Kementerian Telekomunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) segera menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi ke DPR RI.

"Yah sebentar lagi," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan saat ditemui usai menghadiri  diskusi E-Commerce Kita Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri di Hotel Four Points Jakarta Pusat, Selasa.

Menuurut dia, RUU PDP begitu penting untuk meningkatkan penjagaan keamanan data pengguna internet. Ia optimistis bahwa draf RUU yang akan diserahkan ke DPR RI akan dengan cepat disahkan. "Kalau disuruh optimis kita harus optimis," kata dia.

Meski begitu, ia enggan menjelaskan lebih rinci terkait alasan lamanya draf RUU PDP diserahkan ke DPR. Apalagi muncul berbagai desakan agar RUU PDP segera dibahas dan dengan cepat diimplementasikan.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kemenkominfo untuk segera menyampaikan RUU PDP beserta naskah akademik kepada DPR untuk segera dibahas bersama.

Dia menilai, percepatan proses pembahasan RUU tersebut juga disebabkan banyaknya penggunaan data pribadi yang tidak seharusnya atau ilegal terutama dalam bidang teknologi informasi dan teknologi finansial (tekfin) terhadap kerahasiaan data pribadi seseorang.

Bamsoet juga meminta Komisi I DPR RI untuk mengkaji hal-hal yang menjadi inti permasalahan terkait RUU Data Pribadi.

"Permasalahan tersebut antara lain mengenai keamanan data dan jaringan, mengingat RUU tersebut akan menjadi dasar hukum bagi petugas dalam menindak pelaku penyalahgunaan data pribadi," ujarnya.



Desakan agar RUU PDP segera diterbitkan juga muncul dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mendorong agar undang-undang perlindungan data pribadi segera diterbitkan demi menjerat pelaku atau platform fintech ilegal yang menyalahgunakan data tersebut.

"Ketika kami ingin melindungi data pribadi ini, sayangnya kami melihat tidak ada undang-undang khusus yang melindungi data pribadi ini," ujar Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi di Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Hendrikus menjelaskan bahwa terdapat tiga area fintech peer to peer lending (P2P) yang ingin dilindungi OJK yakni mencegah penyalahgunaan dana masyarakat dari praktik perbankan bermodus penipuan atau skema ponzi serta pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Kedua area tersebut, lanjutnya, sudah diatasi dengan kebijakan virtual account serta dana tidak boleh terendap selama dua hari dan harus disalurkan oleh pemberi dana kepada nasabah pinjaman online. Sedangkan masalah pencucian uang dan pendanaan terorisme sudah ada regulasinya yakni UU UU Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT).

"Jadi sebetulnya area satu dan tiga sudah selesai, tinggal area kedua yang belum. Area perlindungan data digital ini yang membuat kami tertahan karena belum ada undang-undangnya," kata Hendrikus.

Menurut dia, pemerintah harus menjamin bahwa data digital pribadi yang digunakan tidak disalahgunakan, karena sebenarnya data digital itu sangat mahal dan itu cenderung menggoda para penyelenggara e-commerce, e-payment, dan berbagai penyelenggara digital lainnya. Sebetulnya yang ditarget oleh para penyelenggara atau platform adalah data digital, mengingat itulah tambang emasnya.

 

Pewarta: Asep Firmansyah

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019