Anak-anak dikhawatirkan memiliki pandangan kalau politisi adalah sosok yang jahat dan penuh permusuhan, dan mereka tidak ingin bermimpi menjadi seorang politisi.
Jakarta (ANTARA) - Psikolog Seto Mulyadi mengatakan keterlibatan anak-anak dalam demonstrasi yang menuai kericuhan pasca penetapan pemilu 2019 akan berdampak negatif bagi perkembangan psikologis anak dan memberikan citra negatif pemahaman politik.

"Saya mencoba untuk sepintas menanyakan beberapa anak-anak langsung dan beberapa orang tua, dan itu dikeluhkan bahwa mereka langsung mengatakan politik kotor ya politik itu jahat dan sebagainya politik itu permusuhan dan sebagainya, artinya memberikan citra negatif terhadap pemahaman politik maupun para politisi," kata Seto saat dihubungi Antara, Jakarta, Kamis (23/5).

Dengan situasi ricuh itu di tengah polemik politik, maka akan menimbulkan kebencian di antara anak-anak dan akan membuat mereka memiliki citra negatif terhadap politik, politisi dan partai politik. Anak-anak dikhawatirkan memiliki pandangan kalau politisi adalah sosok yang jahat dan penuh permusuhan, dan mereka tidak ingin bermimpi menjadi seorang politisi.

"Mereka yang menonton saja mengalami, mendengar dan sebagainya itu cukup banyak yang mengalami stress, takut, ngeri, gak berani sekolah," tutur Seto Mulyadi yang juga Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).

Menurut dia, seharusnya semua pihak termasuk para politisi bisa mencerminkan dan mengajarkan bahwa politik bisa santun dan demokrasi penuh perdamaian dan kerja sama bukan kekerasan dan kericuhan.

Dia mengatakan seharusnya anak-anak tidak dilibatkan dalam aksi kericuhan tersebut, karena Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa tidak boleh ada eksploitasi terhadap anak baik di bidang ekonomi, eksploitasi seksual maupun di bidang politik.

"Anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam politik praktis," ujarnya

Dia juga mengatakan pemerintah harus menindak tegas para provokator yang memicu kericuhan pada demonstrasi yang mengancam persatuan dan kesatuan serta keamanan bangsa.

Melindungi anak juga memerlukan pemberdayaan lembaga-lembaga di lingkungan masyarakat termasuk RT dan RW serta warga desa atau sekitar lingkungan rumah untuk mengingatkan satu sama lain bahwa anak-anak tidak perlu dilibatkan dalam aksi yang menuai kericuhan atau dieksploitasi untuk kepentingan politik.

"Marilah kita rukun kita buang sementara perbedaan seperti perbedaan agama, kulit dan pandangan politik, kita betul-betul kembali kepada suasana penuh kedamaian gotong royong dan seterusnya, itu terus dikampanyekan termasuk juga oleh para politisi itu sendiri diingatkan kembali," ujarnya.

Anak-anak yang terlibat dalam demonstrasi harus diberikan pengarahan yang positif dan pendidikan politik agar tidak mudah dieksploitasi untuk kepentingan sekelompok orang.

"Mereka bagaimana juga adalah korban juga dari pengarahan-pengarahan yang negatif, bujuk rayu atau ajakan-ajakan dan sebagainya. Kalau toh pun mereka harus mendapatkan sanksi, maka sanksinya adalah sanksi edukatif memang untuk anak bukan berdasarkan pemidanaan pada orang dewasa," ujarnya.

Dia menuturkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Sosial dapat bersinergi untuk memberikan kepada anak-anak yang terlibat dalam demonstrasi kericuhan tersebut.

Usai bentrok pada 22 Mei 2019, kepolisian menetapkan 257 orang tersangka terdiri atas 72 tersangka diamankan di Bawaslu, 156 orang di lokasi kericuhan Petamburan, dan 29 tersangka di Gambir.

Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta, ada 140 korban bentrok yang dibawa ke rumah sakit tersebut. Seluruhnya laki-laki dan yang paling muda berusia 15 tahun.

Dua korban yang dibawa ke rumah sakit tersebut akhirnya meninggal dunia, salah satunya masih berusia 17 tahun.

 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019