Kecepatan tumbuhnya dalam seminggu bisa dua kali lipat dari yang ada
Jakarta (ANTARA) - Keberadaan eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang selama ini dikenal sebagai gulma pengganggu dalam pemanfaatan perairan, bisa dikelola secara terintegrasi, sehingga menjadi bermanfaat, kata pakar limnologi.

"Mengatasi gulma eceng gondok tidak hanya di perairannya saja, tapi persoalan di sekeliling perairan yang menyebabkan masalah perairan itu subur untuk eceng gondok, jadi harus terintegrasi," kata Peneliti Limnologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Gadis Sri Haryani kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

Menurut Gadis, eceng gondok dianggap menjadi gulma karena sifat tumbuhnya yang mudah berkembang dengan cepat dalam satu perairan, baik kolam, waduk maupun situ.

Kecepatan tumbuhnya yang subur mengganggu pelayaran kapal dan irigasi pertanian. Penguapan (evapotranspirasi) eceng gondok menyebabkan air mudah menyusut dan mengalami pendangkalan.

 Akarnya mampu mengendapkan lumpur, dan setelah mati, eceng gondok menumpuk di dasar perairan sehingga terjadi sedimentasi, tambahnya.

"Suatu perairan yang memiliki nutrien dan sinar matahari cukup jadi sumber makanan bagi eceng gondok tumbuh," katanya.

Kecepatan tumbuh eceng gondok melebihi tumbuhan air lainnya seperti teratai, sehingga mendominasi dan menjadi tanaman invasif (bukan habitat aslinya dan mendominasi satu kawasan).

Eceng gondok pertama kali ditemukan tahun 1825 di Brazil. Tanaman ini disebut berasal dari Brazil  dan masuk ke Indonesia secara tidak sengaja terbawa. Kemunculan pertama eceng gondok dikenal sebagai tanaman hias di perairan.

Tumbuhan air ini berkembang bisa secara vegetatif (dari cabang) dan generatif (dari biji) sehingga cepat perkembangannya.

"Kecepatan tumbuhnya dalam seminggu atau 10 hari bisa dua kali lipat dari yang ada," kata Gadis.

Tapi di sisi lain, keberadaan eceng gondok memiliki fungsi di perairan yakni menjadi tempat berlindungnya anak-anak ikan, tempat menempel telur ikan atau jasad-jasad renik (organisme renik) yang menjadi tempat makan ikan.

Ikan berlindung di akar eceng gondok, mencari makan, bertelur, sehingga oleh masyarakat tradisional, eceng gondok sengaja dikumpulkan agar bisa menangkap ikan.

Selain itu, eceng gondok juga dimanfaatkan sebagai pupuk kompos (biogas), bahan bakar batu bata, kertas, batangnya menjadi jerami, untuk kerajinan tangan seperti souvenir, sandal, bahkan menjadi mebel (furnitur).

"Pemanfaatan eceng gondok belum optimal karena masih dilakukan secara industri rumahan. Harus ada jaminan pasar dari pemerintah dan pendampingan agar produk ini bisa diserap di pasaran secara berkelanjutan," kata Gadis.

Gadis mengatakan pemerintah harus lebih serius untuk mengelola pemanfaatan eceng gondok agar tidak menjadi gulma tapi bisa dikelola untuk sektor perekonomian, seperti ekowisata dan produksi rumah tangga.

Ia menambahkan, perlu ada upaya yang berkelanjutan supaya sisi negatif eceng gondok dapat kendalikan dan sisi positifnya dapat dioptimalkan.

Baru-baru ini keberadaan eceng gondok menjadi viral setelah bunganya bermekaran dalam kolam di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Mekarnya bunga eceng gondok secara serentak ini membuat pemandangan indah di kolam tersebut, sehingga menjadi wisata alternatif untuk berswa foto.

Keberadaan eceng gondok bisa dikelola secara terintegrasi sebagai ekowisata sehingga bisa memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya.


Baca juga: Peneliti : eceng gondok berpotensi ekonomi bila dikelola dengan baik
Baca juga: Banjir Tangerang disebabkan aliran Kali Cirarab tersumbat eceng gondok



 

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019