Jakarta (ANTARA) - Setiap kali mendengar kata "meterai", hampir pasti yang terlintas di benak adalah kertas berhologram berukuran 21 x 28,95 mm yang biasa direkatkan atau ditempelkan pada lembar transaksi jual beli, pernyataan maupun transaksi lainnya.

Belakangan ini meterai menjadi pembicaraan hangat di masyarakat seiring dengan rencana Pemerintah mengajukan RUU Bea Meterai untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 3 Juli 2019 menyampaikan RUU Bea Meterai dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu, 3 Juli 2019

Alasan revisi Bea Meterai karena sejak tahun 1985, pengaturan tentang bea materai belum pernah mengalami perubahan. Padahal, situasi dan kondisi yang ada di masyarakat di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan teknologi informasi dalam tiga dekade terakhir berubah secara signifikan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan RUU tersebut disampaikan sebagai tindak lanjut atas penyampaian RUU tentang bea meterai yang disampaikan pemerintah kepada DPR melalui surat Presiden RI No. R 34/pres/07/2018 pada 16 Juli 2018.

RUU yang disodorkan membahas tentang penyederhanaan tarif bea meterai menjadi hanya satu tarif tetap, yaitu dari RpRp3.000 dan Rp6.000 menjadi sebesar Rp10.000, dan dapat dilakukan penyesuaian berdasarkan peraturan pemerintah.

Bea meterai merupakan pajak atas dokumen yang saat ini dipungut berdasarkan UU No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterai atau UU Bea Meterai.

Undang-undang tersebut dirancang ulang guna menambah penerimaan negara yang memadai dan berkesinambungan.

"Tujuannya untuk menambah sumber penerimaan negara yang memadai guna menyejahterakan rakyat dan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Sri Mulyani.

Undang-Undang bea meterai tahun 1985 mengatur peningkatan tarif bea meterai maksimal hanya enam kali dari tarif awal pada tahun 1985.

Peningkatan bea materai dimungkinkan maksimal enam kali dari tarif awal yang ditetapkan pada 1985 sebesar Rp1.000 dan Rp500.

Pemerintah mengusulkan penyederhanaan tarif bea materai, di mana nantinya materai jadi satu harga yakni Rp 10.000 dari sebelumnya yang lumrah digunakan Rp 6.000.

Menurut Sri Mulyani, sudah tiga dekade materai tak berubah di minimal Rp 3.000 dan paling besar Rp 6.000.

Alasannya, pendapatan masyarakat terus meningkat, bahkan dalam kurun waktu 19 tahun lalu sudah mencapai 8 kali lipat peningkatannya

Dengan kata lain, produk domestik bruto (PDB) per kapita di Indonesia telah meningkat hingga delapan kali, sementara penerimaan bea meterai dari 2001 sampai 2017 hanya meningkat 3,6 kali.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak pada 2001 penerimaan bea meterai tercatat hanya sebesar Rp1,4 triliun dan pada 2017 sebesar Rp5,08 triliun.

Perlu ada korelasi antara peningkatan pendapatan dengan pendapatan per kapita sehingga dapat berjalan secara beriringan.

Atas dasar pertumbuhan tersebut dan untuk semakin menyederhanakan penetapan tarif bea meterai, Kementerian Keuangan mengusulkan penyederhanaan bea menjadi satu tarif yang tetap menjadi Rp10.000.

Dukung UMKM 

Selain penyederhanaan sekaligus peningkatan bea meterai, Kementerian Keuangan juga mengusulkan perubahan batasan tentang bea meterai untuk dokumen yang menyatakan penerimaan uang guna menyederhanakan dan mendukung kegiatan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Saat ini, sesuai dengan Undang-Undang bea meterai tahun 1985, menyebutkan bahwa dokumen yang tidak dikenai bea meterai adalah dokumen penerimaan uang dengan nilai nominal sampai dengan Rp250.000.

Kemudian, dokumen dikenakan bea meterai sebesar Rp3.000 apabila harga nominal dokumen lebih dari Rp250.000 hingga Rp1 juta.

Selanjutnya, dokumen dikenakan bea meterai Rp6.000 jika bea nominal lebih dari Rp1 juta.

Dari ketentuan yang ada saat ini, Kementerian Keuangan mengusulkan untuk menyederhanakan aturan menjadi hanya satu batasan bea meterai dan nilainya ditingkatkan menjadi Rp5 juta sebagai batas nominal dari nilai dokumen.

Perubahan yang diusulkan adalah bahwa dokumen tidak dikenakan bea meterai jika nilai nominal yang tertera pada dokumen sampai dengan Rp5 juta. Sementara dokumen dikenakan bea meterai Rp10.000 jika nominal yang tertera pada dokumen lebih dari Rp5 juta.

Menteri Sri Mulyani mengatakan, meskipun tarif bea meterai diusulkan dinaikkan, RUU bea meterai tersebut juga dirancang untuk menegaskan keberpihakan pada kegiatan UMKM.


Tanggapan publik

Meski demikian, penyampaian RUU penyesuaian bea meterai tersebut menimbulkan sejumlah pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Banyak di antara mereka menganggap keputusan menyederhanakan sekaligus menaikkan bea meterai menjadi satu tarif, dari Rp3.000 dan Rp6.000 menjadi 10.0000, akan semakin membebani masyarakat.

"Menurut saya sebagai pengusaha UKM, yang terkadang membuat surat pernyataan, sangat memberatkan," kata Fandi, seorang pengusaha asal Depok, Jawa Barat.

Fandi mengatakan bea meterai tidak perlu dinaikkan karena fungsinya sekadar simbol pengesahan. 

"Nilai intrinsiknya murah, tapi dijual mahal melebihi uang kertas, sekalipun nominalnya sama," imbuh dia.

Senada dengan Fandi, Nuri, perempuan berusia 22 tahun yang baru menyelesaikan pendidikan sarjana di salah satu universitas ternama di Jakarta, juga berpendapat penyesuaian tarif tersebut kurang tepat untuk diberlakukan.

"Agak keberatan karena saya baru lulus dan butuh banyak meterai buat cari kerja. Terlebih dengan kondisi ekonomi keluarga yang masih serba susah," kata Nuri.

Sementara itu, meski ada banyak lagi yang mengeluhkan rencana kenaikan tersebut di media online, sebagian masyarakat lainnya menganggap rencana kenaikan bea meterai wajar demi meningkatkan penerimaan negara.

"Bagus. Padahal jarang-jarang pakai meterai. Ternyata negara bisa untung triliunan," kata Afdal, yang merupakan pegawai ASN di Kementerian Keuangan.

Selain Afdal, Jimmy juga turut mendukung rencana kenaikan tersebut.

"Saya dukung. Transaksi kami banyak yang di bawah Rp5 juta. Jadi kalau meterai transaksi di bawah Rp5 juta dihapus cukup menghemat," tulisnya di media online menanggapi RUU kenaikan bea meterai untuk dokumen penerimaan uang.

Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai penyesuaian bea meterai tersebut wajar, mengingat tidak adanya kenaikan dalam 20 tahun terakhir.

"Kenaikan menjadi Rp10.000 saya kira wajar karena sudah 20 tahun tidak berubah," kata Faisal.

Kemungkinan gagasan membuat meterai digital untuk dokumen penerimaan uang dalam bentuk digital juga disambut baik olehnya guna mengantisipasi perkembangan teknolongi.

"Itu ide yang sangat bagus juga untuk mengantisipasi perkembangan teknologi," imbuhnya.

RUU tentang bea meterai itu dirancang untuk menegaskan keberpihakan pada kegiatan UMKM karena batasan nominalnya dinaikkan sekaligus dibebaskan dari bea pada dokumen yang nilainya sampai dengan Rp5 juta.

Meski masih mengundang pro dan kontra di masyarakat, diharapkan rencana penyesuaian bea meterai tersebut dapat dilakukan tanpa memberatkan masyarakat mengingat masih adanya potensi untuk meningkatkan penerimaan negara dari penyesuaian bea meterai.

Sesungguhnya, rencana pemerintah merevisi UU Bea Meterai patut diapreasiasi yang diharapkan berdampak positif bagi dunia usaha dan masyarakat.

Tidak itu saja, Pemerintah ingin mendapatkan tambahan pemasukan tambahan dari sisi fiskal untuk menambah pundi-pundi pendapatan negara.

Menarik, bahwa penerapan bea meterai tidak hanya pada transaksi konvensional tetapi juga dalam transaksi digital. Artinya, di era saat ini dimana perkembangan ekonomi, digital, dan IT yang sangat pesat juga harus diperhatikan dalam RUU Bea Meterai.

Yang tidak kalah penting adalah, perlu sosialisasi kepada masyarakat karena masih banyak transaksi-transaksi yang dilakukan tetapi belum menggunakan materai.

Pewarta: Katriana
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019