 377 mm/hari, di TMII 335 mm/hari, Kembangan 265 mm/hari, Pulo Gadung 260 mm/hari, Jatiasih 260 mm/hari, Cikeas 246 mm/hari, dan di Tomang 226 mm/hari.
Sebaran curah hujan ekstrem tersebut lebih tinggi dan lebih luas dari pada banjir-banjir sebelumnya, termasuk banjir Jakarta 2007 dan 2015.
Curah hujan 377 mm/hari di Halim Perdana Kusuma rekor baru sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya, sejak pengukuran pertama kali dilakukan pada 1866, zaman kolonial Belanda.
Analisis meteorologis pada 1 Januari 2020 menunjukkan penguatan alisan Monsun Asiavdan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara/pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara
ITCZ memicu pertumbuhan awan yang cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya.
Analisis beberapa kejadian banjir besar di Jakarta pada masa lalu, misalnya pada 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015 memang dapat dikaitkan dengan curah hujan ekstrem 1-2 hari dan fenomena meteorologis yang membentuknya.
Beberapa aspek fenomena meteorologis yang biasanya menyertai curah hujan tinggi di Jakarta, dapat sebagai penyebab individual atau kombinasi antarbeberapa fenomena atmosfer sekaligus, di antaranya ITCZ, MJO, suhu muka laut lebih hangat, penguatan aliran monsun lintas ekuator, La Nina, dan seruakan dingin Asia (cold surge).
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
"Pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866-2015), terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi pada 1 Januari 2020," kata Deputi Klimatologi BMKG Herizal di Jakarta, Jumat.
Curah hujan ekstrem lebih dari 150 mm/hari yang turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta telah memicu banjir besar seperti 2015 dan 2007.
Data 43 tahun terakhir di wilayah Jabodetabek, curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10-20 mm per-10 tahun.
Analisis statistik ekstrem data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan sebagaimana periode ulang kejadian 2014, 2015, termasuk bila kejadian 2020 diperhitungkan, di Jakarta menunjukkan bahwa peningkatan 2-3 persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.
"Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini," katanya.
Curah hujan ekstrem awal 2020 salah satu kejadian hujan paling ekstrem selama ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya berdasarkan batasan persentil 99 persen dan 99,9 persen. Curah hujan ekstrem tertinggi selama ada pencatatan sejak 1866.
Hujan lebat berdurasi panjang mulai 31 Desember 2019 sore hingga 1 Januari 2020 pagi menyebabkan banjir cukup luas. Wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat tercatat sebagai wilayah paling luas terdampak, yaitu 65 dan 30 kelurahan.
Curah hujan ekstrem tertinggi juga terkonsentrasi di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Pengukuran BMKG menunjukkan curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma 377 mm/hari, di TMII 335 mm/hari, Kembangan 265 mm/hari, Pulo Gadung 260 mm/hari, Jatiasih 260 mm/hari, Cikeas 246 mm/hari, dan di Tomang 226 mm/hari.
Sebaran curah hujan ekstrem tersebut lebih tinggi dan lebih luas dari pada banjir-banjir sebelumnya, termasuk banjir Jakarta 2007 dan 2015.
Curah hujan 377 mm/hari di Halim Perdana Kusuma rekor baru sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya, sejak pengukuran pertama kali dilakukan pada 1866, zaman kolonial Belanda.
Analisis meteorologis pada 1 Januari 2020 menunjukkan penguatan alisan Monsun Asiavdan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara/pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara
ITCZ memicu pertumbuhan awan yang cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya.
Analisis beberapa kejadian banjir besar di Jakarta pada masa lalu, misalnya pada 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015 memang dapat dikaitkan dengan curah hujan ekstrem 1-2 hari dan fenomena meteorologis yang membentuknya.
Beberapa aspek fenomena meteorologis yang biasanya menyertai curah hujan tinggi di Jakarta, dapat sebagai penyebab individual atau kombinasi antarbeberapa fenomena atmosfer sekaligus, di antaranya ITCZ, MJO, suhu muka laut lebih hangat, penguatan aliran monsun lintas ekuator, La Nina, dan seruakan dingin Asia (cold surge).
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020