Magelang (ANTARA) - Sebanyak 16 seniman Kelompok Katon Art dan Pawon Art melakukan performa seni gerak bernama "Mbuka Lumbung Gunung" di Kali Senowo, kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dalam rangkaian Festival Lima Gunung XVIII/2019, Minggu.

Pementasan di alam sungai, di cekdam dekat Jembatan Gantung Mangunsoko yang oleh warga setempat diberi nama Jembatan Jokowi (diresmikan Presiden Joko Widodo pada 18 September 2017) itu berlangsung selama setengah jam, mulai sekitar pukul 05.00 WIB, saat langit di kawasan barat daya --sekitar 12 kilometer-- dari puncak Gunung Merapi.

Tabuhan "kethuk" (perangkat gamelan) serta suara air yang jatuh deras atau menggerojok dari sembilan tempat di cekdam empat undakan di Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi itu, menjadi pengiring para seniman muda dengan koordinator Anton Prabowo berperforma seni.

Sejumlah seniman melakukan olah seni gerak dengan masing-masing memegang sabut yang membara, sejumlah lainnya membuka tiga kepang (anyaman bambu biasanya sebagai alas penjemuran gabah) ukuran panjang. Kain warna putih sepanjang sekitar 20 meter yang dibentangkan menjulur di cekdam menjadi salah satu properti pementasan.

Properti lainnya berupa empat gunungan, masing-masing setinggi tiga meter terbuat dari tatanan kelaras yang diletakkan di sejumlah tempat di cekdam Sungai Senowo, tak jauh dari Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XVIII selama 5-7 Juli 2019.

Festival tahunan itu diselenggarakan tanpa sponsor oleh seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang. Festival tahun ini dengan 77 agenda pementasan dari grup-grup di komunitas dan jejaringnya di daerah setempat, beberapa kota, dan luar negeri itu, bertema "Gunung Lumbung Budaya". Selama tiga kali festival itu berturut-turut, Anton mengoordinir para seniman muda melakukan pentas performa seni di alam terbuka, bertepatan dengan waktu sekitar subuh atau saat matahari terbit.

Dalam pementasan performa seni kali ini, mereka juga membakar empat gunungan dari kelaras itu yang disebut Anton sebagai salah satu di antara empat unsur simbolik yang hendak dieksplorasi dalam performa seni mereka saat matahari terbit itu.

"Api adalah gambaran semangat pelestarian, artinya kebudayaan yang telah ada harus dilestarikan, harus kita uri-uri agar lestari hingga generasi ke generasi," ucap dia.

Sebanyak tiga unsur lainnya, ucap Anton yang alumnus Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2018 itu, yakni tanah sebagai tempat manusia berpijak, mengajarkan manusia agar selalu rendah hati karena kebudayaan adiluhung mengajarkan sikap hidup tersebut.

Selain itu, katanya, air simbol kepatuhan terhadap Tuhan. Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.

"Kebudayaan pun demikian adanya, diharapkan mampu mengalir dari gunung ke penjuru negeri," katanya.

Unsur udara terkait dengan simbol nafas yang dikatakan dia sebagai gambaran bahwa kebudayaan adalah hal penting yang dibutuhkan negeri ini.

Secara keseluruhan, katanya, performa seni "Mbuka (Membuka) Lumbung Gunung" hendak menggambarkan bahwa masyarakat gunung dan desa menjaga kearifan lokal dan melestarikan kebudayaan untuk kehidupam bersama mereka setiap hari.

Dia mengharapkan nilai-nilai kearifan budaya masyarakat itu, menyebar dan mengalir seperti halnya aliran darah dalam tubuh, ke seluruh penjuru Indonesia, menularkan dalam sendi-sendiri kehidupan perkotaan.

"Memecah keakuan kota, melunakkan kekakuan manusia. Kepang telah dibuka, kain putih dibentangkan, lumbung telah dibuka, gunung sebagai lumbung budaya untuk dipelajari dan digali kekayaan nilai-nilai budayanya supaya mengalirkan kemanfaatan bagi kehidupan bersama," ujarnya.

Baca juga: Festival Lima Gunung 2019 dikerjakan milenial desa

Baca juga: Jangan lewatkan ke Jembatan Jokowi ketika Festival Lima Gunung

Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019