Perdagangan kita meningkat, ekspor kita juga meningkat. Tapi, impor kita justru lebih tinggi daripada ekspor
Shanghai (ANTARA) - "Kita memang terlambat, tapi ya sudahlah kita maksimalkan yang ada ini sebaik-baiknya."

Sekilas ucapan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita terkesan mewakili perasaannya yang pasrah atas realita.

Nyatanya memang Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China. Tidak tanggung-tanggung nilainya telah mencapai angka 18,5 miliar dolar AS selama periode Januari-Mei 2019. Defisit terburuk neraca perdagangan Indonesia dengan China dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Kemitraan strategis komperehensif dengan China yang terjalin sejak tahun 2013 kenyataannya juga belum terefleksikan dalam angka-angka perdagangan yang seimbang dan berkeadilan.

"Beda antara teman dan sahabat. Kalau sahabat, tentu ada perlakuan yang berbeda dan istimewa. Nah itulah yang disebut dengan kemitraan strategis komperehensif. Sayangnya kemitraan strategis komperehensif ini belum tercerminkan dalam angka-angka," kata Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia Djauhari Oratmangun saat bertemu para pengusaha Indonesia di Shanghai, Sabtu (20/7) malam.

Kemitraan strategis komperehensif antara Indonesia dan China selama ini hanya berputar di tingkat pucuk pimpinan kedua negara.

Saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan Perdana Menteri China Li Keqiang di Jakarta pada tahun lalu dan bertemu Presiden China Xi Jinping di Osaka, Jepang, baru-baru ini berulang kali terucap kata-kata mengenai kerja sama strategis, mitra penting, pengurangan gap dagang, dan hal-hal lain tentang kedekatan hubungan kedua negara.

Penambahan kuota ekspor kelapa sawit 500.000  ton sampai saat ini juga belum dimaksimalkan.

Demikian juga dengan ekspor 160 ton sarang burung walet yang sampai sekarang baru terealisasi sekitar 70 ton.

"Jadi buat apa minta kuota tambahan kalau itu saja belum terpenuhi, karena yang jadi persoalan adalah kesulitan masuk ke sini," kata Mendag saat ditemui Antara di Shanghai, Minggu (21/7).

Menurut dia, masih banyak lagi hambatan lain sehingga komoditas ekspor Indonesia belum banyak diserap oleh pasar China yang sangat besar dan menggiurkan tentunya.

"Perdagangan kita meningkat, ekspor kita juga meningkat. Tapi, impor kita justru lebih tinggi daripada ekspor," ujar Enggartiasto menambahkan.

Ia menyebutkan bahwa impor Indonesia terhadap mesin-mesin teknologi dari China jauh lebih besar daripada ekspor Indonesia.

Ironisnya, komoditas yang diekspor Indonesia ke China masih berupa bahan mentah dari hasil sumber daya alam, bukan hasil produksi olahan yang membawa nilai tambah.


Terlambat

Jauh sebelum Indonesia terperosok jurang defisit yang teramat dalam, Presiden Jokowi sudah mencium gelagat ketidakberesan dalam tata kelola ekspor-impor.

Berbagai ikhtiar untuk memudahkan ekspor juga telah dilakukan, termasuk dengan membenahi sistem kepabeanan.

Untuk memperkenalkan produk-produk unggulan Indonesia, Kemendag juga mendirikan beberapa ruang pajang atau gerai pameran atau kantor promosi. Agar mudah dikenali di dunia internasional, maka ruang pajang itu pun diberi nama "Indonesia Trade Promotion Center" (ITPC).

ITPC yang mulai beroperasi di Shanghai pada 22 Juli 2019 itu merupakan ITPC ke-19 yang dimiliki oleh Kemendag RI di beberapa negara.

"Jangan dilihat mahalnya karena tentu saja keberadaan ITPC ini sangat mahal, tapi manfaatnya besar sekali," kata Enggartiasto mengenai ITPC yang baru diresmikannya di kota termahal di China itu yang bertepatan dengan tanggal ulang tahun Dubes Djauhari Oratmangun.

Indonesia boleh dibilang sangat terlambat dibandingkan dengan beberapa negara lain yang memiliki hubungan dagang dengan China dalam kepemilikan ruang pamer itu.

Jauh-jauh hari sebelum ITPC berdiri di Shanghai Mart yang satu gedung dengan Konsulat Jenderal RI di Shanghai, sudah ada gerai sejenis milik beberapa negara.

"Apalagi kalau dilihat jumlahnya, wah kita kalah jauh dengan negara tetangga," kata Atase Peragangan Kedutaan Besar RI di Beijing Marina Novira.

Bahkan, Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN sekaligus anggota G-20, jumlah ruang pamernya kalah jauh dibandingkan dengan yang dipunyai negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Di China saja, Thailand memiliki delapan kantor promosi. Sementara Malaysia mempunyai lima kantor, Filipina tiga kantor, dan Vietnam dua kantor yang semuanya ada di China. Keberadaan ruang promosi Singapura di China sudah tidak bisa ditandingi lagi oleh tetangga-tetangganya karena sudah berjumlah sembilan unit.

Mereka menganggap ruang pajang, ruang pameran, kantor promosi perdagangan di luar negeri atau apa pun lah namanya sangat efektif dalam membangun brand awareness sebagai upaya mengenalkan produk atau merek kepada konsumen.

China yang pasarnya cukup besar dan luas, tentu saja tidak cukup kalau hanya satu unit ITPC seperti yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia saat ini.

"Paling tidak ada satu lagi di Guangzhou," kata Mendag mengungkapkan keinginannya untuk mendirikan satu ITPC di kota dagang terbesar di daratan China itu.

ITPC jauh lebih efektif daripada hanya sekadar ajang pameran yang bersifat insidental di satu negara yang tentu saja biayanya juga tidak murah.

Sangat tidak efektif kalau ITPC hanya dijadikan pajangan produk-produk unggulan seperti makanan dan minuman semata tanpa diintegrasikan dengan hasil kerajinan tangan-tangan terampil masyarakat di pelosok Nusantara, paket tujuan wisata, investasi, dan potensi lainnya yang dimiliki Indonesia.

Nah, di sinilah dibutuhkan saling pengertian antar-kementerian dan lembaga sehingga bangunan berbiaya mahal tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal dan tidak mubazir seperti yang sudah-sudah.

"Kementerian Pariwisata dan Kementerian BUMN mungkin bisa mengirimkan tenaga magang ke sini agar mereka tidak hanya mengurusi administrasi di kantor saja," ajak Mendag.

Kalau negara-negara lain bisa mengintegrasikan berbagai potensi yang dimilikinya dalam satu ruang pamer yang ditata sedemikian rupa, kenapa Indonesia tidak?

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019