Banyuwangi (ANTARA) - Di Kabupaten Banyuwangi, ada yang namanya Desa Kemiren. Terletak di Kecamatan Glagah, daerah itu menjadi salah satu desa yang masih dihuni masyarakat suku asli Banyuwangi, Osing. Kemiren yang juga dikenal sebagai Desa Osing itu memiliki luas 2,5 kilometer persegi dan jumlah penduduknya mencapai 2.563 jiwa.

Di Banyuwangi, orang Osing biasa juga disebut "lare Using" atau "wong Blambangan". Orang Osing juga memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan bahasa Osing.

Sejatinya, Suku Osing tak hanya berada di satu wilayah atau kecamatan tertentu, tapi menyebar hampir di beberapa kecamatan dan desa. Dinyatakan sebagai penduduk asli Banyuwangi, kampung Osing tersebar di kecamatan Glagah, Rogojampi, Sempu, Singojuruh, Giri, Kalipuro, Songgon, dan beberapa kecamatan lainnya.

Kemiren menjadi satu dari sejumlah Desa Osing. Yang istimewa, Kemiren pernah dinobatkan sebagai desa adat dan desa wisata sehingga kerap menjadi jujugan para wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang ingin melihat dari dekat Suku Osing.

Festival budaya dan acara kesenian tahunan sering diadakan di desa itu, dan penduduknya yang dikenal ramah serta terbuka membuat siapa saja yang berkunjung seolah tak ingin segera pulang. Bahkan, hasil pertanian dan perkebunan melimpah menjadi ciri khas Kemiren, terutama kopi.

Desa Kemiren berlokasi tidak jauh dari pusat kota di Banyuwangi. Menuju ke desa itu bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dan akses jalannya cukup untuk mobil berlawanan arah. Hanya, jalannya yang berliku dan naik turun membuat pengemudi tak bisa melaju kencang.

Di kanan kiri jalan, berderet rumah-rumah berbagai bentuk, tapi mayoritas seragam meski tak berjajar. Bangunan rumah-rumah itulah yang dikenal dengan rumah Osing. Dibandingkan rumah pada umumnya, bahkan bangunan minimalis, rumah Osing sangat berbeda.

Mengutip berbagai penjelasan dari berbagai sumber, rumah Osing tak sekadar bangunan, tapi memiliki banyak makna, termasuk menandai penghuninya.

Atapnya empat atau disebut "tikel balung" melambangkan penghuninya sudah mantap. Sementara rumah atap dua atau "crocogan" menandakan penghuninya adalah keluarga muda yang ekonominya relatif rendah, lalu rumah "baresan" atau beratap tiga artinya pemiliknya sudah mapan, tapi secara materi berada di bawah rumah atap empat.
 

Baca juga: Kompleksitas pemungutan suara di Nusakambangan

Di sepanjang jalan, siapapun yang melintas akan disuguhi lukisan alam. Pematang sawah yang hijau dan petani-petani tengah beraktivitas. Terkadang suara gemericik air sungai yang dipenuhi bebatuan dan alirannya yang deras menjadi penyegar bagi mata serta pikiran.

Hanya, karena saat ini memasuki tahun politik, tidak sedikit baliho-baliho, poster dan spanduk-spanduk berbagai ukuran tertancap di pinggir-pinggir jalan, sisi kanan maupun kiri. Begitu pun juga di pohon-pohon, tiang listrik yang bergambar calon anggota legislatif (caleg) maupun calon presiden-calon wakil presiden.

Caleg-caleg dari berbagai partai yang maju sebagai wakil rakyat tingkat Kabupaten Banyuwangi (DPRD), Provinsi Jawa Timur (DPRD) maupun tingkat pusat (DPR RI). Namun, gambar pasangan capres-cawapres nomor urut 01 dan 02, yaitu Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, justru jarang terlihat.

"Kalau mengganggu sih mengganggu, tapi masyarakat sini tidak masalah dan mempersilakan siapa saja memasang gambar caleg," ujar Hendro, seorang warga Banyuwangi, yang saat itu kebetulan melintas.

Bagi warga setempat, terpasanganya gambar caleg-caleg merupakan hal lumrah, asalkan tidak melanggar aturan. Pemandangan serupa juga disebutnya ada pada setiap tahun politik, yakni 2014 atau pada saat pemilu dan pilpres periode lima tahun lalu.

"Ya, gambar-gambar caleg karena tidak lama lagi pemilu. Dulu juga seperti itu dan semua menerima kok," kata Sucipto, salah seorang warga Desa Kemiren.

Kendati berasal dari berbagai macam partai politik, namun di wilayahnya tak pernah ada konflik ataupun saling bertengkar, baik antarpendukung maupun tim sukses.

Baca juga: Kepastian memilih dari penghayat Sedulur Sikep
 
Sesepuh sekaligus pemilik sanggar Barong di Kemiren, Sucipto (kang Cip) mengenakan udeng di Desa Adat Osing Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur. Saat memasuki tahun politik seperti saat ini, kang cip mengaku kerap didatangi caleg maupun tim sukses untuk meminta dukungan kepada salah seorang tertentu. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/ (ANTARA FOTO/BUDI CANDRA SETYA)


Pak Cip, sapaan akrab Sucipto, mengingat saat pemilu dan pilpres lima tahun lalu. Saat itu, masyarakat Osing yang menentukan pilihan dan menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara (TPS) cukup banyak, yakni di atas 60 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).

"Persis depan rumah saya adalah TPS dan dipakai setiap pemilu, Pemilihan Bupati maupun Pemilihan Gubernur. Masyarakat antusias dan berakhir tanpa konflik. Kami menerima siapapun yang menang, asalkan selalu ingat terhadap Banyuwangi dan mencintai seni budaya di sini," katanya.

Di Desa Kemiren, Pak Cip yang juga memiliki warung makan "Sapu Jagat" mengaku kerap didatangi caleg maupun tim sukses untuk meminta dukungan kepada salah seorang tertentu, namun dengan alasan tidak ingin terlibat pada kepentingan politik, bapak dua anak itu menolaknya secara halus.

"Kami tidak apatis terhadap politik, tapi juga tidak ingin terlibat praktis. Kami hanya mencintai seni budaya dan semua yang berhubungan dengan tradisional Osing. Siapapun yang jadi, asalkan peduli terhadap Osing, itu sudah membuat kami bangga dan kami menghormatinya," katanya.

Baca juga: Suara dari Kampung Naga



Politik bukan yang utama

Bagi masyarakat Osing, dunia politik bukan menjadi yang utama dalam kehidupan sehari-harinya. Hiruk pikuk tentang perpolitikan yang tersaji di media sosial maupun konvensional tak membuat mereka terpengaruh, apalagi tertarik menerapkannya di kampung adat mereka.

Hasan Basri, salah seorang budayawan Osing, bahkan berani memastikan, panasnya situasi menjelang Pemilihan Presiden tak berimbas pada individu masyarakat Osing, karena sudah dibentengi semangat kebersamaan yang terpupuk sejak lama.

"Di luar panas, tapi di Osing adem-adem saja. Pemilu di kampung kami adalah kegembiraan dan selama ini tak ada benturan yang bersifat emosional hanya karena perbedaan pandangan politik," ucapnya.

Kendati tak menomorsatukan politik, katanya, tapi antusiasme masyarakat Osing tak perlu diragukan, sebab dalam setiap kontestasi pemilihan umum, mulai pemilihan kepala desa, pemilihan bupati, pemilihan gubernur hingga pemilihan presiden sekalipun, tingkat partisipasinya tinggi.

Semisal, Pemilihan Bupati 2015 dan Pemilihan Gubernur 2018, masyarakat Osing yang termasuk dalam daftar pemilih tetap dan mencoblos mencapai 80 persen.

Bagi masyarakat Desa Kemiren, pemilu menjadi agenda penting bangsa Indonesia yang dipandang lumrah, yakni sebagai sesuatu yang harus dijalani dengan suka cita. Bagi masyarakat Osing, jika tidak hadir di tempat pemungutan suara (TPS), maka dianggap kurang baik dalam bernegara.

Peran tetuah dan koordinator adat di desa itu sangat penting, namun kesadaran individu menjalankan fungsinya sebagai warga negara yang baik juga menjadi bagian sangat kuat.

"Perjalanan sejarah Osing selama ini terbukti bahwa peran dan kesadaran hidup dalam kebersamaan sangat kuat, ditambah kegotongroyongan yang begitu menonjol," ujarnya.

Keantusiasan masyarakat Osing terhadap pemilu juga ditunjukkan dengan sifat keterbukaan yang ditunjukkan, yakni menerima siapapun calon anggota legislatif hingga calon presiden maupun tim suksesnya masuk blusukan ke kampung mereka.

Tak hanya baliho yang berjajar di sekitar jalan menuju maupun di dalam perkampungan, calonnya sekalipun dipersilakan datang langsung jika berkenan.

Semisal, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur 2018, saat itu, dua calon wakil gubernur, yaitu Emil Elestianto Dardak dan Puti Guntur Soekarno sama-sama membuktikan ramahnya masyarakat osing menyambut. Bahkan, Puti yang merupakan cucu Presiden RI pertama, Bung Karno, menyempatkan menari bersama penari gandrung.

Sifat terbuka terhadap calon juga ditunjukkan dari tidak keberatannya nama Osing "dijual" menjadi alat komoditas untuk menarik perhatian masyarakat setempat.

Menurut Hasan Basri, yang juga Wakil Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), selama sang calon tidak merugikan dan berkomitmen terhadap kemajuan masyarakat maupun kampung Osing, maka dipersilakan memakainya.

Namun, yang perlu digarisbawahi, katanya, sekali lagi adalah sifat masyarakat Osing yang tidak terlalu percaya terhadap janji-janji, sebab lebih memilih bukti dan kerja nyata.

"Orang Osing sudah pintar, meski menggunakan identitas dan mengaku Osing, tapi kalau tidak mencintai kesenian dan tradisi Osing, maka sama saja tidak 'nendang' dan biasa saja. Intinya, masyarakat Osing akan respek kepada mereka yang mencintai seni dan budaya Osing serta Banyuwangi," katanya.

Sifat terbuka masyarakat Osing ini tidak lepas dari sejarah mereka yang di awal perkembangannya terletak di kawasan pesisir dan tumbuh tidak jauh dari pelabuhan, kemudian masyarakat dari berbagai etnik, agama dan negara kerap datang sehingga membuat mereka terbiasa menerima perbedaan.

Budayawan Osing lainnya, Samsudin Adlawi, bahkan berani menjamin bahwa suasana menjelang maupun pasca-pemilu tidak ada permasalahan yang berujung konflik di masyarakat osing.

"Osing bisa dijadikan contoh bahwa masyarakatnya egaliter dan terbuka dan menjadi jaminan bahwa setiap ajang kontestasi politik akan berjalan aman," kata Pak Udi, sapaan akrabnya.

Sejak dulu sampai sekarang, menjelang pemilu di kampung Osing tidak menjadi suatu permasalahan besar, karena masyarakatnya yang memiliki sifat dasar suka perdamaian dan tidak pernah dalam sejarah menjadi oposisi.

"Kalau pemerintah berjalan bagus dan menyampaikan informasinya benar, maka mereka tidak pernah merusuhi dan macam-macam. Osing suka perdamaian dan mendukung siapapun yang peduli terhadap kearifan lokal, terutama kesenian serta kebudayaannya," kata pria yang juga dikenal sebagai penyair itu.

Terhadap seorang pemimpin, masyarakat Osing jika melihat petahana dengan jejak rekam dan prestasi bagus, lalu amanah karena mempertahankan nilai kearifan lokalnya, maka tetap akan diberikan perhatian, bahkan didukungnya.

Sesungguhnya masyarakat Osing tidak menginginkan proyek macam-macam dari pemerintah, kecuali bentuk perhatian terhadap warisan leluhur mereka.

Pak Udi yang juga Ketua Dewan Pengarah DKB itu juga memastikan sosial media tidak memberi pengaruh berbahaya terhadap situasi di kampung Osing, sebab mereka sudah mengerti siapa yang harus dipilih, baik caleg maupun calon presidennya.

Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi itu membocorkan salah satu kecenderungan memilih pada orang Osing adalah tidak suka terhadap sesuatu yang berbau resmi atau formal, seperti foto menggunakan jas atau dasi, tapi justru lebih respek terhadap calon beratribut baju adat serta udeng yang menjadi kebangaan masyarakat osing.


Dukungan Pemerintah
Warga melintas di gapura Desa Adat Osing Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (13/3/2019). Kemiren merupakan sebuah Desa yang mayoritas penduduknya adalah suku Osing dan telah dinobatkan sebagai Desa adat dan wisata. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/ (ANTARA FOTO/BUDI CANDRA SETYA)


Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengaku bangga dengan masyarakat Osing yang sejak lama memiliki sifat terbuka dan menerima perbedaan terhadap apapun, tak terkecuali politik.

Memanasnya suhu politik yang tersaji di berbagai media, ditambah informasi-informasi belum tentu benar dan saling serang informasi membuat masyarakat Osing tak terpengaruh.

"Alhamdulillah, hiruk pikuk politik di luar tidak sampai masuk ke warga Osing. Tapi, sejak dulu mereka dikenal guyub dan selalu beraktivitas seperti biasa, meski menjelang pemilu," katanya.

Bupati yang dikenal atas prestasinya meraih berbagai penghargaan bidang pariwisata dan pelayanan publik itu memastikan bahwa semangat kekeluargaan bagi masyarakat Osing tak perlu diragukan, termasuk ikatan yang kuat dengan tokoh atau koordinator setempat.

Kegiatan-kegiatan, seperti seni budaya, latihan tari, olah vokal dan lain-lain selalu ada, sehingga setiap saat selalu muncul berbagai inovasi yang menjadikan lingkungan masyarakat Osing berkreasi.

Kreativitas masyarakat Osing tak hanya di bidang seni budaya, tapi juga kuliner-kuliner yang tersedia. Bupati Anas mencontohkan kuliner pecel rawon yang dipadu dari nasi pecel dan nasi rawon, lalu rujak soto, nasi tempong, dan kuliner lainnya.

"Dari sisi kuliner saja masyarakat Osing sudah membuktikan memiliki sifat terbuka dan menerima perbedaan. Nasi rawon dan pecel yang merupakan ciri makanan dari daerah lain digabungnya menjadi satu. Begitu juga menu rujak soto," katanya.

Tentang tingkat partisipasi masyarakat Osing terhadap pemilu, Bupati Banyuwangi dua periode itu juga mengapresiasi, sebab di setiap pesta demokrasi tingkat kehadiran pemilih mencapai di atas 60 persen.

Per tahun 2017, sesuai data dari Pemkab Banyuwangi, total penduduk mencapai 1,6 juta. Lalu, sekitar 52 persennya merupakan masyarakat tinggal di kampung Osing yang tersebar di sejumlah kecamatan dan desa di Banyuwangi.

Berdasarkan data tersebut, maka tingginya tingkat partisipasi masyarakat Osing cukup mempengaruhi hasil pemilu, baik untuk pemilihan umum legislatif maupun Pemilihan Presiden.

Sementara itu, berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur hasil rekapitulasi DPT hasil perbaikan-2, dari 25 kecamatan dan 217 desa di Banyuwangi, terdapat 5.116 TPS. Dengan rincian, jumlah pemilih laki-laki sebanyak 653.269 orang dan 664.312 orang pemilih perempuan, sehingga total DPT-nya yakni 1.317.581 orang.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019