Salah satu mekanisme dalam pengelolaan perikanan ya kontrol di output, dengan kuota penangkapan...
Jakarta (ANTARA) - Rekomendasi kuota pengelolaan dan pemanfaatan hiu lanjaman atau Carcharhinus falciformis oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam bentuk dokumen Non-Detriment Finding (NDF) dapat menjadi antipasi untuk mengontrol penangkapan berlebih.

Koordinator Program Hiu Marine Programe Wildlife Conservation Society (WCS) Efin Muttaqin di sela-sela peluncuran NDF hiu lanjaman di Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Ancol, Jakarta, Senin, mengatakan rata-rata penangkapan hiu lanjaman dalam 10 tahun terakhir antara 70.000 hingga 80.000 individu, dan LIPI mengeluarkan kuota tangkap sebesar 80.000 individu untuk 2019 dengan minimum ukuran panjang tubuh dua meter (m) atau dengan berat minimum 50 kilogram (kg).

Jadi kuota penangkapan spesies yang juga dikenal dengan sebutan silky shark ini, menurut dia, memang perlu ditetapkan karena fungsinya untuk mengontrol agar penangkapan oleh nelayan di alam tidak terus melonjak, mengingat tren permintaan dari luar negeri melonjak.

“Salah satu mekanisme dalam pengelolaan perikanan ya kontrol di output, dengan kuota penangkapan,” ujar dia.

Pada 2020, rekomendasi kuota tangkap hiu lanjaman LIPI yang penyusunan dokumennya juga melibatkan WCS tentu akan dievaluasi, baik dari realisasi tangkap dan kondisi biologi ikannya.

“Jadi nilai (kuota)ini tidak seperti itu terus. Bisa jadi kalau kondisi (hiu lanjaman) semakin terancam, parameter biologi semakin turun, nilai (kuota) itu semakin diperketat,” ujar dia.

Peneliti senior P2O LIPI Prof Suharsono mengatakan dalam mekanisme Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/CITES), hiu lanjaman merupakan salah satu dari 12 spesies hiu yang masuk dalam Apendix II atau tidak segera terancam kepunahan tetapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar perlindungan dan perdagangannya terus berlanjut.

Penetapan NDF hiu lanjaman ini, menurut dia, dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian. Jika sekarang batas yang boleh ditangkap 50 kg ke atas nantinya angka ini dapat dievaluasi.

“NDF ini living document yang bisa diperbaiki,” ujar dia.

Penetapan NDF hiu lanjaman secara regional, menurut Suharsono, memang belum ada. Tapi karena produksi hiu Indonesia banyak maka perlu mendahului membuat NDF, berbeda dengan Filipina yang masih menunggu.

Untuk Indonesia ia mengatakan tentu bukan per provinsi penetapan kuotanya tetapi per area penangkapan. “Karena hiu tidak by-catch tapi targeted fish. Kita harus tahu lokasinya sehingga nanti mudah tentukan kuota tangkapnya”.

Hiu semua bagian tubuhnya termanfaatkan, dari daging, sirip, tulang, bahkan sampai minyak ikannya. Jadi lebih baik kuota ditetapkan per ekor baru dikonversi ke berat.

Hiu adalah salah satu kelompok spesies paling terancam di dunia. Berdasarkan daftar Uni Internasional untuk Konvensi Alam (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources/IUCN) setidaknya sekitar 31 persen hiu dunia terancam kepunahan.

Perlindungan terhadap hiu telah menjadi salah satu agenda penting di tingkat global melalui mekanisme CITES, dengan memasukkan 12 spesies hiu dalam Apendix II atau tidak segera terancam kepunahan tetapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar perlindungan dan perdagangannya terus berlanjut.

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) 2015, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat eksploitasi hiu tertinggi di dunia dan menyumbang sekitar 13 persen dari produksi hiu global.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019